Belajar dari PPK Mataram, Perjuangkan TKI Bermasalah

Author

Pegiat PPK Panca Karsa dalam sebuah kegiatan pelatihan pengelolaan informasi buruh migran. (dok.PSDBM)
Pegiat PPK Panca Karsa dalam sebuah kegiatan pelatihan pengelolaan informasi buruh migran. (dok.PSDBM)

Perkumpulan Panca Karsa (PPK) merupakan salah satu lembaga di Kota Mataram, NTB yang konsen memberikan dampingan pada TKI bermasalah. Berdasarkan data yang dihimpun, rata-rata terdapat sekitar 47 TKI yang mengadukan ke PPK setiap tahunnya. Terhitung hingga saat ini PPK telah memberikan dampingan kepada 250 TKI.

Daftar permasalahan TKI yang ditangani PPK Mataram cukup beragam, dari kategori ringan hingga berat. Persoalan dokumen tidak diurus dan tidak diberangkatkan, tidak mendapat pendidikan di Balai Latihan Kerja, Perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) tidak memiliki surat permintaan tenaga kerja (job order), terlalu lama di penampungan, dipindahkan ke PPTKIS lain, jeratan hutang, ekplotasi, mencuri dan pelbagai masalah lain.

Sementera masalah setelah di tempat kerja seperti pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian, gaji tidak sesuai bahkan tidak digaji, bekerja melebihi waktu, pelecehan seksual, kekerasan fisik, psikis, serta ancaman penjara dan hukuman mati di negara tujuan.

Zahratun, Koordinator Devisi Ekonomi Kerakyatan PPK Mataram saat ditemui di ruang kerjanya mengatakan, TKI bermasalah yang selama ini didampingi PPK adalah TKI perempuan atau yang dikenal dengan nama TKW.

Zahratun, saat ditemui dikantor PPK Mataram bersama dua orang rekannya.
Zahratun, saat ditemui dikantor PPK Mataram bersama dua orang rekannya.

“Saat ini kasus TKI yang berat didampinginya adalah kasus hukuman mati yang dijatuhkan pada TKI seperti Alya Andriani (29). TKI asal Desa Pelambek Lombok Tengah tersebut divonis pengadilan Cina atas tuduhan kepemilikan heroin seberat 795 gram,” tutur Zahratun.

Selain Alya Andriani, terdapat juga Muslihun, TKI asal Desa Suralaga, Lombok Timur yang dituduh membunuh anak majikan berumur 3 bulan di Arab Saudi, Edi Saputra, TKI asal Desa Kelanir Sumbawa Barat yang dituduh membunuh warga Malaysia, serta Suhardin, TKI dari Desa Sondosia Bima, karena mengamuk ditempat kerjanya dan menewaskan teman sekerjanya di Malaysia.

Masalah TKI kategori berat lainnya yang sedang ditangani adalah kasus Nurainun Binti Saian Sandi asal Desa Mangkung, Praya Barat, Lombok Tengah. TKI ini melawan dan berlari karena akan diperkosa warga Arab Saudi. Tidak jauh dia berlari, Nurainun ditembak tiga kali oleh pelaku. Syukurnya Nurainun selamat setelah ditemukan polisi Arab Saudi dalam keadaan pingsan setelah tiga harinya.

Saat ini ia dirawat di rumah sakit Arab Saudi dan kasusnya ditangani pihak kedutaan. Kabar terakhir, kesehatan Nurainun semakin membaik. Proses penanganan kasusnya sudah menemukan titik terang, yaitu perdamaian antar pihak yang difasilitasi Kedutaan Indonesia di Arab Saudi. Pihak PPK Mataram memfasilitasi pembuatan dokumen pernyataan yang ditandatangani pihak keluarga di Lombok yang kemudian dikirim ke Kedutaan Indonesia di Arab Saudi.

Masalah TKI yang tak kalah berat dan memilukan adalah kasus Silvia Angraini asal Kampung Dalam, Alas Sumbawa. Berdasarkan kronologi, Sivia bekerja dengan kontrak kerja selama 2 tahun, namun lewat 1 bulan dan kontraknya tidak diperpanjang. Saat berkerja sebulan tersebut Silvia bekerja dengan baik dan ketika mengangkat tabung gas yang cukup berat, punggungnya terasa sakit dan kakinya tergelincir. Silvia akhirnya sakit dan minta dipulangkan. Majikan memenuhi permintaan Silvia dan akhirnya dipulangkan.

Dua bulan berada di rumah bukan menikmati hasil jerih payah yang telah di dapat sebagai TKI, penyakit Silvia menjadi-jadi. Silvia menjadi tidak berdaya karena lumpuh total. Rumah Sakit di Sumbawa tidak bisa menangani karena keterbatasan peralatan, akhirnya ia dirujuk ke Rumah Sakit Umum Provinsi Mataram. Pihak Rumah Sakit Umum Mataram bersedia merawatnya dan melakukan operasi pembedahaan. Hal yang sangat memilukan, Silvia dirawat di rumah sakit hingga setahun lamanya. Sejak dibawa ke Mataram, keluarga Silvia tidak pernah menjenguknya sampai saat ini. Padahal saat pulang, Silvia membawa uang sebesar 35 juta rupiah yang diserahkan kepada saudaranya. Silvia adalah tiga bersaudara, seorang perempuan masih menjadi TKI di Arab Saudi dan seorang laki-laki berada di Pulau Sumbawa.

Zahratun di akhir wawancara menyarankan kepada TKI yang ingin berangkat agar membuat dahulu rekening atas nama pribadinya dan keluarga, hal ini mengantisipasi terjadi kesalahan perencanaan penggunaan uang hasil menjadi TKI oleh keluarga. Semoga TKI berkenan untuk terus belajar dari beragam kisah TKI yang gagal. Agar apabila seorang calon TKI tetap memaksa untuk berangkat menjadi TKI lebih mampu mempersiapkan diri dengan matang dan menghitung segala resiko selama proses migrasi. ( Rasidibragi ).

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.