Meriahnya Tradisi Grebeg Maulid yang Melegenda dari Desa Pondok

Author

Peringatan Maulid Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wassalam (SAW) di Desa Pondok dikenal dengan Grebeg Maulid. Acara yang diselenggarakan pada Sabtu (9/11/2019) ini diisi dengan beragam acara, mulai dari kirab budaya pada pagi hari, lalu pagelaran Reog Ponorogo pada sore hari, hingga puncak acara diisi dengan tausiah atau pengajian akbar sampai tengah malam.

Parade Budaya

Tepat pukul 8 pagi, acara Grebeg Maulid dimulai dengan kegiatan parade budaya. Acara ini diawali dengan pembacaan doa oleh sesepuh desa pada saat pemberangkatan iring-iringan. Hal ini dilakukan agar acara berjalan lancar dan sukses sampai selesai. Parade budaya dimulai dari halaman masjid al-Hasan sebagai pusat kegiatan. Rute iring-iringan ini mengelilingi Dusun Ngrambang dan sebagian Dusun Pondok.

Anak-anak sekolah juga ikut terlibat dengan iring-iringan drumband-nya, mulai dari murid TK hingga siswa-siswi Madrasah Ibtida’iyah. Mereka mengawali parade budaya tersebut, selanjutnya diikuti siswa madrasah, seni gajah, seni unta, hingga tumpeng dari setiap RT di dusun Ngrambang. Tumpeng yang mereka pajang dihiasi sedemikian rupa dengan sangat meriah. Adapun bintang utama dalam parade budaya ini adalah dua gunungan yang sangat melegenda, yaitu gunungan lanang dan gunungan wadhon.

Grebeg Maulid Dulu dan Sekarang

Berbicara tentang iring-iringan perayaan Grebeg Maulid di dusun Ngrambang, sebenarnya yang menjadi fokus utama adalah dua gunungan dan shalawatannya. Mungkin banyak orang yang berpikiran dan menganggap kegiatan tersebut mirip seperti tradisi di Kraton Solo atau Yogyakarta yang disebut dengan Sekaten. Hal ini memang benar adanya. Menurut informasi yang didapat dari berbagai sumber, termasuk sesepuh desa, bahwa tradisi tersebut memang mengadopsi budaya mataraman yang dibawa nenek moyang warga Dusun Ngramabang, Desa Pondok.

Warga Dusun Ngramabang pada umumnya berasal dari daerah Surakartahadiningrat. Jadi, tradisi tersebut memang berusia cukup lama, mungkin berusia ratusan tahun. Menurut sejarahnya, pihak Keraton Solo mengutus utusannya untuk syiar agama Islam di daerah Ponorogo. Di Desa Pondok, warga memelihara dan mengembangkan adat budaya serta tradisi ke anak cucu. Salah satu adat tersebut adalah tradisi Grebeg Maulid.

Pada zaman dahulu tradisi ini sangat sederhana, tidak semeriah seperti saat ini. Menurut salah satu sesepuh Desa Pondok, Ibnu Batutah, yang juga pembuat gunungan, mengatakan bahwa zaman dahulu Grebeg Maulid sangat sederhana. Dulu juga hanya ada dua gunungan, yaitu berisi jajanan tradisional yang diarak oleh siswa Madrasah Diniyah, sholawatan, dan genduri di masjid.

Pada zaman dahulu tradisi ini sangat sederhana, tidak semeriah seperti saat ini. Menurut salah satu sesepuh Desa Pondok, Ibnu Batutah, yang juga pembuat gunungan, mengatakan bahwa zaman dahulu Grebeg Maulid sangat sederhana. Dulu juga hanya ada dua gunungan, yaitu berisi jajanan tradisional yang diarak oleh siswa Madrasah Diniyah, sholawatan, dan genduri di masjid.

Makna Dua Gunungan

Menurut Ibnu Batutah, makna dua gunungan disimbolkan sebagai sepasang gunungan lanang (laki-laki) dan wadhon (perempuan) adalah keseimbangan yang ada di bumi ini. Sedangkan jajanan yang dibentuk menggunung melambangkan harapan kemakmuran warga desa, serta rasa sukur dan bentuk sedekah warga desa.

Yang juga menarik adalah ketika pengambilan gunungan di rumah sesepuh desa, pertunjukan seni pencak silat diadakan di hadapan sesepuh desa. Rangkaian tradisi ini termasuk yang tidak boleh ditinggalkan. Itu pun ketika gunungan selesai diarak, gunungan tersebut dibawa ke serambi masjid, yang selanjutnya diberkahi dan didoakan oleh kiai desa, untuk selanjutnya diperebutkan oleh masyarakat.

Tradisi Shalawatan Terbang

Selain gunungan ada satu lagi tradisi yang tidak boleh ketinggalan yaitu shalawatan. Ketika pawai budaya sedang berlangsung, sesepuh desa berkumpul di serambi masjid untuk melaksanakan shalawat Jawa kuno atau yang lebih dikenal dengan shalawat terbang.

Kenapa disebut shalawat terbang? Karena shalawat tersebut diiringi dengan alat musik sejenis perkusi yang disebut sebagai terbang, sehingga sholawat tersebut dinamakan sholawat terbang. Shalawat ini selalu hadir di saat perayaan Grebeg Maulid. Tujuan dari shalawat terbang adalah untuk memuji Nabi Muhammad SAW, serta menambah kemeriahan dan kesakeralan acara ini.

Shalawat terbang memiliki kekhasan tersendiri, yaitu lantunan nada yang sangat unik dengan kombinasi bahasa Jawa kuno dan Arab, sehingga shalawat ini sangat khas tapi juga sangat sulit pelajari. Itupun yang membuat sholawat ini hanya orang tua yang biasa melantunkannya.

Salah satu tokoh desa pondok, Suharto, Kepala Desa Pondok, berpendapat bahwa saat ini upaya memelihara adat istiadat di Desa Pondok seakan kehabisan obor. Artinya belum ada generasi penerus. Namun pemerintah desa terus berusaha mencari bakat muda yang bisa meneruskan seni shalawat kuno ini.

Tidak hanya pawai budaya, tradisi ini membawa berkah bagi pelaku usaha dan menggerakan perekonomian Desa Pondok. Beberapa pedagang memanfaatkan momen ini dengan menggelar lapak mereka di sekitar pusat acara. Sehingga, suasana terlihat seperti pasar malam ketika sore menjelang. Kondisi tersebut juga menambah kesan ramai dan meriah acara ini.

Tradisi Grebeg Maulid Nabi Muhammad SAW ini akan terus digelar setiap tahunnya. Besar harapan warga Pondok, tradisi ini bisa menjadi agenda rutin tahunan dan menjadi kalender budaya di Kabupaten Ponorogo. Dengan demikian, tradisi penanggalan nenek moyang dan satu-satunya di Ponorogo ini akan terus dilestarikan. Melalui cara tersebut, maka bukan hanya bagi warga Pondok saja yang dapat menikamati dan menyaksikannya, tetapi juga warga di Kabupataen Ponorogo pada umumnya.

Makna Dua Gunungan

Menurut Ibnu Batutah, makna dua gunungan disimbolkan sebagai sepasang gunungan lanang (laki-laki) dan wadhon (perempuan) adalah keseimbangan yang ada di bumi ini. Sedangkan jajanan yang dibentuk menggunung melambangkan harapan kemakmuran warga desa, serta rasa sukur dan bentuk sedekah warga desa.

Yang juga menarik adalah ketika pengambilan gunungan di rumah sesepuh desa, pertunjukan seni pencak silat diadakan di hadapan sesepuh desa. Rangkaian tradisi ini termasuk yang tidak boleh ditinggalkan. Itu pun ketika gunungan selesai diarak, gunungan tersebut dibawa ke serambi masjid, yang selanjutnya diberkahi dan didoakan oleh kiai desa, untuk selanjutnya diperebutkan oleh masyarakat.

Tradisi Shalawatan Terbang

Selain gunungan ada satu lagi tradisi yang tidak boleh ketinggalan yaitu shalawatan. Ketika pawai budaya sedang berlangsung, sesepuh desa berkumpul di serambi masjid untuk melaksanakan shalawat Jawa kuno atau yang lebih dikenal dengan shalawat terbang.

Kenapa disebut shalawat terbang? Karena shalawat tersebut diiringi dengan alat musik sejenis perkusi yang disebut sebagai terbang, sehingga sholawat tersebut dinamakan sholawat terbang. Shalawat ini selalu hadir di saat perayaan Grebeg Maulid. Tujuan dari shalawat terbang adalah untuk memuji Nabi Muhammad SAW, serta menambah kemeriahan dan kesakeralan acara ini.

Shalawat terbang memiliki kekhasan tersendiri, yaitu lantunan nada yang sangat unik dengan kombinasi bahasa Jawa kuno dan Arab, sehingga shalawat ini sangat khas tapi juga sangat sulit pelajari. Itupun yang membuat sholawat ini hanya orang tua yang biasa melantunkannya.

Salah satu tokoh desa pondok, Suharto, Kepala Desa Pondok, berpendapat bahwa saat ini upaya memelihara adat istiadat di Desa Pondok seakan kehabisan obor. Artinya belum ada generasi penerus. Namun pemerintah desa terus berusaha mencari bakat muda yang bisa meneruskan seni shalawat kuno ini.

Tidak hanya pawai budaya, tradisi ini membawa berkah bagi pelaku usaha dan menggerakan perekonomian Desa Pondok. Beberapa pedagang memanfaatkan momen ini dengan menggelar lapak mereka di sekitar pusat acara. Sehingga, suasana terlihat seperti pasar malam ketika sore menjelang. Kondisi tersebut juga menambah kesan ramai dan meriah acara ini.

Tradisi Grebeg Maulid Nabi Muhammad SAW ini akan terus digelar setiap tahunnya. Besar harapan warga Pondok, tradisi ini bisa menjadi agenda rutin tahunan dan menjadi kalender budaya di Kabupaten Ponorogo. Dengan demikian, tradisi penanggalan nenek moyang dan satu-satunya di Ponorogo ini akan terus dilestarikan. Melalui cara tersebut, maka bukan hanya bagi warga Pondok saja yang dapat menikamati dan menyaksikannya, tetapi juga warga di Kabupataen Ponorogo pada umumnya,

Tulisan ini ditandai dengan: desa pondok 

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.