Dari Pekerja Migran, Hingga Kepala Desa Dua Periode

Author

Suharto, mantan pekerja migran yang menjadi Kepala Desa Pondok, Babadan, Ponorogo. (Sumber Foto: Dokumen Pribadi Arif Yulianto). Usianya menginjak kepala lima, namun penampilannya masih terlihat segar, penuh semangat dan bersahaja. Dialah Suharto, Kepala Desa Pondok, Babadan, Ponorogo yang lahir pada 15 September 1963 dari pasangan Karto Tunggak dan Murtini asal Desa Pondok. Seperti anak-anak desa lainnya, Suharto mengenyam pendidikan dasar di SDN 1 Pondok dan melanjutkan sekolah menengah di SMPN 4 Ponorogo. SMA Bhakti menjadi pilihan Suharto untuk menempuh pendidikan di jenjang menengah atas. 

 

Setelah tamat dari bangku sekolah, laki-laki yang akrab dipanggil Mbah Lurah ini memilih untuk langsung mencari pekerjaan. Pekerjaan pertamanya menjadi seorang mandor bangunan di dekat Universitas Muhammadiyah Ponorogo pada tahun 1996-1998. Satu tahun kemudian, Suharto memutuskan untuk bekerja ke luar negeri pada tahun 1998-1999. Setahun bekerja di Malaysia, Suharto mencoba peruntungan dengan bekerja ke negeri ginseng, tepatnya di Kota Busan, Korea Selatan. Ia bekerja di perusahaan pengepresan onderdil mobil, selain itu Suharto juga aktif di berbagai organisasi pekerja migran Indonesia yang ada di sana, salah satunya adalah Perkawi.

 

“Berbagai jenis pekerjaan saya coba tekuni sejak lulus sekolah, mulai dari jadi mandor bangunan hingga menjadi pekerja migran di Malaysia dan Korea,” ujar Suharto. 

 

Suharto kerap didatangi teman-teman yang datang dengan berbagai masalah dan meminta bantuan. Banyak di antara teman-teman Suharto yang kemudian memanggilnya dengan sebutan Mbah Lurah karena ia dituakan di antara teman-temannya ketika di Korea. Suharto yang saat ini menjadi Kepala Desa Pondok kemudian menceritakan bagaimana ia bisa sampai menduduki kursi jabatan sebagai kepala desa. Sepulang dari Korea Selatan, banyak sahabat dan masyarakat di desa menyarankan Suharto untuk mencalonkan diri menjadi lurah yang awalnya ia tolak. 

 

“Saya pernah hampir menolak karena bukan keturunan lurah atau perangkat desa,” kata Suharto. 

 

Suharto kemudian mendapatkan cerita dari pamannya, bahwa kakek buyutnya dulu merupakan kepala desa di salah satu desa di Kecamatan Jenangan. Dari cerita itulah, Suharto yang sebelumnya ragu akhirnya tergerak untuk mengikuti Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dan membangun desa. Akhirnya ia pun berhasil dan dikehendaki oleh sebagian besar masyarakat Desa Pondok menjadi kepala desa pada periode pertama. Saat ini Suharto sudah memasuki periode kedua dalam masa jabatannya. Ia berusaha merangkul kembali warga yang dulu terpecah karena Pilkades agar bisa menyatu kembali sebagai warga desa Pondok. 

Suharto berterimakasih dan memberikan apresiasi karena dari sekian ratus desa di Ponorogo, Desa Pondok memiliki Komunitas Pekerja Migran Indonesia (KOPI). Suharto yang pernah menjadi pekerja migran yakin bahwa organisasi ini sangat membantu dan bermanfaat bagi masyarakat desa. 

 

“Sebagai mantan pekerja migran saya tahu bagaimana suka dukanya. Oleh karena itu, saya yakin KOPI Pondok akan sangat bermanfaat sebagai ruang belajar bagi anggota dan warga desa,” ungkap Suharto.

 

Dia menambahkan bahwa pemerintah siap mendukung apapun yang sekiranya bisa dibantu oleh pemerintah desa asal tidak menyalahi aturan yang berlaku. Suharto juga merasakan langsung manfaat KOPI Pondok pada saat warga Desa Pondok yang bekerja di Malaysia meninggal karena kecelakaan. Jenazah warga Desa Pondok dapat dipulangkan dalam waktu tiga saja. Hal itu lebih cepat, padahal biasanya jenazah dari luar negeri bisa tiba dalam waktu seminggu di Ponorogo. 

 

Tulisan ini ditandai dengan: desa pondok kepala desa kisah BMI kisah buruh migran kopi purna bmi 

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.