Kementerian Tenaga Kerja menghentikan pengiriman buruh migran PRT ke 21 negara di Timur Tengah meliputi Aljazair, Arab Saudi, Bahrain, Irak, Iran, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Pakistan, Palestina, Qatar, Sudan Selatan, Suriah, Tunisia, UEA, Yaman, dan Yordania. Kebijakan ini menuai banyak komentar dari buruh migran dan pegiat buruh migran. Jaringan Buruh Migran (JBM), yang terdiri dari berbagai organisasi buruh migran tak sepakat dengan roadmap penyetopan PRT migran karena isi roadmap terlebih dahulu tak dikonsultasikan kepada publik.
Savitri Wisnuwardhani, Seknas JBM, mengatakan bahwa seharusnya dalam setiap pembuatan kebijakan publik, konsultasi publik harus dilakukan kepada stakeholder terkait, terutama buruh migrannya. Forum konsultasi publik banyak dilakukan, namun hanya di tingkat kabupaten/kota dengan kegiatan musrembang. Bila forum konsultasi publik antar pelaku pembangunan dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah bisa dilakukan, kenapa untuk kebijakan di tingkat nasional tidak dilakukan pemerintah? Padahal penghentian ini menyangkut harkat dan martabat banyak pihak, terutama buruh migran.
Selain mengenai konsultasi publik sebelum mengambil kebijakan, Savitri mengutip UUD 1945 pasal 28D yang menyatakan bahwa ” Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” Pasal tersebut dapat diartikan bahwa tugas pemerintah adalah menyiapkan lapangan pekerjaan yang layak dan adil bagi seluruh warga negaranya.
“Jika pemerintah akan menyetop pengiriman PRT migran ini, apakah lapangan pekerjaan di dalam negeri sudah menjamin adanya akses perlakukan yang adil dan layak bagi buruh?,”ujar Savitri.
Akses dan perlakukan yang adil bagi buruh dalam negeri saja masih jauh dari harapan. Bahkan tak sedikit buruh bekerja di bawah UMR dengan kondisi kerja, upah dan hidup tidak layak. Pelarangan penempatan buruh migran ke 21 negara-negara Timur Tengah dinilai Savitri tidak jelas, karena belum ada informasi apakah pelarangan penempatan permanen atau hanya sementara.
“Moratorium bisa dilakukan asalkan jelas batas waktunya, selain itu harus dibarengi pembenahan sistem migrasi kerja di Indonesia yang lebih baik sesuai dengan pasal 27 ayat 1 dan 2 UU 39/2004, yakni harus membuat perjanjian tertulis dengan pemerintah negara penempatan sebelum menempatkan BMI,” imbuh Savitri.
Jaringan Buruh Migran menilai jika moratorium dilakukan, maka harus ada mekanisme perbaikan tata kelola perlindungan buruh migran seperti :
a.Melakukan koordinasi kerja secara komprehensif, kompak dan terus-menerus setidaknya mulai dari empat lembaga terkait buruh migran, yaitu Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Luar Negeri, BNP2TKI, Kementerian Kesehatan, Kemensos dan mengikutsertakan organisasi independen peduli TKI/PRT migran.
b.Secara khusus membentuk tim pengawas dan penindak secara hukum untuk menangani kasus-kasus perekrutan non-prosedural atau perdagangan manusia di titik-titik penting seperti bandara, pelabuhan laut, dan daerah perbatasan, bekerja sama terutama dengan Kepolisian, Pemerintah Daerah dan lembaga terkait lainnya.
c.Memperkuat tim penanganan kasus TKI di kantor-kantor perwakilan RI di negara-negara penempatan TKI, terutama dengan menambah personel/pejabat, atau bekerja sama dengan pengacara-pengacara publik seperti asosiasi pengacara pro bono setempat, asosiasi pengacara di Indonesia atau negara tujuan. Tim ini harus juga mampu menyelesaikan masalah-masalah perdata/pelanggaran perjanjian kerja, seperti gaji tak dibayar, PHK sepihak, tak berdokumen dan sebagainya.
d. Meningkatkan dan memperkuat peran pemerintah daerah yang diintegrasikan dalam bentuk pelayanan satu atap untuk penempatan/perekrutan TKI/PRT agar menjadi mudah, murah, cepat, aman, bersih dan transparan, dalam ihwal berikut: a) Pelayanan informasi terkait penempatan/perekrutan; b) Pengurusan dokumen; c) Pembiayaan penempatan harus murah; d) Pendidikan/pelatihan.