Dampak RUU Cipta Kerja terhadap Pekerja Migran Indonesia

Author

Oleh Ridwan Wahyudi
Manajer Program Infest Yogyakarta

Pada 5 Oktober 2020, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. RUU inisiatif pemerintah ini menjadi polemik yang mengundang pro dan kontra dari pelbagai pihak, baik dari kalangan pengusaha, akademisi, kelas pekerja dan masyarakat umum. RUU Cipta Kerja terdiri dari 10 ruang lingkup, antara lain: peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; ketenagakerjaan; kemudahan, pelindungan serta pemberdayaan koperasi dan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; pengadaan tanah; kawasan ekonomi; investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional; pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan pengenaan sanksi.

Memasuki awal tahun 2020, pembahasan RUU Cipta Kerja antara pemerintah dan DPR telah mengeluarkan klaster ketenagakerjaan yang di dalamnya mengubah sebagian ketentuan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Namun, pada 4 Oktober 2020, pernyataan tertulis dari Kementerian Koordinator Perekonomian menunjukkan bahwa UU PMI tetap masuk dalam RUU Cipta Kerja. Padahal, urusan pekerja migran tidak pernah ada dalam analisis naskah akademis RUU Cipta Kerja. Dan, pada saat pengesahan, sebagian ketentuan dalam UU PPMI turut diubah dan disahkan.

Hal inilah yang mengundang protes dari kalangan PMI. Ketentuan yang diubah dalam RUU Cipta Kerja berkaitan dengan surat izin perusahaan perekrutan pekerja migran Indonesia (SIP3MI). Perubahan tata kelola perizinan ini bisa berdampak pada mekanisme pemantauan dan pengawasan kepada P3MI.

Dalam UU PPMI, semangat untuk melindungi pekerja migran dari berbagai ancaman kesewenang-wenangan, kekerasan, kerja paksa, bahkan perdagangan manusia ialah dengan mengurangi peran swasta dalam penempatan pekerja migran. Merujuk pada pasal 52 ayat (1) UU PPMI, peran P3MI dibatasi pada tiga hal, yakni mencari peluang kerja, menempatkan Pekerja Migran Indonesia, dan menyelesaikan permasalahan Pekerja Migran Indonesia yang ditempatkannya. Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan sebelumnya yang memberikan peran besar kepada P3MI dalam semua aspek dalam migrasi ketenagakerjaan, yaitu pencarian lapangan kerja di luar negeri, perekrutan, pendidikan dan pelatihan, penempatan, penyelesaian masalah, pemantauan dan pengawasan terhadap PMI yang ditempatkannya.

Selain itu, tanggung jawab P3MI diberikan porsi lebih yakni harus menyertakan modal dalam bentuk deposito atas nama menteri ketenagakerjaan senilai 1,5 miliar rupiah. Mereka juga diwajibkan memiliki penyetoran modal pada saat pendirian minimal 5 miliar rupiah. Deposito dan aset tersebut dimaksudkan sebagai jaminan atas keselamatan PMI yang ditempatkan oleh P3MI. Mengingat risiko yang dialami oleh PMI menjadi bagian yang tak terpisahkan antara keberadaan PMI dan penempatan yang dilakukan oleh P3MI.

Namun, pada praktiknya, P3MI masih melakukan praktik-praktik lama yang seharusnya sudah tidak boleh lagi dilakukan, seperti merekrut calon PMI di desa-desa dan membebankan biaya pelatihan kepada calon PMI. P3MI seharusnya melakukan seleksi calon PMI melalui Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota setempat. Sedangkan pendidikan dan pelatihan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dengan menggunakan anggaran negara. Untuk diketahui, biaya terbesar dalam struktur penempatan PMI ialah proses pendidikan dan pelatihan. Bahkan, tidak jarang PMI mengalami pembebanan biaya penempatan berlebih yang harus mereka keluarkan dengan skema potongan gaji. Pemerintah mengatakan bahwa belum tersedianya peraturan turunan UU PMI membuat kebijakan ini tidak operasional.

Ada beberapa ketentuan dalam UU PPMI yang diubah secara signifikan dalam norma, standar, prosedur dan kriteria pada RUU Cipta Kerja. Analisis yang disajikan di sini didasarkan pada draft RUU Cipta Kerja versi 1052 halaman yang belum tersedia nomor dan tahunnya. Sebagaimana diketahui bahwa ada empat draft RUU Cipta Kerja yang beredar dan berbeda berdasarkan jumlah halamannya, yakni 812 halaman, 905 halaman, 1035 halaman, dan 1052 halaman.

UU PPMI Perubahannya di dalam RUU Cipta Kerja
Surat Izin Perusahaan Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) diterbitkan oleh Menteri Ketenagakerjaan (Pasal 1 angka 16) SIP3MI diubah menjadi izin berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah  pusat (Lembaga Online Single Submission (OSS), Badan Koordinasi Penanaman Modal/BKPM, di bawah koordinasi menteri koordinator perekonomian) (Pasal 84 angka (1))
Norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) perizinan bagi P3MI diatur oleh kementerian ketenagakerjaan (Pasal 51) Norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan ditetapkan oleh pemerintah pusat (Pasal 84 angka (2))
Ketentuan pendirian cabang P3MI wajib terdaftar di pemerintah provinsi dengan mengikuti NSPK yang ditetapkan oleh peraturan menteri ketenagakerjaan (Pasal 53) Ketentuan pendirian cabang P3MI di daerah harus terdaftar di pemerintah kabupaten/kota dan mengikuti NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah pusat (Pasal 84 angka (3))
SIP3MI mendapatkan jangka waktu 5 tahun dan proses perpanjangannya harus mendapatkan rekomendasi BP2MI dengan syarat:

  • memberikan laporan periodik ke menteri ketenagakerjaan
  • melaksanakan penempatan paling sedikit
  • 75% (tujuh puluh lima persen) dari rencana penempatan pada waktu memperoleh SIP3MI;
  • memiliki sarana dan prasarana yang sesuai dengan standar yang ditetapkan;
  • memiliki neraca keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir tidak mengalami kerugian yang diaudit akuntan publik;
  • tidak dalam kondisi diskors; dan
  • telah melaporkan dan menyerahkan persyaratan kepada BP2MI untuk divalidasi ulang.

(Pasal 57 UU PPMI)

P3MI harus menyerahkan pembaharuan data paling lambat 30 hari, jika terlambat dikenakan denda keterlambatan. (pasal 84 angka (4))
Tidak ada dalam ketentuan  Penambahan satu pasal antara pasal 89 dan 90 menjadi pasal 89A yang berbunyi:

“Pada saat berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja, pengertian atau makna SIP3MI dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja

Migran Indonesia menyesuaikan dengan ketentuan mengenai Perizinan Berusaha.” (Pasal 84 angka (5))

 

Berdasarkan sajian perubahan UU PPMI di dalam RUU Cipta Kerja di atas, khususnya mengenai peran P3MI, berimbas pada tata kelola migrasi ketenagakerjaan yang mencakup aktor, prosedur dan kebijakan. Mengenai perizinan P3MI, dengan bertambahnya aktor negara bernama lembaga OSS, Menteri Ketenagakerjaan harus mengharmonisasi NSPK yang dipergunakan sebagai isian bagi P3MI untuk mendaftar izin berusaha di lembaga OSS, BKPM. Mengenai NSPK perizinan P3MI, kementerian ketenagakerjaan telah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 10 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin P3MI. Akan tetapi, Permenaker itu tidak berlaku lagi seiring dengan ketetapan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha. Meski demikian, di dalam Permenaker tersebut juga telah diatur bahwa tata cara perizinan P3MI melalui Lembaga OSS.

Yang patut menjadi sorotan terkait dengan perubahan di dalam RUU Cipta Kerja ini ialah tata cara pendirian dan perpanjangan izin cabang P3MI di daerah yang diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota, bukan kepada pemerintah provinsi sebagaimana UU PPMI. Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, kewenangan pengawas ketenagakerjaan telah dimandatkan kepada pemerintah provinsi, yang mana mereka selanjutnya ditempatkan di wilayah kabupaten/kota. Namun, di sebuah kabupaten/kota belum tentu tersedia pengawas yang memiliki sertifikasi dan kompetensi di bidang penempatan kerja luar negeri. Oleh sebab itu, praktik-praktik penyalahgunaan perizinan oleh P3MI di level kabupaten/kota rentan terjadi karena secara logika tidak ada yang mengawasi.

Pada aspek pembaharuan izin usaha P3MI yang pada RUU Cipta Kerja diberikan lima tahun. Jika ditelusuri lebih lanjut ketentuan teknisnya masih sulit ditemukan, bagaimana proses, standar dan syaratnya. Oleh sebab itu, hal ini menjadi perhatian bersama pada aspek pengawasan publik sebagai pemangku hak atas layanan.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kehadiran RUU Cipta Kerja semakin mengacaukan tata kelola salah satu aspek pelindungan pekerja migran. Selain, tentu saja, proses penyusunannya yang tidak transparan dan tidak partisipatif. Akrobat politik kebijakan yang dipertontonkan justru malah mempermalukan kinerja pemerintah dan DPR RI dengan menghasilkan produk hukum yang tidak konsisten. Hal ini terbukti dengan beredarnya RUU Cipta Kerja yang berbeda-beda berdasarkan isinya. Gagasan awal yang ingin dicapai bahwa RUU Cipta Kerja mengadopsi “Omnibus Law” yang bertujuan untuk menyederhanakan dan mengharmonisasi aturan justru semakin kabur dan sulit diterima oleh rakyat sebagai pemangku hak.

Kendati, pada beberapa aturan, memang ada tujuan dalam upaya penyederhanaan dan harmonisasi, namun kurangnya keterbukaan dan sosialisasi menyebabkan ketidakjelasan dan mengundang protes dari banyak pihak. Contohnya, perubahan yang dibuat oleh RUU Cipta Kerja menyangkut pada peran P3MI, di mana sebagian dari mereka selama ini telah terbukti menyalahgunakan izin perekrutan, menipu, hingga mengeksploitasi PMI. Patut disayangkan, pemerintah menyamaratakan setiap perizinan sektor usaha, baik itu yang berkaitan dengan sumber daya alam, barang, dan manusia. Seharusnya ada kodifikasi etis bagi pelaku-pelaku usaha yang berkaitan dengan manusia. Kodifikasi etis itu melekat pada syarat dan prinsip bagi pelaku usaha perekrutan atas penghormatan dan pelindungan atas hak asasi manusia.

Tulisan ini ditandai dengan: Omnibus Law p3mi PMI RUU Cipta Kerja 

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.