Yogyakarta – Kegiatan pelatihan pengembangan usaha dan pemasaran, khususnya bagi Komunitas Pekerja Migran Indonesia (KOPI) Bringinan dan Pandanarum telah dilaksanakan pada Selasa-Kamis (08-10/08/2023), di Pendopo Pleret yang merupakan pusat unit usaha Nusantara Organik. Adapun dalam agenda tiga hari tersebut, materi yang diberikan meliputi kewirausahaan pertanian, sirkulasi ekonomi pertanian, pertanian organik, pembuatan pakan ternak silase, dan pembuatan pupuk organik cair.
Dapat dikatakan bahwa pelatihan ini merupakan perubahan pola pikir mengenai kebiasaan bertani yang selama turun temurun oleh mayoritas petani di Indonesia. Irsyadul Ibad, yang membuka kegiatan ini, berseloroh dan mengajak para peserta untuk berkontemplasi. Ia mengatakan bahwa petani di Indonesia menggunakan cara-cara yang kasar dalam merawat tanaman pertanian, seperti persemaian yang rapat dan padat pada bibit, memukul-mukul akar benih yang baru saja dicabut dari persemaian untuk menghilangkan lumpur, dan jarak tanam yang rapat pada lahan. Selain itu tata cara perawatan juga mendapat perhatian dari pelatih sehingga petani membutuhkan tanaman padi dengan memastikan tanaman tersebut merupakan makhluk hidup.
“Kita sering kali mengabaikan bahwa padi itu juga makhluk hidup. Bayangkan jika anda [sebagai makhluk hidup] dicerabut paksa, dipukul-pukul, lalu dipotong secara paksa; cara-cara yang demikian, [jika manusia] adalah eksploitatif. Bagaimana anda akan mendapatkan hasil besar jika perlakuannya kasar?” Sindir Ibad dalam pengantar pelatihan.
Sementara itu, penguatan kapasitas mengenai tata cara peternakan mendapat perhatian dari para pelatih. Umumnya beternak merupakan pekerjaan paruh waktu bagi para petani di Indonesia. Yudi Setyadi, selaku pelatih, mengajak peserta menganalisis biaya perawatan hewan ternak. Biaya-biaya tersebut meliputi biaya pakan, tenaga kerja dan waktu yang dihabiskan selama perawatan ternak hingga penjualan. Umumnya petani tidak memperkirakan biaya-biaya tersebut sehingga keuntungan yang diperoleh kecil.
“Banyak peternak menganggap beternak merupakan pekerjaan sambilan, sehingga mereka tidak memperhitungkan aspek-aspek ekonomi yang sudah dikeluarkan,” pungkas Yudi Setyadi dalam pelatihan itu.
Materi selanjutnya secara umum adalah memperkenalkan sirkulasi ekonomi pertanian dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada disekitarnya yang dapat digunakan sebagai pupuk nabati dan pestisida organik. Mereka diajak mengidentifikasi kebutuhan dasar tanaman mulai dari akar, batang, perkawinan bunga/tanaman dan pemupukan dan jenis-jenis kimiawi alami yang dapat dimanfaatkan. Proses kimiawi tumbuhan pada fase tumbuhan tersebut berbeda-beda. Analoginya cukup sederhana, peserta diminta mengidentifikasi jenis tumbuhan di sekitar mereka yang mempunyai kelebihan dan keunggulan pada akar, batang, dan buahnya. Tanaman ini sebenarnya bisa diolah dan dijadikan pupuk organik yang dapat memperkuat struktur tanaman.
Peserta juga mempraktikkan cara membuat pestisida buatan dari tanaman yang ada disekitarnya. Ide dasar yang diperkenalkan kepada mereka tentang pengendalian hama atau gulma. Selama ini petani terjebak dalam pemberantasan hama dan gulma yang mengganggu rantai makanan. Ketika rantai makanan terganggu maka akan terjadi ketidakseimbangan ekosistem persawahan. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada komoditas atau tanaman yang dipelihara petani. “Semua yang diciptakan di dunia ini, pasti memiliki manfaat. Namun jika manusia merekayasa dan mengubah kesimbangan lingkungan, maka hal itu akan berdampak pada aspek yang lain, termasuk pertanian,” tegas Yudi, panggilan akrabnya.
Peserta juga belajar tentang kebutuhan dasar ternak dan unsur apa saja yang dapat dimanfaatkan dari bahan-bahan yang ada disekitarnya. Pada prinsipnya pelatihan ini menekankan bahwa kebutuhan dasar ternak tidak selalu berupa pakan hijauan. Oleh karena itu, para peternak sebaiknya tidak setiap hari mencari pakan hijauan yang dapat menyita waktu dan tenaga. Dengan efisiensi tersebut, petani dapat melakukan pekerjaan lain yang dapat meningkatkan perekonomian keluarga.
Pada sesi akhir pelatihan ini, setelah peserta memahami keterampilan teknis mengenai kewirausahaan pertanian dan perputaran ekonomi pertanian, mereka berdiskusi tentang bagaimana menyusun strategi bisnis yang sedang mereka jalankan. Pengenalan pada materi ini adalah bagaimana menciptakan jiwa wirausaha dengan memanfaatkan proses identifikasi pada aspek ketidakseimbangan pasar, harga, spekulasi dan lain-lain. Selain itu, mereka juga diperkenalkan dengan bauran pemasaran 5.0 yang diharapkan lebih peka terhadap perubahan zaman. Selama ini pertanian dan peternakan masih dianggap sebagai jenis usaha tradisional. Padahal, seiring dengan kemajuan teknologi, kedua jenis usaha ini dapat saling dipertukarkan dan dikelola secara efektif dan efisien.
Pada sesi akhir pelatihan, KOPI Bringinan telah menyusun rencana dan strategi bisnis dengan fokus pada produk turunan peternakan yaitu daging ternak. Mereka akan mengelola usaha katering yang menyasar kebutuhan budaya setiap rumah tangga di Ponorogo, misalnya pernikahan, kelahiran, dan kegiatan sosial budaya lainnya. Semua kegiatan tersebut membutuhkan pangan, sehingga KOPI akan mengembangkan usaha katering dengan memanfaatkan hewan ternak milik masyarakat sekitar Bringinan. Dengan begitu, masyarakat akan mendapatkan harga jual yang kompetitif dibandingkan harus dibeli oleh tengkulak. Sedangkan Bringinan KOPI akan mengalami arus kas yang lebih cepat sehingga dapat meningkatkan pendapatan kelompok.
KOPI Pandanarum juga telah menyusun rencana dan strategi bisnis yang fokus pada pupuk organik khususnya penyediaan media tanam dan kompos. Mereka akan menggunakan kotoran ternak mereka sendiri dan kotoran masyarakat sekitar. Selanjutnya akan diolah menjadi pupuk. Kebutuhan pupuk semakin meningkat seiring dengan mulai dibatasinya pasokan pupuk buatan bersubsidi oleh pemerintah. Oleh karena itu, selain memberikan pupuk organik, KOPI Pandanarum juga akan mengedukasi masyarakat untuk beralih ke pertanian organik dan tidak bergantung pada pupuk kimia buatan.
“Saya merasa senang model pelatihan semacam ini. Kita tidak hanya belajar teori tapi juga hal-hal teknis yang menyangkut pengembangan usaha komunitas. Yang tak kalah penting adalah perubahan mindset kita tentang bagaimana memerlakukan komoditas di sekitar kita yang hidup. Ini penting,” kata Sudarmianto, salah satu peserta dari KOPI Pandanarum, merefleksikan pelatihan ini. [Ridwan Wahyudi]