“Kasus-kasus pelanggaran dan kekerasan yang dialami perempuan buruh migran merefleksikan masih minimnya perlindungan terhadap Perempuan Buruh Migran Indonesia. Hal ini menjadi pembelajaran untuk mewujudkan jaminan perlindungan yang komprehensif bagi Perempuan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Konvensi Migran 1990, dan Konvensi CEDAW.”
Berawal dari ketertarikan bergabung menjadi anggota Solidaritas Perempuan (SP) di Padang tahun 2006, Andriyeni–akrab disapa Yeni–masih aktif dalam advokasi kasus Perempuan Buruh Migran (PBM) di Indonesia hingga saat ini. Sebagaimana makna burung merpati dalam lambang SP, perdamaian, kebebasan dan solidaritas, SP memiliki mandat untuk membangun gerakan perempuan yang bisa mewadahi berbagai upaya untuk menciptakan tatanan yang lebih adil dan demokratis bagi perempuan dan masyarakat secara umum.
Perempuan kelahiran Padang ini mulai mengenal advokasi dengan pendekatan feminis, khususnya kasus Perempuan yang memutuskan menjadi Buruh Migran ketika pindah dari Medan ke Jakarta dan memulai aktivitas di Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan. Baginya, feminisme memuat kesadaran akan keberagaman situasi perempuan dan identitas perempuan yang berlapis dan menghasilkan lapisan ketidakadilan terhadap perempuan.
Dalam kasus yang menimpa PBM, Yeni melihat berbagai lapisan identitas yang melekat pada perempuan serta dampaknya terhadap perempuan. Kompleksitas tersebut menjadi latar belakang baginya untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan terhadap Perempuan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Lapisan identitas PBM seperti kelas ekonomi, kelas sosial, latar belakang pendidikan, status perkawinan, ras dan lain sebagainya menghasilkan kompleksitas persoalan perempuan. Tentunya ini menjadi tantangan untuk menganalisis situasi spesifik perempuan sehingga menghasilkan strategi advokasi kasus yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan.
“Sebanyak 50 hingga 60 kasus kekerasan dan pelanggaran hak PBM dilaporkan kepada Solidaritas Perempuan setiap tahunnya. Advokasi kasus PBM yang dilakukan SP hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kasus kekerasan dan pelanggaran hak, eksploitasi bahkan trafficking yang terus terjadi,” tutur Yeni.
Banyaknya kasus PBM tidak sekedar angka kasus, karena perempuan adalah kelompok paling rentan yang sering kali mengalami penindasan berlapis. Penindasan bukan hanya karena sektor pekerjaan yang berbahaya, tetapi juga akibat pelabelan yang dilekatkan terhadap perempuan sehingga terjadi ketimpangan relasi kuasa yang membuat perempuan berada dalam posisi lebih rendah. Setiap kasus memiliki situasi spesifik mengenai lapisan identitas dan ketidakadilan serta cerita luka dan perjuangan perempuan yang berada di jantung perjuangan. Perempuan tidak hanya berhadapan dengan ketimpangan relasi kuasa dengan negara dan korporasi, namun juga ketimpangan relasi kuasa yang selama ini merampas hak dan kedaulatan perempuan.
Hal ini juga sangat berdampak terhadap kasus-kasus yang ditangani SP, salah satu contoh kasusnya adalah SM asal Sumbawa dan WN asal Karawang. Tahun 2008, SM dan WN, dua orang PBM yang ditempatkan di Arab Saudi dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan sihir. Saat di penjara, mereka mengalami ancaman dan penyiksaan lebih dari 1 bulan 10 hari. Mereka dipaksa mengaku menggunakan sihir dan sempat terancam hukuman pancung.
Selain kasus tersebut, salah satu kasus terbaru yang diadvokasi SP bersama dengan Forum Solidaritas untuk Mariance Kabu. Mariance Kabu merupakan PBM asal NTT yang bekerja di Malaysia pada tahun 2014 selama 8 bulan. Mariance mengalami penyiksaan kejam yang terus berulang-ulang selama delapan bulan (April-Desember 2014).
“Selama bekerja, Mariance mengalami penyiksaan yang tidak henti dari majikannya. Bahkan ia menyatakan tidak ada satu haripun saya yang tidak berdarah. Bentuk penyiksaan yang dialami seperti dipukul, payudara dijepit, gigi yang ditarik dengan tang dan ketika diselamatkan muka Mariance Penuh dengan lebam,” kata Yeni.
Setelah diselamatkan dan mendapatkan perawatan selama empat bulan dirawat di rumah sakit, Mariance didampingi KBRI mengikuti persidangan kasus kekerasan yang dilakukan majikan terhadap dirinya. Gajinya dibayar penuh selama masa kerja dua tahun sebesar Rp 54 juta, namun kasus hukumnya mandeg. Selama 8 tahun menunggu proses hukum terhadap majikannya, Mariance belum mendapatkan kabar lanjutan dari KBRI yang berjanji akan memberitahukan perkembangan kasusnya. Yeni menceritakan, bahwa dihukumnya majikan pun tidak akan bisa membayar derita yang ditanggung Mariance. Sampai saat ini Mariance terus memperjuangkan keadilan, sembari mengisi hari-harinya dengan menenun.
Masih banyak lagi advokasi kasus-kasus PBM yang pernah dan masih ditangani oleh Yeni. Kepada tim redaksi, ia menyampaikan bahwa kasus-kasus pelanggaran dan kekerasan yang dialami PBM merefleksikan masih minimnya perlindungan terhadap PBM Indonesia. Hal ini menjadi pembelajaran untuk mewujudkan jaminan perlindungan yang komprehensif bagi PBM dan Anggota Keluarganya sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Konvensi Migran 1990, dan Konvensi CEDAW.
Yeni juga menyampaikan agar kita bersama-sama mendorong negara untuk mewujudkan pelindungan yang komprehensif untuk perempuan buruh migran. Salah satunya dengan melakukan prinsip pokok CEDAW mengenai ‘state obligation’ yakni kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan mempromosikan hak asasi perempuan.