Komunitas Pekerja Migran Blitar Belajar Penanganan Kasus

Author

IMG-20180722-WA0023
KOPI Kabupaten Blitar sedang belajar bersama Infest Yogyakarta dan JWB

Pemuda, kelompok perempuan, perangkat desa dan purna pekerja migran tampak sangat bersemangat mengikuti pelatihan paralegal yang diadakan oleh Infest Yogyakarta, Justice Without Border pada 21-22 Juli 2018 lalu. Pelatihan yang dilaksanakan di Balai Pendidikan dan Pelatihan Desa Gogodeso Kabupaten Blitar itu diikuti oleh 35 orang yang berasal dari Komunitas Pekerja Migran Indonesia (KOPI) Desa Gogodeso, Pandanarum dan Mronjo. Para peserta sebagian besar adalah purna pekerja migran dan keluarganya.

Selama dua hari, peserta mendapatkan materi tentang UU No 18 tahun 2017, paralegal, identifikasi pelanggaran, mekanisme penanganan kasus di dalam negeri dan di luar negeri, tata cara mengidentifikasi kasus dan bukti pelanggaran, tata cara menggali kasus dan menuliskan kronologi kasus yang terjadi pada pekerja migran. Materi-materi ini adalah materi dasar dalam melakukan identifikasi kasus pekerja migran.

Pelatihan ini diawali dengan paparan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Blitar. Jarun, Kasubid Penempatan dan Perlindungan mewakili kepala dinas menyampaikan materi tentang wewenang kabupaten dan desa dalam upaya perlindungan PMI sesuai dengan UU No 18 tahun 2017.

“Banyaknya kasus yang terjadi pada pekerja migran harus ditangani oleh banyak pihak, UU PPMI ini memberikan ruang juga kepada desa untuk berperan dalam perlindungan,” papar Jarun.

Keterlibatan panyak pihak dalam penanganan kasus yang terjadi pada pekerja migran sangat dibutuhkan. Sehingga menurut Jarun, kasus-kasus yang terjadi pada pekerja migran bisa segera terselesaikan.

Sesi berikutnya adalah tentang paralegal yang difasilitasi oleh Sri Aryani dari Justice Without Border. Ari mencoba untuk memberikan penjelasan sederhana tentang paralegal.

“Paralegal adalah setiap orang yang memiliki ketrampilan dan pengetahuan di bidang hukum yang bisa mendampingi masalah hukum orang lain ataupun komunitasnya”, papar Ari.

Menurut Ari, Jumlah advokat yang ada, tidak sebanding dengan banyaknya kasus yang terjadi pada pekerja migran. Maka dari itu dibutuhkan paralegal yang akan membantu komunitas pekerja migran dalam berjuang menggerakkan haknya.

Perspektif Gender dalam Penanganan Kasus

Pelatihan ini dilakukan dengan santai dan banyak permainan untuk memberikan pemahaman kepada peserta. Sebagian besar pelatihan dilakukan dengan praktik langsung. Pada sesi analisa kasus misalnya. Sri Aryani langsung memberikan contoh kasus Siti untuk dianalisa peserta. Peserta diminta untuk menunjukkan aktor-aktor yang terlibat dalam kasus Siti beserta pelaggarannya. Peserta melakukan diskusi kelompok untuk membedah contoh kasus yang terjadi pada Siti. Setelah selesai diskusi, masing-masing kelompok mempresentasikan hasilnya. Kelompok lainnya bisa menambahi dan menyanggah hasil pembacaan kelompok yang presentasi.

IMG-20180722-WA0030
Proses diskusi kelompok

Peserta juga diajak untuk menggali bukti-bukti hukum pada kasus Siti berikut strategi penyelesainnya. Apa saja bukti yang kuat di hadapan hukum dan apa yang tidak bisa dijadikan bukti di muka hakim dipelajari dan dipahami langsung oleh peserta.

Pada hari kedua, peserta diajak untuk belajar mengenai gender, cara menggali informasi kepada korban dan cara menuliskan kronologi.

“Saya merasa semakin mudah memahami kasus-kasus yang terjadi pada pekerja migran, karena saya mengalaminya,” aku Syamsul Maarif.

Syamsul adalah peserta dari Desa Pandanarum yang kebetulan baru pulang dari Malaysia. Dia sangat tertarik mengikuti pelatihan ini, karena dia merasa bahwa apa yang dibahas di pelatihan ini membuka wawasannya tentang penanganan kasus yang terjadi pada dirinya.

Hal senada juga disampaikan ketua KOPI Desa Gogodeso. Fitri adalah purna TKI Taiwan. Selama dia berada di Taiwan sampai pulang ke Indonesia, dia belum pernah belajar penanganan kasus. Padahal menurut pengakuannya, banyak teman-temannya yang berkasus, tapi tidak tau cara penyelesaiannya.

Menurut Sri Aryani, peserta pelatihan di Blitar ini sangat antusias. Berbeda dengan tempat lain yang menurutnya partisipasinya lebih kecil. Ari menduga bahwa sebagian besar peserta mengalami sendiri ketidakadilan selama menjadi pekerja migran.

“Saya senang menemani belajar teman-teman KOPI Blitar, karena orang-orangnya sangat bersemangat. Menurut saya ini adalah pelatihan yang paling berhasil dibanding dengan daerah-daerah lain yang pernah saya latih,” pungkas kandidat doktor Sosiologi UI tersebut.

Tindak lanjut dari pelatihan tersebut adalah penguatan keorganisasian KOPI di ketiga desa yang akan dilaksanakan akhir Agustus. Selain itu, KOPI di masing-masing desa juga akan belajar melakukan identifikasi kasus yang terjadi di desa dan menuliskan kronologinya.[]

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.