Permasalahan pekerja migran Indonesia (PMI) merupakan persoalan yang sangat kompleks. Akibat kerentanannya, pekerja migran seringkali menjadi korban dalam proses migrasi yang sejatinya bertujuan untuk memperbaiki kondisi perekonomian untuk masa depan diri dan keluarganya. Tidak hanya menjadi korban penyiksaan, penyekapan, dan gaji tidak dibayar, sebagian pekerja migran bahkan ada yang terjebak dalam praktik perdagangan orang dengan modus pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.
Melalui analisis dokumen penanganan kasus, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengungkap adanya pelanggaran praktik migrasi yang cenderung mengarah pada kasus perdagangan orang. Dalam dokumen laporan investigasi SBMI bertajuk “Jeratan Perdagangan Orang dalam Bisnis Penempatan Buruh Migran”, kelompok yang paling rentan menjadi korban perdagangan orang yaitu pekerja migran yang bekerja di sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT); Anak Buah Kapal (ABK) Perikanan yang bekerja di kapal berbendera asing; serta perempuan-perempuan yang dikirim ke luar negeri dengan iming-iming materi yang menggiurkan bermodus pengantin pesanan.
Dalam kurun waktu delapan tahun (2012-2020), dari 1.519 kasus PMI sektor PRT yang diadvokasi SBMI, 262 kasus (17,2%) telah memenuhi tiga unsur indikasi adanya Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yaitu proses, cara, dan tujuan. Sayangnya, proses hukum penanganan kasus TPPO dengan korban pekerja migran seringkali tidak berjalan maksimal. Ada beberapa faktor penyebab terkendalanya penanganan kasus melalui jalur hukum antara lain:
- Pelaku masih saudara atau bahkan saudara kandung;
- Seringkali korban dan keluarga mendapatkan ancaman dari pihak luar untuk tidak melanjutkan kasusnya ke ranah hukum. Bahkan ada beberapa yang meminta untuk mencabut kuasanya dari SBMI;
- Korban memilih penyelesaian kasus yang cepat, sementara proses penanganan melalui jalur hukum lebih lama;
- Adanya oknum dari pihak penyidik yang tidak berperspektif korban dan cenderung menyalahkan korban. Kondisi tersebut menyebabkan korban enggan melaporkan kasusnya
- Adanya penyidik yang tidak memiliki kecukupan pengetahuan tentang tindak pidana perdagangan orang, sehingga laporan ditolak dan atau dihentikan.
Mirisnya, berdasarkan laporan investigasi yang dilakukan SBMI, jeratan perdagangan orang dalam bisnis penempatan PMI ke luar negeri itu proses penempatannya dilakukan sesuai prosedur yang melibatkan puluhan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Dengan demikian, terjebaknya para pekerja migran dalam praktik perdagangan orang bukan semata-mata karena ketidaktahuan atau kekurangpahaman mengenai tata cara proses migrasi yang sesuai prosedur, melainkan karena adanya praktik kotor yang dilakukan pelaku bisnis penempatan pekerja migran.
Pun demikian praktik perdagangan orang yang mengorbankan para ABK yang bekerja di kapal-kapal berbendera asing. Laporan investigasi SBMI menyebut adanya keterlibatan perusahaan penempatan ABK (manning agency) di Indonesia yang melakukan perekrutan dan penempatan di kapal ikan luar negeri. Modus perekrutan yang dilakukan oleh sponsor sebagai perpanjangan tangan manning agency antara lain dengan menggunakan iming-iming gaji besar, proses mudah, bekerja di atas kapal yang bagus, situasi kerja baik serta mendapatkan bonus tinggi. Laporan investigasi SBMI juga menyebut, para ABK tersebut tidak hanya menjadi korban TPPO, tetapi juga terindikasi sebagai korban perbudakan modern (modern slavery).
Bahkan, sembilan dari dari 11 indikator kerja paksa yang ditetapkan International Labour Organization (ILO) telah dialami ABK, yaitu 1) Penyalahgunaan kerentanan; 2) Mengalami penipuan mulai dari proses keberangkatan, saat berada di atas kapal dan saat kepulangan ke daerah asal; 3) Akses pergerakan dibatasi; 4) Penahanan dokumen pribadi; 5) Mendapatkan kekerasan verbal dan fisik; 6) Penahanan hak gaji, bonus tangkap, dan uang jaminan; 7) Mendapatkan intimidasi dan ancaman; 8) Pembatasan atas akses kebebasan ABK untuk mengakhiri hubungan kerja; serta 9) Kondisi kerja yang tidak layak serta jam kerja berlebih.
Namun lagi-lagi, proses hukum penanganan kasus TPPO dengan korban ABK juga mengalami kendala yang disebabkan :
- Penahanan dokumen oleh pihak perusahaan.
- Seringkali korban dan keluarga mendapatkan ancaman dari pihak perusahaan untuk tidak melanjutkan kasusnya ke ranah hukum, bahkan ada beberapa yang meminta untuk dicabut kuasanya dari SBMI;
- Ada penyidik yang tidak memiliki kecukupan pengetahuan tentang tindak pidana perdagangan orang, sehingga laporan ditolak dan atau dihentikan;
Terkait kasus TPPO dengan modus pengantin pesanan yang merupakan bentuk dari perdagangan manusia, laporan investigasi SBMI menyebut adanya keterlibatan berbagai pihak baik lembaga maupun perorangan. Bahkan, masyarakat kerap kali tidak menyadari bahwa mereka telah berpartisipasi dalam kegiatan perdagangan manusia. Hampir sama dengan kasus sebelumnya, proses hukum kasus perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan juga tidak berjalan maksimal.
Laporan investigasi SBMI menyimpulkan, dalam penyelesaian perkara pidana pengantin pesanan, seringkali hukum lebih mengedepankan hak-hak tersangka atau terdakwa daripada korban. Banyak kasus, korban kejahatan kurang mendapatkan pelindungan hukum yang memadai. Bagaimanapun, migrasi ketenagakerjaan antar negara terjadi karena adanya faktor pendorong dan faktor penarik. Kemiskinan dan susahnya lapangan kerja di dalam negeri merupakan faktor pendorong utama masyarakat, khususnya masyarakat di wilayah kantong kemiskinan di pedesaan melakukan migrasi ketenagakerjaan hingga ke luar negeri. Sementara faktor penariknya antara lain adanya pangsa pasar kerja yang terbuka luas di luar negeri.
Sepanjang akar persoalan migrasi tidak segera mendapatkan solusi yang tepat, proses migrasi ketenagakerjaan antar negara yang berpotensi menjadikan buruh migran sebagai korban perdagangan orang masih akan terus berlangsung. Sebagai penyelenggara negara, pemerintah mempunyai tanggung jawab mencarikan solusi untuk memastikan para buruh migran yang mengadu nasib ke negeri orang dapat terlindungi secara maksimal.
Dengan segala daya upaya, pemerintah di segala tingkatan, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota hingga pemerintah desa harus menyediakan dan membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya agar masyarakat tidak perlu melakukan migrasi ke luar negeri yang berpotensi menjadi korban TPPO.
Melalui Gugus Tugas Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pemerintah harus meningkatkan sosialisasi untuk mencegah terjadinya praktik perdagangan orang dengan modus pengiriman pekerja migran dan berbagai modus lainnya. Pemerintah Daerah juga harus menguatkan peran Gugus Tugas Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang di daerah masing-masing.
Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran (BP2MI) harus memperkuat pengawasan, agar proses penempatan buruh migran Indonesia tidak masuk dalam jeratan praktik perdagangan orang. Agar perlindungan terhadap buruh migran bisa lebih optimal, Kementerian Ketenagakerjaan harus segera menyelesaikan seluruh peraturan turunan mandat dari Undang Undang No 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), yang seharusnya selesai pada 22 November 2019.
Terkait proses hukum penanganan kasus TPPO, khususnya yang bermodus pengiriman buruh migran, pihak kepolisian sebagai institusi penegak hukum harus meningkatkan kapasitas para penyidik yang menangani kasus tindak pidana perdagangan orang, terutama di Polda dan Polres yang berada di daerah kantong pengirim buruh migran. Dalam hal penyediaan informasi tentang tata cara migrasi yang aman dan adil, terkait pendataan, pemantauan, dan pemberdayaan calon Buruh Migran Indonesia, Pemerintah Desa harus menjalankan perannya secara maksimal sebagaimana diamanatkan UU PPMI.