Menggalang Solidaritas Organik Pekerja Migran di Johor Bahru

Author

Pertemuan dengan salah satu komunitas di Johor Bahru
Pertemuan dengan salah satu komunitas di Johor Bahru

Kondisi pekerja migran Indonesia (PMI) di Johor Bahru tidak banyak berbeda jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Malaysia. Begitulah gambaran umum mengenai pekerja migran pada saat dilakukan peneraan oleh Infest Yogyakarta pada periode Februari-Mei 2018 untuk kepentingan pengorganisasian bagi pekerja migran di sana.

Ragam masalah di Johor Bahru terbilang lebih kompleks daripada daerah lainnya. Hal ini tidak lepas dari letak Johor Bahru yang merupakan kawasan perbatasan langsung dengan Indonesia, sehingga lokasi tersebut menjadi zona rawan perlintasan pekerja asal Indonesia. Diperkirakan ratusan nyawa pekerja migran melayang setiap tahunnya pada persimpangan jalur migrasi tidak prosedural itu. Sementara, praktik korup yang dilakukan oleh oknum aktor kedua-dua negara masih sering terjadi hingga kini.

Migrasi tidak prosedural memang sengaja dilanggengkan oleh pemburu rente. Salah satu gejalanya yakni lemahnya penegakkan hukum bagi oknum pemerintah yang meloloskan orang dengan status yang sebenarnya sudah terindikasi hendak melanggar keimigrasian. Hal ini diperparah dengan minimnya peningkatan kesadaran kepada PMI agar menempuh migrasi aman dan reguler. Kondisi tersebut secara tidak langsung boleh menyumbang tingkat kerentanan yang lebih kritis bagi pekerja migran di kawasan Johor Bahru. Begitu juga dengan ragam persoalan yang dialami oleh pekerja migran di Johor Bahru.

Berdasarkan keterangan komunitas di Johor Bahru, pelbagai kasus dilaporkan oleh PMI kepada mereka seperti ketenagakerjaan, pidana dan non ketenagakerjaan. Perkara ketenagakerjaan yang dialami oleh PMI misalnya pelanggaran kontrak kerja, gaji tidak sesuai, pemotongan gaji di atas batas yang ditentukan, dilarang menjalankan ritual ibadah, dan lain-lain. Sementara itu, perkara pidana meliputi penganiayaan, pemerkosaan, penipuan, pemalsuan hingga perdagangan orang. Sedangkan yang dimaksud dengan perkara non ketenagakerjaan adalah pelanggaran keimigrasian, PMI sakit dan meninggal dunia tidak berdokumen yang minim cakupan jaminan sosial. Untuk itu, tulisan ini yang pertama bertujuan menggambarkan peran komunitas/paguyuban PMI bagi perlindungan di Johor Bahru. Kedua, tulisan ini membentangkan strategi perlindungan PMI melalui jaringan komunitas/paguyuban di Johor Bahru.

Dilema Eksistensi Komunitas/Paguyuban PMI di Johor Bahru

Peran komunitas dan organisasi pekerja migran idealnya  adalah untuk memperkuat perlindungan pekerja migran. Sayangnya, pelbagai komunitas ini belum satu suara soal ini.  Ada pula komunitas yang masih berkutat pada eksistensi komunitas daripada mempersatukan kekuatan untuk kepentingan yang lebih besar:  perjuangan untuk perlindungan PMI yang lebih baik. Kondisi tersebut sering menyebabkan terjadinya konflik dan perselisihan antara komunitas pekerja migran. Terlebih lagi, sering kali  komunitas pekerja migran belum selesai mendefinisikan maksud dan tujuan berorganisasi atau berkomunitas. Banyak motivasi yang mendorong PMI bergabung dalam komunitas, seperti hobi, kedaerahan, kelompok agama, atau lainnya.  Namun, tidak jarang pula pencarian jodoh menjadi salah satu alasan.

Konflik kepentingan antar individu dalam komunitas kerap  memunculkan perselisihan dan konflik di tingkat komunitas. Konflik tersebut umumnya disebabkan oleh urusan pribadi yang dibawa ke dalam organisasi. Mengacu hal tersebut, dapat dikatakan bahwa eksistensi komunitas seringkali masih rapuh untuk dapat mengikat kepentingan bersama  pekerja migran. Hal ini diperparah pula dengan minimnya kapasitas manajerial dan kesamaan tujuan dalam pengelolaan komunitas.

Pemicu lain konflik antar  komunitas terjadi lantaran perebutan “pangsa pasar” pekerja migran, meski kadang untuk urusan yang sepele, seperti penjualan kaos identitas komunitas. Kekhawatiran akan kehilangan anggota, tidak jarang  mendorong pengurus komunitas untuk memperbandingkan komunitasnya dengan komunitas lain. Isu identitas ini satu sisi memperkuat persatuan dalam komunitas, di lain sisi memunculkan konflik dengan komunitas lainnya. Kompetisi antar komunitas ini membuat posisi PMI tercerai berai dan tidak dapat bersama-sama memperjuangkan kepentingan bersama di hadapan pemerintah, maupun untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang sehari-hari menimpa pekerja migran.

Motivasi apakah yang melatarbelakangi pekerja migran untuk berafiliasi dengan komunitas tertentu? Jika orientasinya adalah karena identitas kedaerahan, hal ini dapat dimaklumi karena pergumulan dalam komunitas dapat mengobati kerinduan akan daerah asal di perantauan. Adakah motif lainnya yang mendorong pekerja migran berorganisasi?

Dinamika kelompok, komunitas maupun organisasi di Johor Bahru tidaklah tunggal. Banyak PMI yang bergabung dalam komunitas atas dalih hobi, kesenangan atau sekedar kesamaan kaos. Namun, kompetisi dan pertikaian komunitas pekerja asal Indonesia kerap muncul hanya karena persoalan kecil, seperti perbedaan simbol atau atribut, seperti kaos.

Di tengah perantauan, solidaritas antar pekerja migran menjadi sesuatu yang dibutuhkan. Semangat solidaritas inilah yang semestinya melekat pada warga Indonesia meski terikat dan tergabung dalam komunitas yang berbeda. Patut disayangkan jika sesama warga Indonesia di perantauan harus berselisih hanya terkait dengan simbol-simbol dan bukan mengenai hal-hal yang prinsipil. Idealnya, pekerja migran Indonesia bergabung dalam komunitas untuk memupuk solidaritas antar sesama pekerja asal Indonesia. Rasa seperantauan seharusnya menjadi modal sosial bagi pekerja Indonesia untuk berkumpul dalam wadah yang produktif baik dalam bentuk organisasi maupun komunitas informal.

Andai pekerja migran berkelompok berdasar solidaritas ini, pelbagai persoalan pekerja migran setidaknya akan bersama-sama disadari. Keberadaan komunitas yang berbeda akan menjadi kekuatan untuk sama-sama berbagi peran untuk mencari solusi atas kebuntuan dan masalah yang menimpa sesama pekerja Indonesia di negeri Jiran ini. Energi berkelompok tidak lagi akan tersalurkan untuk kompetisi identitas, melainkan untuk hal-hal produktif menjawab kebutuhan pekerja migran.

Dalam kesendirian dan ruang tanpa solidaritas, individu pekerja migran selalu akan rentan. Hal ini dipengaruhi pula oleh ketersediaan informasi yang kurang memadai, kapasitas individu yang berbeda serta lingkup pekerjaan yang beragam.  Peran-peran produktif bisa menjadi ruang eksistensi komunitas pekerja migran, seperti upaya penciptaan saluran informasi dan penyediaan layanan bantuan atas persoalan yang dihadapi sesama pekerja. Pada konteks lebih strategis, kerjasama komunitas atau organisasi dapat menjadi kekuatan lain untuk memengaruhi pelayanan pada badan publik perwakilan Indonesia. Sudah tidak zaman lagi jika upaya memperjuangkan hak sesama dilakukan dengan mempertimbangkan asal, keanggotaan dalam komunitas atau status pekerjaan. Solidaritas seharusnya selalu berwatak inklusif, terbuka dan tidak memandang atribut yang melekat pada korban.

Solidaritas ini tidak semata akan membangun kolaborasi, tetapi juga menekan jumlah kejahatan yang meminjam tangan komunitas Indonesia untuk beroperasi, seperti penipuan pada pengurusan permit, jasa pemulangan dan bahkan penyelundupan manusia. Konflik antar komunitas justeru menempatkan pekerja migran kian dalam pada pusara kejahatan para pemburu rente di perantauan.

Komunitas dan Advokasi  atas Hak Warga Negara

Bukan rahasia lagi jika perlindungan pekerja migran di luar negeri akan sangat bergantung pada perwakilan negara. Kehadiran negara dibutuhkan untuk melindungi dan memperjuangkan hak pekerja selaku warga negara di hadapan pemerintah Malaysia. Benarkah perlindungan dan kehadiran negara yang direpresentasikan oleh kantor perwakilan telah menjawab kebutuhan pekerja migran untuk dilindungi?

Pertanyaan tersebut tentu sulit untuk dijawab. Pada dasarnya komunitas memahami peran perwakilan pemerintah, yakni untuk fungsi pelayanan kewarganegaraan dan perlindungan warga negara. Akan tetapi, berdasarkan keterangan dari komunitas, perkara-perkara yang diadukan oleh komunitas kepada KJRI Johor Bahru masih jauh dari harapan korban yang didampingi oleh komunitas. Seperti misalnya, perkara gaji tidak dibayar oleh majikan, di mana pekerja migran tersebut berstatus tidak berdokumen. Pekerja migran tersebut langsung dipulangkan begitu saja tanpa mempertimbangkan mengenai hak upah yang harus diterima oleh pekerja migran. Contoh lain, pengaduan mengenai Pemutusan Hubungan Sepihak (PHK) tanpa pemberitahuan dan kompensasi, KJRI Johor Bahru juga tidak mampu melindungi pekerja migran dengan alasan tidak tersedianya dokumen kontrak kerja yang dimiliki oleh pengadu yang dalam hal ini adalah pekerja migran.

Eksistensi komunitas sebenarnya boleh berperan sebagai pembela atas hak yang terlanggar untuk setiap permasalahan pekerja migran. Ketika menjumpai permasalahan, komunitas seharusnya mengidentifikasi jenis perkara dan para aktor yang terlibat, mengumpulkan bukti-bukti, mengkonfirmasi saksi-saksi pada saat kejadian dan proses lainnya yang dapat memperkuat posisi korban ketika mengadu. Perwakilan pemerintah tentu saja tidak akan menolak pengaduan jika semua berkas pengaduan telah lengkap. Karenanya, setiap tanda bukti pengaduan yang dikeluarkan oleh institusi publik dapat dipergunakan untuk menuntut perbaikan atas penyalahgunaan pelayanan publik.

Dalam konteks diseminasi informasi untuk kepentingan peningkatan kesadaran pekerja migran, perwakilan pemerintah sebenarnya dapat berkolaborasi dengan komunitas. Hal ini untuk menjawab kebutuhan atas keterbatasan sumber daya manusia dan ketersediaan anggaran yang dimiliki oleh perwakilan. Karenanya, pemerintah perwakilan boleh berkonsultasi dengan komunitas mengenai kebutuhan informasi dan di mana kawasan yang tepat untuk bersosialisasi. Dengan demikian, partisipasi pelayanan senantiasa mewujud untuk kepentingan perlindungan pekerja migran yang lebih baik. Dengan inklusivitas pelayanan, maka tentunya, hal ini memutus jarak antara pekerja migran dan pemerintah, antara pihak yang harus dilayani dan pihak pelayan dalam prinsip demokrasi.

Berkenaan dengan eksistensi atas dilema komunitas di atas, tugas perwakilan ialah membina dan mengedukasi mereka sesuai dengan prinsip organisasi yang ideal. Hal itu dilaksanakan dengan tidak hanya meminta daftar nama komunitas dan pengurusnya, tapi pemerintah perwakilan perlu memeriksa mengenai apakah statuta (anggaran dasar organisasi) dan alat kerja organisasi sudah sesuai dengan konstitusi negara dan selaras dengan semangat perlindungan warga negara. Lagipula, pada era sekarang telah berkembang jaringan radikal yang boleh mengancam keamanan semua pihak. Hal tersebut perlu upaya preventif yang lebih giat, mengingat pekerja migran adalah kelompok rentan yang menjadi sasaran empuk oleh jaringan radikal internasional.   

Edukasi dan pembinaan pemerintah seharusnya juga mencakup kepada aspek sumber daya komunitas. Hal ini dengan cara memastikan susunan kepengurusan komunitas apakah pengurus sudah menjalankan fungsinya dengan baik atau belum. Cara yang dipergunakan oleh pemerintah sebaiknya bukan intervensi kepada komunitas, melainkan fasilitasi melalui praktik emansipasi dan menjauhkan sikap subordinasi, tapi memupuk komunikasi yang setara antara pemerintah dan komunitas pekerja migran. Pembinaan seyogyanya dilaksanakan secara berkala. Tidak sporadis dan serta merta. Hal ini untuk menghindari anggapan bahwa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah semata-mata hanya untuk kepentingan mereka sendiri, karena komunitas/perwakilan pekerja migran tidak pernah diajak untuk dialog. Hubungan antara komunitas pekerja migran dan perwakilan pemerintah seharusnya dapat berfungsi sebagai mitra sejajar dalam konteks perlindungan warga negara.

Tulisan ini ditandai dengan: komunitas pekerja migran pekerja migran johor bahru 

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.