Pergantian awal tahun 2016 kali ini direspon dengan aktivitas positif oleh beberapa komunitas buruh migran di Johor. Tahun baru biasanya identik dengan prilaku hedon dan konsumtif, seperti berkeliling kota dan menggelar pesta bersama komunitasnya. Akan tetapi, sekitar 70-an buruh migran dari beberapa komunitas malah menggelar tahlilan pada malam tahun baru dan melakukan bakti sosial dengan membersihkan surau (mushola) dan pendermaan kepada warga lokal pada Jumat, (01/01/2016). (Baca selengkapnya: Malam Pergantian Tahun, TKI Johor Berdiskusi Perlindungan Buruh Migran ).
Dalam konteks buruh migran, aktivitas seperti yang dilakukan TKI Johor ialah pemicu perlindungan partisipatif dari masyarakat. Tanpa adanya partisipasi yang berasal dari inisiatif komunitas buruh migran, perlindungan buruh migran di negara penempatan pun akan sulit tercapai. Pemerintah abai dengan mementingkan perayaan tahun baru bersama komunitasnya sendiri daripada menjalankan tugas untuk melindungi warganya di luar negeri. Sehingga pertemuan buruh migran pun tidak dihadiri oleh perwakilan KJRI Johor. Padahal undangan resmi telah dilayangkan sebanyak dua kali oleh ketua panitia bakti sosial. Undangan tak hanya melalui surat undangan, tapi juga melalui saluran telepon dan SMS agar perwakilan KJRI datang.
Kita telah ketahui bersama bahwa pertemuan buruh migran ini merupakan inisiatif sendiri dari kawan-kawan buruh migran yang sangat langka terjadi di Malaysia. Faktor tersebut disebabkan oleh status buruh migran (berdokumen/tidak berdokumen), aktivitas pekerjaan yang terus menerus, sulitnya pembauran dan penyatuan sosial dengan warga lokal dan faktor keamanan (kemungkinan terjadinya pemerasan atau menjadi korban kriminalisasi oleh aparat setempat).
Buruh migran dapat dikatakan sebagai aset bangsa, sehingga harus diperlakukan dengan baik. Bagaimana tidak, remitansi senilai Rp.105 trilyun lebih berhasil disumbangkan buruh migran pada 2014. Sebuah nilai modal fantastis di mana pemerintah tidak perlu mencari dan mengembalikan dengan susah payah sebagai alat tukar pembayaran internasional. Pemerintah hanya diminta untuk melayani dan melindungi sebagaimana mestinya yang dibutuhkan oleh buruh migran.
Selain sebagai kekuatan ekonomi pada dimensi makro, remitansi juga dapat menumbuhkan ekonomi lokal. Pasalnya, keluarga buruh migran di kampung juga berpotensi menjadi mesin konsumsi yang sanggup mengerek ekonomi daerah kantong buruh migran dari hasil remitan. Di sisi lain, seiring dengan migrasi ke luar daerah/ke luar negeri, ekonomi lokal desa sangat rapuh, salah satunya disebabkan oleh angkatan kerja yang menipis. Inilah efek brain drain migrasi. Di pedesaan saat ini mulai sulit mencari buruh tanam padi (tandhur), buruh harian, buruh pemanen dan lain-lain. Padahal sektor pertanian merupakan penopang ketahanan ekonomi lokal. Oleh sebab itu, buruh migran dan anggota keluarganya mestilah mendapatkan perhatian yang serius sebagai bagian integral dari perlindungan.
Bagi buruh migran di negara penempatan, pengakuan keberadaan mereka adalah sebuah kebutuhan. Selain pengakuan yang sifatnya normatif melalui ketersediaan peraturan, pengakuan dalam bentuk implementatif melalui pelayanan atas perlindungan yang nyata di negara penempatan juga diperlukan. Birokrat pemerintah perlu konsisten karena bertindak atas nama sumpah jabatan yang diembannya untuk senantiasa melayani dan melindungi WNI di mana pun mereka berada dan kapan pun waktunya.
Kita tidak dapat membantah, pelayanan di luar negeri memang memerlukan kerja ekstra bagi aparatur pemerintah. Namun itu adalah konskuensi dari sebuah pengabdian kepada bangsa dan negara. Adalah sebanding kita menuntut pemerintah demikian, karena kita juga dibebani oleh pajak yang kemudian digunakan untuk biaya pelayanan dan menunjang aktivitas pemerintah. Oleh sebab itu, dari logika ini, buruh migran senantiasa menuntut dan sebaliknya pemerintah juga mesti memahami tuntutan buruh migran. Jika logika ini tidak dipakai, konflik bisa terjadi, karena buruh migran juga merasa telah mengeluarkan pengorbanan dalam bentuk materi untuk sebuah pelayanan. Maka jangan disalahkan jika konflik akan direspon oleh buruh migran dengan sikap ketidakpercayaan dan sikap acuh atas semua usaha pemerintah.
Apa jadinya jika pemerintah melalui setiap komponennya berperan sebagai pemantik konflik itu sendiri? Tindakan membentak-bentak buruh migran dan selalu menganggap bodoh mereka masih terjadi hingga kini. Jika semua saluran informasi dikuasai dan tidak disertai dengan peningkatan kesadaran buruh migran, yang terjadi adalah buruh migran menjadi sasaran empuk para pemangsa. Hal itu diperparah juga dengan pelayanan yang buruk (Baca: Formulir Dibatasi, Perpanjang Pasport di KJRI Johor Harus Antri dari Jam 5 Pagi).
Padahal jelas, fungsi KBRI/KJRI melalui UU Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri telah dinyatakan bahwa fungsi pemerintah tidak hanya melakukan perlindungan saja, akan tetapi promosi, negosiasi dan pengayoman kepada warga negara di luar negeri. Buruh migran sangat membutuhkan ketauladanan dari pamong agar mereka juga memiliki jati diri sebagai bangsa. Tanpa adanya sikap itu, peluruhan identitas sebagai warga negara Indonesia juga kemungkinan terjadi.
Telah banyak WNI yang menggadaikan status kewarga-negaraannya, melalui penerbitan IC (identity card) yang dimiliki oleh buruh migran di Malaysia. Salah satunya ialah GMK, buruh migran asal Aceh “Kita cari makan senang di sini, saya tidak bangga menjadi warga Indonesia, [cari] makan susah. Pemerintah juga kurang mengurus warganya sendiri.” kalimat tersebut nampak sederhana, tapi sebuah pukulan telak bagi kita sebagai bangsa.
Memang perlu kajian menyeluruh untuk mengetahui latar belakangnya, akan tetapi praktik tersebut telah ada sejak dulu. Apalagi faktor kemudahan akses transportasi juga sebagai pendukung proses penggadaian status warga negara. Seseorang juga akan dengan mudah berkunjung kepada kerabatnya di Indonesia kapan pun mereka inginkan. Di samping itu adalah hak setiap orang, pilihan atas hak tersebut juga bukan karena tanpa alasan. Pengabaian pemerintah kepada buruh migran yang dianggapnya sebagai perkara kecil bagi pemerintah karena sifatnya adalah pelayanan, akan direspon dengan status jati diri sebagai warga negara. Sebuah catatan penting bagi pemerintah yang ingin menjaga eksistensi NKRI melalui pelayanan perlindungan WNI di luar negeri.
Memandang gelap maka gelaplah yang ternampak… karena mata hanya bisa memadang tidak lebih dari separuh penglihatan keseluruhan….!
memandang tanpa fokus hanya memburamkan akal …
Sesekali cobalah toleh sekeliling sebelum terkena batu tersepak kaki sendiri