Berita

Rekomendasi Perlindungan TKI untuk Presiden 2014-2019

Author

REKOMENDASI ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL
BAGI PEMERINTAHAN PERIODE 2014 – 2019
UNTUK PERLINDUNGAN HAK BURUH MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA

Perwakilan Organisasi Buruh Migran dalam Konsolidasi Nasional
Perwakilan Organisasi Buruh Migran dalam Konsolidasi Nasional

Kami, Masyarakat Sipil Indonesia yang Peduli Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, telah melakukan konsolidasi nasional pada 26-27 Agustus 2014 bersama 20 organisasi dan jaringan di nasional dan 7 wilayah (Lampung, Mataram, Sumbawa, Kendari, Makassar, Palu, dan Karawang) di Indonesia untuk mengevaluasi  kinerja pemerintahan sebelumnya dan merumuskan agenda kerja pemerintahan kedepan dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh migran-pekerja rumah tangga (BM-PRT), terutama buruh migran perempuan dan keluarganya.

Rujukan
Kami merujuk berbagai instrumen perlindungan Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Perempuan dan Hak Asasi Buruh Migran yang telah disepakati secara universal sebagai konvensi internasional, maupun yang telah diratifikasi oleh Negara sebagai bahan penyusunan rekomendasi untuk pemerintahan kedepan periode 2014-2019 dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh migran dan keluarganya.
Instrumen hukum yang menjadi rujukan kami adalah:

  1. Konvensi PBB tahun 1990 tentang hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya yang diratifikasi melalui UU No.6 tahun 2012
  2. Konvensi ILO No.189 tentang Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga
  3. Convention on the Elimination of Discrimination against Women yang disahkan melalui UU No.7 tahun 1984
  4. Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran
  5. International Covenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi melalui UU No.12 tahun 2005
  6. International Convenant on Economic Social and Cultural Rights yang diratifikasi UU No.11 tahun 2005
  7. Convention Against Torture and Others Cruel, Inhuman or Degrading Punishment yang diratifikasi melalui UU No.5 tahun 1998
  8. UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

PERHATIAN DAN KEPRIHATINAN KAMI 
1. Paradigma kebijakan Buruh Migran di Indonesia masih menempatkan Buruh Migran sebagai komoditas ekonomi. Hal ini ditandai dengan kebijakan-kebijakan terkait Buruh Migran, termasuk UU No. 39 Tahun 2004, yang mengedepankan pada proses penempatan Buruh Migran, bukan pada aspek perlindungan.

2. Tidak berjalannya fungsi pengawasan dalam sistem penempatan buruh migran pada tahap-tahap vital seperti perekrutan, pendidikan, pelatihan, dan tes kesehatan, sehingga proses migrasi yang berjalan menempatkan buruh migran dalam posisi rentan terhadap pelanggaran hak, kekerasan dan eksploitasi, termasuk trafficking/perdagangan orang.
Tidak diterapkannya sanksi tegas bagi pelaku pelanggaran hak BMI pada proses penempatan, termasuk pihak-pihak swasta yang terlibat dalam proses penempatan, seperti PPTKIS, Lembaga Asuransi, Sarana Kesehatan, Balai Latihan Kerja maupun individu.

3. Tidak adanya political will pemerintah dalam merealisasikan pemenuhan dan perlindungan hak-hak BM dan keluarganya sebagaimana tercantum dalam instrumen HAM internasional, baik yang telah diratifikasi maupun yang belum, diantaranya Konvensi Migran PBB 1990, Konvensi CEDAW, Konvensi ILO 189. Terlihat dengan lambannya proses pembahasan Revisi UU No.39 Tahun 2004, RUU – PRT dan Ratifikasi Konvensi ILO 189.

4. Mekanisme penanganan kasus Buruh Migran belum komprehensif, bahkan lambannya respon pemerintah atas kasus buruh migran sering menghambat buruh migran untuk mendapatkan keadilan.

5. Belum diakuinya Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai pekerja oleh hukum negara, baik di Indonesia maupun beberapa negara tujuan, menempatkan PRT sebagai kelompok rentan.

Pekerjaan Rumah tangga  dianggap sebagai  tugas perempuan yang tidak bernilai produktif. Regulasi Indonesia  belum mengakui pekerja rumah tangga sebagai pekerja yang berhak atas kondisi kerja layak sebagaimana jenis pekerjaan lainnya. Akibatnya buruh migran PRT tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.

Buruh migran perempuan yang bekerja sebagai PRT di negara-negara tujuan tidak memiliki standar upah, tidak menikmati hak atas keselamatan kerja dan kesehatan reproduksi, tidak diberi hari libur, dan tidak punya kesempatan untuk bergabung dalam serikat pekerja, tidak leluasa dan bahkan pada banyak kasus dikekang untuk tidak berkomunikasi dengan dunia luar termasuk keluarganya sendiri. Akibat relasi kuasa yang tidak seimbang antara majikan dan buruh migran PRT, buruh migran PRT rentan mengalami penganiayaan fisik, pelecehan seksual, atau bahkan perkosaan.

6. Kurangnya pemahaman dan perspektif staff pelaksana teknis maupun pejabat pemerintah terkait hak-hak Buruh Migran sehingga tidak optimal dalam memberikan pendampingan. Termasuk diplomat dan petugas perwakilan pemerintah di luar negeri yang bertanggung jawab pada perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri juga kurang menggunakan perspektif gender dan HAM dalam menangani masalah buruh migran; hal ini  banyak merugikan buruh migran perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga

7. Lemahnya koordinasi antar pemerintah terkait maupun pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam upaya pemenuhan dan perlindungan hak buruh migran dan keluarganya, akibat :

  • Lemahnya kepemimpinan presiden dalam mengkoordinasikan antar kementerian/lembaga terkait yang terlibat dalam penempatan dan perlindungan hak buruh migran dan keluarganya.
  • Tidak adanya mekanisme yang mengatur secara jelas dan tegas mengenai tugas dan wewenang masing-masing institusi pemerintahan, baik ditingkat pusat maupun daerah, sehingga terjadi tumpang tindih tugas dan wewenang, dan peran institusi-institusi terkait.

8. Tidak berfungsinya sistem informasi dan data base buruh migran yang akurat dan terintegrasi, sehingga mempersulit proses perlindungan Buruh Migran, termasuk penyelesaian kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak-hak buruh migran.

9. Tidak tersedianya layanan terpadu secara cuma-cuma (layanan psikologis, medis, bantuan hukum,  dan shelter) yang mudah di akses buruh migran, khususnya perempuan korban kekerasan, korban pelanggaran hak-hanya dan korban perdagangan  perempuan di negara Indonesia dan negara  tujuan.

10. Belum tersedianya jaminan sosial maupun mekanisme perlindungan yang secara khusus diperuntukkan bagi buruh migran perempuan dan keluarganya yang mengalami pelanggaran hak-haknya.

Program Asuransi bagi buruh migran Indonesia tidak berperspektif gender;  kebutuhan dan kondisi spesifik perempuan seperti kesehatan reproduksi, kehamilan, dan biaya persalinan tidak tercakup dalam asuransi Buruh migran (dan asuransi sosial lainnya mis; pendidikan dan kesehatan anak dari buruh migran)

11. Terbatasnya program reintegrasi untuk mantan Buruh Migran dan keluarganya, termasuk dalam hal pemulihan dan pemberdayaan ekonomi pasca kepulangan dari luar negeri

  • Terbatasnya alokasi pendanaan dari pemerintah untuk program reintegrasi, sehingga banyak mantan buruh migran yang tidak mendapatkan akses atas program tersebut.
  • Lemahnya komitmen pemerintah daerah untuk pelaksanaan program-program reintegrasi bagi mantan buruh migran dan keluarganya.

12. Minimnya program pemerintah untuk pemenuhan dan perlindungan hak anak buruh migran.

  • Sulitnya pengurusan dokumen kependudukan anak dari buruh migran di luar negeri.
  • Terbatasnya hak atas pendidikan, kesehatan dan kualitas hidup bagi anak buruh migran.
  • Tidak adanya anggaran khusus bagi pemenuhan hak anak buruh migran.

13. Minimnya pendidikan dan pelatihan yang diberikan pemerintah kepada Buruh Migran dan keluarganya. Buruh Migran belum mendapatkan informasi ataupun pemahaman yang mereka butuhkan, seperti mengenai hak-hak sebagai Buruh Migran, termasuk hak mendapatkan pendampingan ketika mengalami kasus.

14. Kurangnya pelibatan buruh migran dan keluarganya atau kelompok pemerhati buruh migran di dalam perencanaan , pelaksanaan program atau layanan bagi buruh migran, termasuk dalam perencanaan anggaran sehingga layanan yang ada tidak optimal dan tidak sesuai dengan kebutuhan Buruh Migran.

15. Terbatasnya anggaran bagi program Buruh Migran di berbagai kementerian dan lembaga, bahkan tidak transparannya penggunaan anggaran.

  • Ketidakjelasan penggunaan dana perlindungan dari buruh migran senilai USD 15 per Buruh Migran yang pernah diberlakukan.

REKOMENDASI
Atas berbagai keprihatinan dan persoalan yang dialami buruh migran dan anggota keluarganya, maka kami, masyarakat sipil merekomendasikan kepada pemerintahan periode 2014-2019 untuk :

  1. Melakukan revolusi tata kelola buruh migran dari yang semula bermuara pada paradigma komodifikasi kearah perspektif dan pendekatan perlindungan komprehensif berdasarkan perspektif HAM dan keadilan gender.
  2.  Harmonisasi seluruh peraturan perundangan tentang buruh migran Indonesia dengan mengacu pada instrumen HAM Internasional terkait.
  3. Segera mengesahkan Revisi UU No. 39 Tahun 2004, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Ratifikasi Konvensi ILO 189 Tentang Pekerja Layak dengan memuat Konvensi Migran PBB 1990 dan Konvensi CEDAW  dan memastikan menjadi agenda prioritas dalam Prolegnas 2015.
  4. Segera evaluasi berbagai kebijakan dan sistem yang belum melindungi hak-hak buruh migran – pekerja rumah tangga (BM-PRT) dan keluarganya.
  5. Meningkatkan upaya-upaya diplomasi politik pemerintah dengan negara tujuan untuk memastikan perlindungan hak buruh migran di negara tujuan. Diantaranya mengevaluasi pelaksanaan MoU dan membangun perjanjian bilateral  dengan negara tujuan penempatan, termasuk mendesak Instrumen perlindungan buruh migran dan keluarganya di ASEAN.
  6. Segera evaluasi terhadap kinerja pemerintahan, termasuk BNP2TKI terkait upaya perlindungan hak-hak BM-PRT dan anggota keluarganya, dengan segera membentuk tim evaluasi independ yang melibatkan masyarakat sipil dan kelompok buruh migran.
  7. Segera evaluasi kinerja dan peran pihak-pihak swasta yang terlibat dalam penempatan buruh migran Indonesia, termasuk PPTKIS, Sarana Kesehatan, Asuransi, BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi), LPK, Perusahaan Perekrut ABK dan Balai Latihan Ketrampilan.
  8. Memastikan fungsi dan mekanisme pengawasan perekrutan berjalan, demi terciptanya sistem migrasi aman  dan tidak melanggar hak-hak pekerja migran dan keluarganya.
  9. Melibatkan masyarakat sipil dan kelompok buruh migran dalam penyusunan kebijakan, program dan anggaran untuk perlindungan hak BM-PRT.
  10. Mendorong pemerintah daerah untuk melahirkan kebijakan daerah (Perda) tentang perlindungan hak-hak buruh migran dan keluarganya diwilayah-wilayah kantong buruh migran.
  11. Memastikan pelaksanaan dari UU PPTPO, Instrumen HAM Internasional yang telah diratifikasi dan  menyusun laporan pemerintah atas  pelaksanaan UU No.6 Tahun 2012 Tentang Ratifikasi Konvensi Migran PBB 1990 dan menginformasikan laporan tersebut kepada publik.
  12. Segera membangun sistem informasi, konsultasi dan sistem penanganan kasus kekerasan dan pelanggaran hak buruh migran yang terintegrasi dan dapat diakses publik, terutama kelompok buruh migran dan keluarganya.
  13. Menyusun program-program untuk memastikan terpenuhinya hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya, melalui :
  • Program untuk pemenuhan dan perlindungan hak anak buruh migran atas pendidikan, kepengurusan dokumen kependudukan, hak atas pengasuhan.
  • Program reintegrasi bagi mantan buruh migran dan anggota keluarganya, termasuk program pemberdayaan ekonomi (UKM)  dan pemulihan.
  • Penyediaan layanan terpadu secara cuma-cuma (layanan psikologis, medis, bantuan hukum,  dan shelter) yang mudah di akses buruh migran, khususnya perempuan korban kekerasan, korban pelanggaran hak-hanya dan korban perdagangan  perempuan di negara Indonesia dan negara  tujuan.

14. Segera melakukan audit penggunaan dana perlindungan buruh migran di kementerian-kementerian/lembaga yang terlibat.

15. Mengalokasi penganggaran dana untuk perlindungan hak-hak buruh migran dan keluarganya, termasuk penganggaran untuk peningkatan kapasitas bagi buruh migran dan keluarganya.

JAKARTA, 28 AGUSTUS 2014

GERAKAN MASYARAKAT SIPIL PEDULI PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN DAN KELUARGANYA
Solidaritas Perempuan (SP), SP Mataram, SP Sumbawa, SP Anging Mammiri Makasar, SP Palu, SP Kendari, Jaringan Nasional Advokasi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Jaringan Advokasi untuk Revisi UU No. 39 Tahun 2004 (JARI PPTKILN), Aliansi Rakyat untuk Ratifikasi Konvensi Migran 90 (ARRAK 90), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta),  Human Rights Working Group (HRWG), Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), Migrant Care, Migrant Institute, Peduli Buruh Migran, Institute of Ecosoc Rights, Serikat Buruh Migran Indonesia, Solidaritas Buruh Migran Karawang, FSPSI Reformasi.

Satu komentar untuk “Rekomendasi Perlindungan TKI untuk Presiden 2014-2019

  1. Apakah TKI bisa pulang sebelum HBS kontrak, alesany majikan selalu mengulur waktu gajian harusnya sy SDH gajian tgl 5 sampe skrg majikan blm jg ngajakin k bnk untuk ngambil uangny kl sprti ini trs bgmna dah GT kl pagi g pernah masak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.