Siapa Peduli Kesehatan Mental Pekerja Migran?

Author

Siapa peduli kesehatan mental pekerja migran Indonesia (PMI)? Pemerintah atau seharusnya PMI sendiri? Tapi bagaimana caranya? Mengapa PMI penting deteksi dini kesehatan mentalnya? Upaya apa yang sudah dilakukan pemerintah? Dibandingkan persoalan prosedural penempatan di luar negeri, benarkah persoalan kesehatan mental luput dari perhatian? Warta Buruh Migran (WBM) kali ini akan berbagi mengulas tentang isu kesehatan mental PMI.

Sobat pekerja migran, masih ingat kisah Reni (23)? Reni adalah seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Kabupaten Sukabumi yang dikabarkan mengalami gangguan kejiwaan ketika pulang ke tanah air pada 2018 lalu. Berdasarkan keterangan Lina Evelin, Sekretaris Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Kabupaten Sukabumi, yang dilansir oleh Antara, Sabtu (4/8/2018), Reni diduga mendapat siksaan dari majikannya selama bekerja di Dubai, Uni Emirat Arab. Kasus ini baru terungkap setelah pengurus Desa Mekartanjung melaporkan dugaan penganiayaan terhadap Reni ke Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Jawa Barat (Jabar).

Pada Desember 2018 sampai Januari 2019, Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM) melalui fans page Facebook @PSDBM mencoba mengulas kembali tentang pentingnya PMI memerhatikan kesehatan mental. Melalui ulasan tersebut, PSDBM juga menganalisa respon pembaca mayoritas PMI berdasarkan komentar mereka. Dari analisa data Facebook, ulasan tersebut telah menjangkau 18.608 orang dan 1.876 interaksi. Melalui kolom komentar, sejumlah PMI juga mengungkapkan tentang apa yang mereka alami.

Pada umumnya, PMI yang mengungkapkan persoalannya adalah mereka yang bekerja di sektor informal sebagai PRT, mulai dari tekanan dari majikan, pelarangan atas akses informasi, pembatasan untuk berkomunikasi dengan orang-orang sekitar, bahkan dengan keluarganya di Indonesia, seperti komentar PMI dengan akun Facebook atas nama Kusniah Kusniah. Kusniah bekerja sebagai PRT di Malaysia, dia mengaku harus sembunyi-sembunyi menelpon keluarganya.

“Aku di Malaysia tidak boleh pegang Hp (hand phone), tapi ini aku sembunyi-sembunyi, habis kalau lagi kangen sama keluarga nggak bisa ditahan, pengen telepon terus. Sedangkan saya hanya boleh telepon satu bulan sekali, itu juga nggak boleh bicara lama-lama di telepon,” ungkap Kusniah dalam komentarnya di fans page PSDBM.

Selain Kusniah, ada Liseu Rahmawati yang secara terbuka mengakui perasaannya ketika akses informasinya dibatasi oleh majikan. Liseu yang bekerja di Malaysia mengaku tidak diperbolehkan memegang HP, tidak diizinkan untuk berkomunikasi dengan orang sekitar, tidak boleh menonton televisi. Saat itu, Liseu sama sekali tidak mengetahui berita dunia luar. Ia merasakan jenuh, bosan, rindu keluarga dan ingin sekali berontak.

Apa yang diungkapkan Kusniah dan Liseu Rahmawati, setidaknya memberikan gambaran bagaimana kondisi terkini para PMI di tempat kerja. Beruntung keduanya masih mampu secara sadar mengidentifikasi apa yang mereka rasakan, sehingga tidak sampai pada tahap depresi berat, apalagi sampai bunuh diri. Pada 2012, berdasarkan data Kementrian Kesehatan seperti dilansir tempo.co (22/6/2012), setiap tahun rata-rata ada lima PMI terganggu jiwanya dan dirawat di Rumah Sakit Jiwa di Jakarta.

Pada 2011, Kementerian Kesehatan mencatat ada lima PMI perempuan yang masuk Rumah Sakit Jiwa Soeharto Herdjan, Grogol, Jakarta. Ketika dipulangkan ke Indonesia, lima perempuan itu menunjukkan gejala-gejala sakit jiwa sehingga dirawat di rumah sakit jiwa. Sayangnya, Kementerian Kesehatan tidak memiliki data terperinci mengenai PMI yang mengalami gangguan jiwa karena mendapat siksaan ketika bekerja di luar negeri, namun angka PMI yang sakit jiwa diduga lebih banyak dari lima orang per tahun, terutama yang tidak terlaporkan. Biasanya, PMI menderita sakit jiwa karena mengalami trauma yang hebat ketika bekerja di luar negeri. Selain itu kultur perlakuan terhadap perempuan yang berbeda antara Indonesia dan negara lain. Umumnya, PMI yang mengalami gangguan jiwa adalah mereka yang bekerja di Suriah, Libya, Arab Saudi, dan Malaysia.

Mengapa PMI Rentan Terganggu Kesehatan Jiwanya?

Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang melakukan migrasi ke negara penempatan memiliki potensi terkena gangguan kesehatan mental dan psikologis. Sejumlah pekerja migran terkena gangguan psikologis ketika berada di negara penempatan. Lingkungan sosial baru seperti budaya, agama serta adat istiadat yang berbeda menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan kesehatan mental dan psikologis. Selain itu, kondisi pekerjaan yang penuh tekanan dari majikan membuat pekerja migran rentan terkena gangguan kesehatan mental dan psikologis. Berbagai stressor yang terjadi pada lingkungan kerja atau lingkungan sehari-hari akan menjadi hal yang sulit apabila pekerja migran tidak dapat beradaptasi dengan baik.

Menurut Irsyadul Ibad, peneliti pada isu pekerja migran dari PSDBM, PMI menghadapi tantangan persoalan diri yang berlapis ketika mulai bekerja di luar negeri, baik dalam relasi kerja, hidup dalam lingkungan baru, maupun dalam relasi dengan keluarga yang ditinggalkan di tanah air. Masa paling krusial dan rentan adalah 6 bulan pertama. Saat itu, PMI mulai harus mengenali jenis-jenis pekerjaan, lokasi-lokasi penting yang terkait dengan pekerjaan, serta berinteraksi dengan orang lain yang menggunakan bahasa dan kebiasaan yang berbeda.

Tingkatan tantangan tersebut akan berbeda antara satu orang dengan lainnya, tergantung oleh faktor-faktor unik, seperti tabiat atau perilaku pengguna jasa, keberadaan teman-teman yang bisa menjadi tempat bertanya atau rujukan atau kondisi pribadi PMI itu sendiri. Gangguan mental perlu menjadi perhatian PMI. Ancaman gangguan ini sama setara dengan ancaman gangguan kesehatan lainnya. PMI perlu mempertimbangkan menemui konselor atau psikolog apabila merasakan adanya persoalan psikologis yang dialami.

“Secara sederhana, PMI dapat pula mengamati perubahan-perubahan psikologis yang dialaminya. Gangguan psikologis cenderung mengarahkan pada hal dan reaksi negatif. Pengamatan sederhana ini bisa membantu PMI mencegah terjadinya gangguan mental. Tentu tidak ada yang ingin gangguan mental membuyarkan cita-cita migrasi para PMI,” ungkap Irsyadul Ibad yang kini tengah menyusun modul khusus tentang pemantapan psikologi pekerja migran, pada (8/01/19).    

Belum Ada Tes Psikologis untuk Penempatan P to P

Tes psikologi bagi calon PMI sebenarnya telah diselenggarakan melalui sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi yang ditunjuk oleh Pemerintah. Pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon PMI dimaksudkan untuk mengetahui kesehatan dan tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian kepribadian calon PMI dengan pekerjaan yang akan dilakukan di negara tujuan.

Ketentuan mengenai penyelenggaraan pemeriksaan kesehatan dan psikologi diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri kesehatan (Permenkes No/29/2013) tentang Penyelenggaran Pelayanan Pemeriksaan Kesehatan Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI). Permenkes ini mengatur bagaimana tes medis dan tes psikologis diterapkan pada calon pekerja migran yang akan bekerja ke luar negeri. Permenkes ini juga menjelaskan pemeriksaan kesehatan jiwa dilakukan terhadap aspek kognitif, mood, perilaku serta kesadarannya. Adapun pemeriksaan status psikiatri terdiri dari penampilan umum ditunjukkan melalui sikap, perilaku, dan psikomotor.

Undang-undang PMI yang baru yakni UU 18/2017 tentang Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) mengamanatkan bahwa dalam proses penempatan pekerja migran ke luar negeri pekerja migran harus menjalani pemeriksaan kesehatan dan psikologis. Regulasi turunan dari undang-undang ini belum ada, begitupun dengan regulasi yang secara khusus mengatur tentang tes psikologis. Berkaca dari undang-undang sebelumnya, aturan mengenai tes psikologis ini tidak dilakukan pemerintah terhadap calon pekerja migran yang bekerja lewat jalur Privat to Privat (P to P).

Pengalaman salah satu pekerja migran, Sofia Gayuh Winarni, PMI di sebuah pabrik elektronik di Malaysia, ia tidak pernah melalui tes psikologis untuk berangkat ke luar negeri. Sofia mengaku hanya menjalani tes kesehatan sebelum berangkat ke luar negeri. Begitu pun menurut Ratih, pekerja migran sektor rumah tangga di Hong Kong  yang mengemukakan hal yang sama. Ia tidak pernah menjalani tes psikologis sama sekali untuk dapat bekerja di Hong Kong. Setelah mendaftar di Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) red. dulu PJTKI, Ratih langsung menjalani tes medis dan membuat paspor.

Boro-boro tes psikologis, belajar bahasa saja tidak ada. Setelah tes medis dan membuat paspor, saya langsung disuruh bantu kantor PJTKI/P3MI mengurus dokumen calon pekerja migran ke Malaysia dan Singapura. Setelah itu saya PKL di kantor orang China selama 5,5 bulan, setelah itu balik ke PJTKI/P3MI menginap satu malam dan paginya langsung terbang,” ujar Ratih.

Ketiadaan tes psikologis pada pekerja migran P to P ini diamini oleh Sri Andayani, Direktur Penempatan dan Harmonisasi PKLN, BNP2TKI. Sri Andayani menjelaskan bahwa tes psikologis tidak pernah dilakukan terhadap pekerja P to P karena belum ada regulasi turunan mengenai itu. Selama ini calon pekerja migran yang diberangkatkan lewat P to P hanya melakukan tes medis yang hasilnya menunjukkan apakah pekerja migran layak untuk kerja atau tidak. Sri Andayani menjelaskan bahwa tes psikologis saat ini hanya dilakukan bagi calon pekerja migran yang ditempatkan lewat program Government to Government (G to G).

“Calon pekerja migran G to G ke Korea memakai tes psikologis karena proses penempatannya dilakukan oleh BNP2TKI sehingga kami melaksanakan itu. Tes psikologis untuk G to G sendiri biayanya saat ini Rp 500 ribu,” kata Sri Andayani saat ditemui Kru Warta Buruh Migran (WBM) pada Selasa (8/01/19) di Yogyakarta.  

Sri Andayani juga menegaskan bahwa, pemeriksaan psikologis calon pekerja migran G to G dilakukan bekerja sama dengan lembaga psikologi dari Universitas Indonesia (UI). BNP2TKI tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan tes psikologi sendiri, untuk itu harus bekerja sama dengan yang berkompeten di bidangnya. Tes psikologis calon pekerja migran memiliki pengukuran dan indikator-indikator yang menunjukkan bahwa calon pekerja migran siap untuk bekerja ke luar negeri. Jika terdapat ketidaktepatan pengukuran dengan kondisi yang ada dan masih diberikan sertifikat kelulusan, maka BNP2TKI akan menuntut penyelenggara tes psikologi tersebut. [] Baca juga tips dan pandaun menjaga kesehatan mental bagi PMI di rubrik “Tips dan Panduan”. 

Sumber data:

Ananda Badudu, (2012). Setahun Minimal TKI Masuk Rumah Sakit Jiwa. Diakses pada 16 Januari 2019 dari https://nasional.tempo.co/read/412287/setahun-minimal-lima-tki-masuk-rumah-sakit-jiwa/full&view=ok

Satu komentar untuk “Siapa Peduli Kesehatan Mental Pekerja Migran?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.