Dilema Kebijakan Zero BMI PRT Ke Arab Saudi

Author

Sikap represif aparat keamanan saat pegiat SBMI menggelar aksi di depan Kedutaan Arab Saudi di Indonesia (dok.SBMI)
Sikap represif aparat keamanan saat pegiat SBMI menggelar aksi di depan Kedutaan Arab Saudi di Indonesia (dok.SBMI)

Penghentian pengiriman pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi telah berjalan selama dua tahun lebih dengan diterbitkannya Kepmenaker 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan TKI pada Pengguna Persorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah. Ironisnya selama dua tahun penghentian pengiriman dilakukan, pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi masih terus terjadi. Seperti dialami oleh SRY, pekerja migran yang akan diberangkatkan ke Arab Saudi oleh sponsor yang mengaku sebagai kaki tangan PT Sari Warti Agung. Sebelum berangkat SRY disekap di sebuah penampungan yang berlokasi di Hotel Menara Hijau, Cikoko, Pancoran, Jakarta Selatan. Beruntung SRY gagal diberangkatkan karena kasusnya terbongkar oleh SBMI Lombok Timur dan SBMI Sumbawa.

Kasus pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi tak hanya dialami SRY saja, awal Maret 2017 Polda Jawa Timur menggagalkan keberangkatan 45 pekerja migran Indonesia yang akan dipekerjakan ke Arab Saudi. Potret keberangkatan pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi saat penghentian pengiriman menyibak fakta bahwa penghentian pengiriman yang digadang-gadang melindungi pekerja migran di satu sisi membuat pekerja migran rentan dengan tindak pidana perdagangan orang. Jika ditilik menggunakan perspektif hak asasi manusia, moratorium dan penutupan pengiriman pekerja ke negara penempatan juga dianggap melanggar hak asasi manusia untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak.

Kepmenaker 260/2015 juga dianggap sebagai produk hukum yang buruk karena dibuat tanpa dasar pertimbangan hukum yang jelas. Mengutip pernyataan Abdul Rahim Sitorus, Koordinator Hukum Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM), Dasar hukum pembuatan Kepmen harus dengan pertimbangan Undang-undang, dalam hal ini adalah UU 39/2004 tentang PPTKILN dan UU 06/2012 tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Sedangkan Kepmenaker 260/2015 hanya menggunakan pertimbangan pasal 81 UU 39/2004 tentang PPTKILN maupun Pasal 33 PP No.3 tahun 2013 yang ternyata sesat pikir. Meski telah ada Kepmenaker 260/2015, nomenklatur moratorium ini dari segi hukum dianggap salah karena bentuknya bukan Peraturan Menteri melainkan hanya Keputusan Menteri. Jika berbentuk peraturan, maka akan ada larangan yang bersifat mengikat secara umum dan sanksi jika melanggarnya, berbeda halnya jika hanya berbentuk keputusan.

Jika moratorium masih terus dilakukan, maka perspektifnya bukan menganggap pekerja migran di Arab Saudi sebagai budak, namun profesi yang disebut sebagai Pekerja Rumah Tangga sesuai dengan konvensi internasional. Moratorium yang dilanjutkan juga harus disiasati pemerintah dengan membuka selebar mungkin peluang kerja di dalam negeri agar calon pekerja memiliki banyak pilihan untuk bekerja di negeri sendiri. Sementara apabila moratorium akan dicabut maka harus ada jaminan dari pemerintah soal perbaikan tata kelola penempatan baik di dalam dan luar negeri. Sebelum moratorium ke Arab Saudi dicabut, pemerintah harus perlu membenahi proses penempatan dari sejak pra, penempatan hingga purna.

“Ini momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki proses penempatan BMI ke Arab Saudi, jangan sampai pencabutan moratorium hanya dilakukan atas dasar desakan para pengusaha PPTKIS/PJTKI, apalagi terjebak pada nalar sesat konsep mega rekruitmen, melainkan perubahan kebijakan secara menyeluruh yang tertuang dalam revisi UU 39/2004. Sebagai catatan selama 2015 sampai 2017 sudah ada 200 lebih korban yang mengadu ke SBMI dengan modus penempatan formal ke Arab Saudi namun dipekerjakan menjadi PRT dan yang lebih miris lagi mereka direntalkan (outsourching),” tegas Harianto, Ketua DPN SBMI

Perbaikan penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi harus dimulai melalui proses penegakan hukum, dengan menindak para pelaku kejahatan penempatan baik PPTKIS/PJTKI, maupun oknum atau pejabat KBRI/KJRI di Arab Saudi, karena kasus “TKI Rental” tidak lepas dari lemahnya pengawasan dan dugaan keterlibatan oknum pemerintah di perwakilan RI.

“Bagaimana kawan-kawan aktivis tidak curiga kepada oknum atau bahkan pejabat di KBRI/KJRI di Arab Saudi, ketika lowongan kerja/job order penempatan formal ke Arab Saudi (yang berujung kasus “TKI Rental”) itu diproses dan disahkan di KBRI/KJRI?, maka kalau pemerintah serius mau perbaiki penempatan Arab Saudi, yaa oknum-oknum pemain job order tersebut harus tindak secara hukum.” papar Fathulloh, pegiat Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM).

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.