Kiprah

CONGKOK BURUH MIGRAN

Author

Ditemani kopi pahit, aku dan teman-teman biasa bertukar cerita dan berbagi tawa waktu malam hari di congkog (pos kamling) kampungku, Babakan Ciledug Cirebon. Congkog di dekat rumahku memang selalu menjadi tempat idaman kami melepas cerita, baik cerita suka maupun duka menjalani hidup ini.

Ada 5 orang yang menjadi pengunjung setia congkog, yaitu Adi (37), Bukhori (35), Ikin (25), Warjo (40), dan aku sendiri (Lukman, 26). Memang tidak ada tema khusus dalam obrolan kami, semuanya berjalan mengalir. Seperti angin, ia bebas terbang ke mana pun ia mau. Namun, sering kali obrolan tersebut untuk merespons berita-berita yang sedang ramai diperbincangkan di media massa, khususnya televisi. Kadang soal urusan sepak bola, politik, dan TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Di antara mereka, ada yang bersikap sok tahu, ada yang sekadar tahu, dan ada juga yang nggak mau tahu.

Dari berbagai obrolan bebas itu, aku sangat tertarik ketika mereka membincangkan persoalan TKI. Sebuah persoalan yang selalu ramai jadi bahan pembicaraan di kampungku yang sudah dikenal sebagai pemasok TKI di Cirebon. Kami semua mempunyai keterkaitan dengan TKI. Misalnya, aku, mantan TKI di Brunei Darusalam.Kerja di luar negeri masih menjadi harapan besar para pemuda di sini. Dengan menjadi TKI, para pemuda tersebut ingin membantu perekonomian keluarga, mampu membayar semua hutang keluarga, mencari modal usaha.

“Rabine aku mangkat ning Arab uwis ping loro. Mangkatan pertama telung taun, mangkatan ke loro  telung taun. Kabeh kirimane sing Arab ding aku tak kumpuli  nggo gawe umah karo sisane nggo bayar utange aku mangan selama aku ditinggal di rabine aku,” tutur Adi mengawali obrolan malam yang entah akan berakhir berapa jam lagi.

“Ari rabine akuta mangkat ping siji. Kue bae cuma rong taun ning Arab, pan nggo gawe umah bae geh repot. Utange ngayah pisan ning warung-warung, kang  Adi ta enak rabine ari kirim kebek bae,dadi duite kumpul bae,” sahut Bukhori seakan tidak ingin ketinggalan cerita yang baru saja dimulai.

Kemudian Ikin pun menambahkan, “akuta sama sekali ora bisa ngerasani kiriman. Yong akuta, pas wadone aku teka langsung dikawin ding aku. Soale aku mikire kiye wong wadon masih perawan tembe teka pisan sing Arab, pasti duite ngayah. Dadi tak kawin bae. Ehhh, belih weruhta ora gawa duit sing Arab. Monine ora digajine entok ding wongtuane”. Ikin baru saja menikah dengan seorang perempuan desa yang baru datang dari kerja di Arab Saudi.

Lain lagi dengan Warjo. Ia bercerita tentang anaknya yang sudah menikah kemudian berangkat ke Arab Saudi. Menantu barunya hanya tinggal di rumah. Menganggur. “Lamon bisa telpon ning anake akuta pan ngomong kokon balik bae. Percuma mangkat Arab, duit kirimane entok bae ding suaminya (menantunya). Kadang entok kanggo mabok-mabokan, pasang nomer (judi), luwih parah maning ari olih kiriman duite kanggo dolanan wadon.Degel pisan pengine kah di tempelang bae,” ucap Warjo dengan nada jengkel.

Para buruh migran biasanya mengirimkan gajinya ke keluarganya. Sangat jarang keluarga tersebut yang mempunyai kemampuan baik dalam mengelola keuangan. Akhirnya, harapan untuk dapat membantu perekonomian keluarga, membangun rumah baru agar dapat ditempati sewaktu kembali dari luar negeri, dan melunasi semua hutang keluarga pun sirna. Banyak keluarga yang mendapatkan kiriman uang “melimpah” ini merasa “gatel” untuk membelanjakannya. Kebanyakan di antara mereka berpikir, jika uang kiriman habis, para istri mereka masih dapat memperpanjang kontrak kerja mereka di luar negeri sehingga uang pun terus mengalir.

Akan tetapi, tidak sedikit para buruh migran yang belajar dari pengalaman “kegagalan menabung ini.” Biasanya mereka berangkat lagi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Kemudian setiap bulan mereka mengirimkan uang secukupnya kepada keluarga di rumah, dan menyimpan sendiri sisanya.

Tanpa terasa. Malam terus berjalan, hingga berganti hari. Kulihat kopi di cangkir pun sudah kehilangan isi. Tidak ingin menjemput pagi, kami membubarkan diri.

(Di jalan menuju rumah, pertanyaan-pertanyaan terus menggelayuti isi kepalaku: Kalau memang cerita di congkog tadi sangat penting mengapa tidak dilakukan tindakan? Misalnya memberikan informasi kepada keluarga para buruh migran. Dapat juga pengolahan remitten? Seperti membuat koperasi buruh migran?. Hmmm…)

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.