71 Tahun Kemerdekaan Indonesia, Negara Masih Biarkan TKI Dijerat Hutang

Author

Jaringan Buruh Migran (JBM) yang berisi puluhan organisasi BMI di dalalam dan luar negeri, NGO, ormas, serta relawan dari kalangan akademisi tepat pada 17 Agustus 2016 merilis tuntutan untuk memerdekakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Buruh Migran Indonesia (BMI) dari pelbagai jerat hutang serta pembiayaan berlebih yang sejatinya melanggar ketentuan hukum.

Kementerian Tenaga Kerja hingga saat ini belum menerbitkan kebijakan untuk mengurangi mahalnya biaya penempatan. Dari kasus yang ditanggani oleh SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia) tiga bulan di tahun 2016 saja sudah masuk pengaduan mengenai overcharging sebanyak 42 kasus.

Mahalnya biaya penempatan buruh migran disebabkan karena kebijakan pemerintah mengenai biaya penempatan BMI yang seharusnya hanya 3 komponen biaya menurut pasal 76 ayat 1 UU 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia menjadi 8 bahkan 9 komponen biaya dan dilegalkan melalui Peraturan Menteri No 14 tahun 2010 22 dan perubahannya yakni Peraturan Menteri No 22 tahun 2014.

Di Permenaker yang baru ini delapan komponen yang harus dibebankan kepada BMI yakni pengurusan dokumen, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi kerja, visa kerja, akomodasi dan konsumsi selama di penampungan, tiket dan airport tax, transportasi local dan premi asuransi. Fakta yang terjadi dilapangan, biaya penempatan mencapai 34 juta dan ditambah lagi dengan potongan gaji. Jika ditotal rata-rata mencapai 60juta.

Menanggapi tingginya komponen biaya yang dibebankan oleh BMI, Sekjen SBMI, Boby Alwy mengatakan “ besarnya kompenen biaya ini disebabkan adanya pasal karet dalam UU 39/2004. Di Pasal 76 ayat 1 sudah jelas hanya 3 komponen saja yakni pengurusan dokumen jati diri, tes kesehatan dan psikologi serta pendidikan dan pelatihan, namun di ayat 2 nya justru dibuka peluang untuk membebankan komponen biaya penempatan lainnya. Akibatnya biaya penempatan BMI membengkak”.

Akar permasalahan tingginya biaya komponen biaya penempatan karena skema kebijakan penempatan harus melalui jasa para calo, PPTKIS dan agensi yang mana semuanya menuntut adanya fee, dan juga ditambah adanya jasa administrasi dan bunga yang dibebankan kepada BMI dari lembaga pembiayaan. Tidak adanya standar biaya yang harus ditanggung oleh majikan, misalnya di Timur Tengah, dimanfaatkan betul oleh pihak PPTKI dan agency untuk membuat mekanisme pasar dalam penempatan BMI yang mana, bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari calon majikan.

Ditambah lagi dengan adanya moratorium BMI ke Timur Tengah yang diberlakukan Maret 2015 ke 21 negara, makin meninggikan biaya penempatan yang ditanggung oleh majikan dari Rp 30juta menjadi 120juta per satu orang buruh migran. Alih-alih pemerintah ingin memberikan perlindungan, yang terjadi justru buruh migran semakin sengsara karena kondisi kerjanya menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Kepemilikian tubuh buruh migran melalui sistem khafalah semakin menjadi-jadi karena majikan sudah membayar biaya penempatan 4xlipatnya. Sementara program perlindungan bagi BMI melalui pengawasan yang komprehensif dan tidak menyerahkan proses penempatan pada mekanisme pasar sangat lemah sekali.

Sementara program KUR yang dimaksud untuk memangkas biaya administrasi dan bunga yang dibebankan kepada BMI dari lembaga pembiayaan justru pada prakteknya program KUR ini tidak mampu menjawab persoalan.

Pemerintah dan DPR sedang mengodok revisi UU 39/2004 agar revisi UU tersebut benar-benar melindungi buruh migran salah satunya mengenai biaya penempatan. Savitri Wisnuwardhani, SekNas Jaringan Buruh Migran mengatakan bahwa “ penentuan Penentuan biaya penempatan tidak boleh membebani BMI. Di Konvensi ILO 181 tentang Penyalur Tenaga Kerja Swasta pasal 7 dinyatakan : “badan penyalur tenaga kerja tidak boleh membebankan langsung maupun tidak langsung, seluruh atau sebagian biaya dari buruh migran artinya biaya penempatan tidak boleh ditanggung oleh BMI. Jikapun BMI menanggung penempatan, hanya pada dokumen identitas diri dan medical check up. Selain itu dalam revisi UU 39 tahun 2004 perlu ada bab khusus mengenai pengawasan yang mengatur pengawasan mengawasi keseluruhan proses termasuk pengawasan terhadap pihak yang melakukan praktek overcharging”.

Nursalim, Migrant Insitute juga menguatkan pernyataan dengan mengatakan “Kebijakan penempatan harus dirubah dari memberikan peranan kepada swasta ke pembatasan peran swasta dalam penempatan BMI”.

Tuntutan Jaringan Buruh Migran mengenai pembebanan biaya diatas ketentuan :

  1. Mendesak pemerintah melakukan pengawasan dan penindakan tegas kepada pelaku pembebanan biaya tinggi yang dilakukan baik oleh swasta maupun pelaksana penempatan G to G.
  2. Mendesak pemerintah untuk merevisi UU 39/2004 dan peraturan perundang-undangan terkait dengan biaya yang membebani BMI.
  3. Mendesak pemerintah untuk menindak tegas agency yang melakukan praktk pembebanan biaya ditas ketentuan yang berlaku

Jakarta, 17 Agustus 2016

Jaringan Buruh Migran:
SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aids Indonesia, Institute for Ecosoc Rights, JBM Jawa Tengah

Contact person :
Boby Alwi : 085283006797
Savitri W : 082124714978

Tulisan ini ditandai dengan: BMI korban overcharging overcharging tenaga kerja indonesia 

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.