Kondisi pekerja perkebunan sawit di Indonesia dan Malaysia semakin mengkhawatirkan dalam dua puluh tahun terakhir. Di kedua negara ini, populasi pekerja yang tidak terdokumentasi semakin tinggi. Di Indonesia, hanya 30 persen buruh yang tercatat sebagai buruh tetap, sementara 70 persen tidak tercatat sebagai buruh. Mereka biasa disebut sebagai buruk kontrak, kernet, dan buruh harian lepas. Sementara di Malaysia, buruh tidak berdokumen semakin meningkat setelah lahirnya kebijakan kontrak pendek pekerja di perkebunan sawit bagi pekerja migran.
Sejak tahun 1990, Malaysia menerapkan peraturan baru tentang kontrak pekerja migran yang maksimal 3 tahun, dan hanya bisa diperpanjang dua kali masing-masing sebanyak satu tahun, yang disebut dengan skema 311. Dampaknya adalah buruh yang tetap bekerja memilih lari ke hutan ketika polisi Diraja Malaysia melakukan penertiban. Hal ini terungkap dalam workshop 4 hari yang diselenggarakan oleh Hutan Rakyat Institute(HaRI) bekerjasama dengan Universitas Bonn Jerman, di Medan tanggal 17 sampai 20 Maret 2015.
“Hak-hak dasar pekerja yang tidak terdokumentasi tidak bisa dipenuhi baik oleh pemerintah maupun perusahaan. Hal itu seperti hak atas upah layak, kesehatan, pendidikan, asuransi, hak pensiun, hak berorganisasi tidak diterima oleh sekitar tujuh juta pekerja perkebunan di Indonesia,”ungkap Saurlin Siagian, salah seorang peneliti sosial yang menjadi narasumber dalam pertemuan tersebut.
Murni Sima, Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Perkebunan di Sabah (SPIEU), menyampaikan bahwa hanya di Sabah Malaysia saja, terdapat 112.000 orang pekerja Indonesia yang berdokumen lengkap, sekitar 200.000 orang bekerja tanpa dokumen yang sah dan lengkap.
“Buruh tanpa dokumen ini menjadi lahan kriminalisasi polisi. Seperti menjadi objek kekerasan, pemerasan, intimidasi dan selalu mengganggu ketertiban dan penyebab permasalahan,” ungkap keturanan Makassar yang saat ini menjadi warga Negara Malaysia.
“Efek ketakutan menjadi kronis, ketika kami dari serikat buruh resmi di Malaysia juga terkadang ditakuti oleh buruh dari Indonesia, meskipun tujuan kedatangan kami untuk membela hak hak mereka, dan kami telah menyediakan nomor telepon kecemasan(darurat.red.) supaya mereka bisa melapor,”ungkap Murni.
Nur Hidayati dari WALHI Nasional menyampaikan bahwa migrasi warga dari pedesaan ke perkebunan perkebunan sawit termasuk ke Malaysia disebabkan oleh kebijakan agraria yang tidak berpihak kepada petani.
“Ijin-ijin korporasi telah menimbulkan hilangnya akses rakyat terhadap tanah dan sumber daya. Buruh migran yang kontraknya habis, tentunya tidak bisa pulang kampung, karena tidak ada lagi tanah di kampung untuk dikelola,”ungkapnya.
Anwar Maaruf, dari Migran Center, mengungkapkan bahwa sumber-sumber buruh migran ke perkebunan perkebunan sawit berasal dari kantong-kantong desa miskin yang tersebar di berbagai Propinsi seperti pedesaan-pedesaan di NTT, Sulawesi Selatan, Lombok, dan Sumatera Utara.
Sementara itu, Hotler Parsaoran dari Sawit Watch mengungkapkan bahwa intinya belum ada keinginan politik pemerintah untuk memperhatikan buruh perkebunan sawit, termasuk para pemangku kepentingan yang tergabung di dalam organisasi meja bundar sawit (RSPO).
“Jangankan peduli, Kementerian Tenaga Kerja di Indonesia, ketika kita tanya, tidak punya data sama sekali berapa buruh sesungguhnya di perkebunan sawit. RSPO juga belum berbuat apa apa soal perbaikan kondisi buruh ini,”ungkap Hotler.
Menyepakati Istilah Prekariat dan Kerjasama Solidaritas
Dalam pertemuan itu disepakati pemakaian istilah “prekariat”, sebuah istilah yang akan digunakan, baik di Malaysia maupun di Indonesia. Istilah tersebut untuk merujuk kepada para pekerja yang tidak terdokumentasi, illegal, buruh harian lepas, buruh kontrak harian, informal dan buruh yang tidak mendapatkan hak hak sosial dan politik secara layak.
Kata “prekariat” berasal dari kata dalam bahasa inggris, precariat, yang secara harfiah artinya tidak menentu, atau tidak jelas. Prekariatisasi adalah sistem yang sedemikian rupa melahirkan buruh fleksibel dari berbagai kelas masyarakat.
“Istilah ini lebih mewakili apa yang kita bicarakan tentang buruh tanpa kepastian masa depan ini di berbagai negara,” kata Oliver Pye, salah seorang narasumber dari Universitas Bonn Jerman.
“Yang terpenting di sini ialah bagaimana antara pekerja, LSM dan serikat pekerja saling bahu-membahu untuk bekerjasama dalam memperkuat posisi pekerja, bukan sama-sama kerja tapi kepentingannya berbeda, atau bahkan untuk kepentingan lembaganya sendiri. Ini kontraproduktif namanya,” ungkap Bobi Anwar Maarif dari SBMI.
Diakhir pertemuan, 42 peserta dari Indonesia dan Malaysia menyepakati perlunya kerjasama serikat buruh Malaysia dan Indonesia untuk berbagi informasi dan berbagi pendidikan buruh untuk pemenuhan hak-hak dasar sosial dan politik buruh perkebunan.