Akhir tahun 2019 menjadi titik awal munculnya corona virus atau covid-19 di Wuhan, Tiongkok. Covid-19 menyebar di berbagai belahan dunia, memengaruhi dan mengubah berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali Indonesia. Covid-19 menyebabkan krisis kesehatan dan krisis ekonomi secara bersamaan di berbagai negara. Menyebarnya virus ini dengan cepat membuat organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) menetapkannya sebagai pandemi global pada Maret 2020.
Pandemi memiliki level yang lebih tinggi dibanding epidemi atau keadaan ketika suatu penyakit menyebar dengan cepat di antara banyak orang dan dalam jumlah lebih banyak dibanding yang normal terjadi [1]. Covid-19 segera saja menjadi perbincangan global, media sosial, televisi, portal berita dan bahkan percakapan sehari-hari tak lepas dari pembahasan mengenai pandemi ini. Berbagai informasi yang bersifat ilmiah, pengalaman pribadi, cerita mistis, hoaks dan teori konspirasi covid-19 menyebar baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Dalam pandangan konspirasi, Covid-19 dianggap sebagai ulah negara-negara adidaya yang akan mengambil keuntungan dari pandemi yang menyebar di dunia. Negara-negara adidaya akan menemukan vaksin dan akan menjual vaksin dengan sangat mahal. Pandangan lain dari teori ini menyebutkan covid-19 dianggap sebagai senjata massal biologis yang direkayasa oleh Amerika Serikat untuk memojokkan Tiongkok.
Pandangan konspirasi terhadap covid amat beragam sehingga tak sedikit yang kemudian mempercayai teori-teori konspirasi dalam situasi pandemi. Douglas (2019) memandang orang-orang mempercayai teori konspirasi karena kebutuhan untuk mendapatkan informasi dasar dari sebuah fenomena [2]. Manusia memiliki kecenderungan untuk menginginkan rasa aman, kontrol atas lingkungan dan kepastian.
Pandangan terhadap teori-teori konspirasi biasanya muncul dalam situasi yang tidak pasti seperti situasi pandemi saat ini. Situasi krisis–ekonomi, sosial, politik–yang menyebabkan perubahan cepat membuat manusia terancam. Teori-teori konspirasi hadir agar manusia seperti punya sandaran, mempunyai alasan untuk mempersalahkan sesuatu dalam situasi yang kacau. Teori konpiasi juga bukan hal baru di dunia, sejarah mencatat saat Revolusi Perancis bergejolak, teori-teori ini muncul sebagai bagian dari reaksi orang-orang konservatif terhadap revolusi [3].
Covid-19 Siksaan untuk Umat Manusia?
Selain berbagai teori konspirasi yang muncul selama covid-19, beberapa isu agama juga dikaitkan dalam situasi pandemi. Ada anggapan yang menyatakan bahwa covid-19 muncul di Tiongkok karena pemerintah Tiongkok melakukan represi pada muslim Uighur. Virus dimunculkan sebagai balasan dari Tuhan pada pemerintah Tiongkok. Covid-19 juga sering disebut-sebut sebagai azab dari Tuhan pada umat manusia yang banyak berbuat kejahatan, tamak, terlalu mengejar duniawi dan melakukan dosa-dosa.
Tuhan dianggap kemudian menurunkan azab dan siksaannya (berupa virus) agar manusia-manusia bertobat dan tekun beribadah. Narasi covid-19 sebagai sebuah siksaan dari Tuhan dibantah oleh Prof. Dr. Quraish Shihab. Quraish Shihab menegaskan bahwa covid-19 bukan siksaan, namun peringatan agar manusia menjadi lebih baik, menjadi lebih eling dalam menjalin hubungan antar sesama manusia. Peringatan, menurut Quraish Shihab adalah hikmah, bukan merupakan siksaan [4].
Selain Quraish Shihab, Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, mengatakan bahwa Corona bukan azab. Definisi azab dalam al-Quran diciptakan pada umat terdahulu, Rasulullah kemudian berdoa agar tidak ditimpakan azab lagi. Menurutnya, azab sudah tidak ada lagi setelah doa Rasulullah tersebut dikabulkan. Azab, bala dan musibah adalah tiga bentuk bencana yang terapat dalam Al-quran yang menimpa orang kafir. Corona tidak disebut sebagai azab karena korbannya dari beragam agama [5].
Saat awal-awal covid-19 menyebar, imbauan untuk shalat berjamaah di masjid dilakukan untuk mengurangi potensi penularan virus dalam kerumunan. Imbauan ini tentu saja menimbulkan pro kontra karena sebagian umat muslim merasa hak ibadah mereka dibatasi. Imbauan ini seringkali dipertentangan dengan hal-hal yang tidak sebanding. Kita tentu saja pernah mendengar ungkapan “Mengapa ke masjid tidak diperbolehkan, sementara ke pasar diperbolehkan?” Perbandingan tersebut sebenarnya tidaklah sebanding. Pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan adalah kebutuhan pokok, sedangkan berjamaah di masjid dalam situasi pandemi bukan hal pokok.
Kondisi Pekerja Migran di Negara Tujuan Penempatan
Situasi sulit akibat covid-19 tak hanya dialami oleh warga negara Indonesia yang tinggal di Indonesia, namun juga oleh diaspora masyarakat Indonesia di luar negeri. Salah satunya adalah pekerja migran Indonesia (PMI). Jutaan pekerja migran Indonesia merupakan warga negara terdampak, baik yang berada di Asia Tenggara, Asia Timur maupun di negara-negara Timur Tengah. Hong Kong, salah satu wilayah yang paling dekat dengan Tiongkok merasakan dampak Covid-19 sejak awal tahun 2020. Kegiatan-kegiatan bersifat publik yang mengumpulkan banyak orang dibatasi sejak akhir Januari 2020. Pemerintah Hong Kong menerapkan working from home (WFH) bagi pegawai dan belajar di rumah bagi anak-anak.
PMI yang mayoritas bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) diimbau untuk tidak keluar rumah oleh pemerintah Hong Kong maupun perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri. Mobilitas PMI dibatasi karena covid-19 yang merebak di Hong Kong. Ada batasan terhadap ruang gerak PMI di masa covid-19, seperti imbauan untuk tidak keluar dari rumah majikan jika hari libur tiba. Pekerja harus tetap di rumah karena majikan tidak ingin PMI pergi keluar dan menjadi orang yang kemudian pulang membawa virus-virus. Beban kerja pekerja migran menjadi bertambah karena semua anggota keluarga majikan berada di rumah setiap hari. PMI harus merawat anak-anak yang tidak di sekolah, memasak lebih banyak makanan dan bersih-bersih lebih sering.
Di awal-awal covid-19 merebak, PMI di Hong Kong juga sulit untuk mendapatkan masker. Jika pun masker didapat, maka harga yang diperoleh sangat tinggi. Selain itu, meski majikan diimbau untuk menyediakan masker, hand sanitizer, vitamin, tak semua majikan melakukan hal tersebut. Tidak sedikit dari PMI yang masih harus mengusahakan masker, vitamin maupun hand sanitizer untuk kebutuhan dirinya sendiri karena tidak disediakan oleh majikan.
Pembatasan berkumpul di hari-hari libur membuat PMI yang berada di luar negeri jauh dari jaring sosial pendukung mereka, yakni teman-teman, organisasi maupun komunitas. PMI menjadi rentan mengalami stres karena beban kerja yang berat dan tidak dapat berkumpul untuk meluapkan unek-unek pada teman-teman mereka.
Jika menengok negara tujuan penempatan lain seperti Malaysia, kondisi PMI di sana lebih memprihatinkan. Malaysia yang menerapkan Perintah Kawalan Pergerakan Bersyarat (PKPB)/ Movement Control Order (MCO) di awal pandemi Covid hingga 19 Juni 2020 membuat pekerja migran tidak dapat bergerak dengan leluasa. PKPB membuat berbagai sektor ditutup untuk sementara dan pekerja migran terlunta-lunta tidak dapat bekerja.
Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah?
Strategi perlindungan terhadap pekerja migran dalam situasi covid-19 yang dilakukan pemerintah saat ini adalah melakukan penghentian sementara penempatan pekerja migran ke luar negeri. Pemerintah melakukan penghentian penempatan sementara sebagai untuk mencegah penyebaran covid-19. Keputusan penghentian sementara penempatan migran tertuang dalam Kepmenaker RI Nomor 151 tahun 2020 yang mulai berlaku sejak 20 Maret 2020. Pekerja migran yang sudah terlanjur mendaftar, menjalani Orientasi Pra Pemberangkatan (OPP) dan tinggal berangkat, tidak dapat ke luar negeri sejak keputusan tersebut berlaku.
Situasi covid di masing-masing negara tujuan penempatan pekerja migran berbeda-beda, sehingga akan lebih baik jika strategi perlindungan untuk setiap PMI di negara tujuan berbeda-beda. Kebutuhan perlindungan dalam situasi covid-19 pada PMI di Hong Kong misalnya, berbeda dengan kebutuhan perlindungan PMI yang ditempatkan di Malaysia. Di Hong Kong, PMI di awal-awal masa pandemi membutuhkan masker yang saat itu sulit didapatkan. Pelindungan terhadap hak-hak pekerja migran yang mengalami over work di rumah majikan juga menjadi hal yang sebaiknya dilakukan.
Strategi pelindungan terhadap pekerja migran di Malaysia berbeda lagi. Di Malaysia, pekerja migran berdokumen dan tidak berdokumen tidak dapat bekerja dan tidak dapat bebas bergerak. Situasi tersebut membuat pekerja migran kelaparan karena tidak memiliki uang untuk membeli bahan pangan. KBRI dan KJRI di Malaysia sempat memberikan bantuan bahan pangan pokok pada pekerja migran di sana, namun bantuan tersebut tidak dapat seluruhnya merata karena jumlah pekerja migran yang banyak.
Footnote:
[1] https://www.cnbcindonesia.com/news/20200312075307-4-144247/who-nyatakan-wabah-covid-19-jadi-pandemi-apa-maksudnya diakses pada 1 Juli 2020.
[2] Douglas, Sutton, Cichocka, Ang dkk. 2019. Why do People Adopt Conspiracy Theories, How are They Communicated, and What are Their Risks? London: CREST, (Hal: 7).
[3] https://theconversation.com/a-short-history-of-conspiracy-theories-listen-to-part-three-of-our-expert-guide-134305 diakses pada 1 Juli 2020.
[4] https://www.nu.or.id/post/read/119024/quraish-shihab-sebut-wabah-covid-19-bukan-azab–tetapi-peringatan-allah diakses pada 1 Juli 2020.
[5] https://tirto.id/imam-besar-istiqlal-corona-bukan-azab-eEMG diakses pada 1 Juli 2020.