Jaringan Buruh Migran (JBM) menggelar diskusi bantuan hukum bagi TKI di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta (6/8/2015). Diskusi ini menjadi awal dari serangkaian diskusi tematik yang telah diagendakan terkait dengan isu krusial TKI. Savitri Wisnu Wardhani, Seknas JBM, mengatakan jika bantuan hukum bagi TKI menjadi isu krusial karena banyaknya kasus yang dialami oleh TKI.
Data dari Kementarian Luar Negeri hingga tahun 2015 menyebutkan jumlah TKI yang tercatat menghadapi kasus sebanyak 29.237 orang. Data tersebut bisa jadi lebih besar lagi karena banyak kasus buruh migran yang tidak terlaporkan. Hal itu terjadi karena pengetahuan yang terbatas tentang kemana harus melapor, tidak berani melapor atau kasus yang tidak terdokumentasikan.
The Institute for Ecosoc Rights tahun 2005 merilis hasil penelitian yang memperlihatkan masalah buruh migrant 80% berada di dalam negeri. Menurut Asfinawati, Mantan Direktur LBH Jakarta, rumusan bantuan hukum dalam UU 39/2004 tentang Penempatan dan Prelindungan TKI di Luar Negeri (PPTKILN) mengasumsikan bahwa masalah yang memerlukan bantuan hukum hanya masalah yang terjadi di negara penempatan.
Selain itu tidak mengakui adanya Jus Cogens, yakni norma yang diterima atau diakui secara internasional dan tidak boleh dilanggar karena mendasarkan pembelaan hak- hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat bekerja. Terkait dengan penyedia bantuan hukum, Asfin mengatakan jika bantuan hukum dapat dilaksanakan oleh pengacara yang direkrut perwakilan bersama atase ketenagakerjaan, Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang ditunjuk dan didanai oleh negara, atau pengacara yang ditunjuk oleh negara.
Ruang lingkup bantuan hukum untuk buruh migran sebaiknya dimulai dari pra penempatan, saat di negara penempatan dan paska kepulangan ke daerah asal. Perlu adanya pengembangan kerjasama melalui mekanisme rujukan antara daerah dengan pusat, maupun dengan negara tempat bekerja. Selain itu juga mengkolaborasi anggaran bantuan hukum yang sudah dikembangkan berdasarkan UU Bantuan Hukum atau mungkin prosedur khusus di luar yang sudah dikembangkan berdasar UU Bantuan Hukum.
Dalam konteks bantuan hukum, mekanisme sanksi juga perlu mendapat perhatian. Kedepan sanksi perlu disnikronkan dengan peraturan perundang-undangan lain sehingga tidak lebih rendah dari yang sudah ada, atau mengubah karakter sanksi misalnya dari sanksi pidana menjadi administratif. Sanksi tidak diberikan kepada orang yang dikategorikan korban meski seolah melakukan kesalahan seperti orang yang diselundupkan. Perlu juga adanya sanksi untuk tindakan menghalang-halangi penyidikan atau penuntutan tindak pidana, dan adanya sanksi bagi orang yang tidak melaksanakan putusan hakim terkait pelanggaran undang-undang ini.
Beberapa penambahan sanksi terhadap korporasi antara lain:
1. Tindak pidana dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atau atas nama korporasi atau kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri ataupun bersama-sama.
2. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka penyidikan, penuntutan dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
3. Dalam hal panggilan terhadap korporasi, pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus ditempat pengurus berkantor, di tempat korporasi atau di tempat tinggal pengurusnya.
4. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan tiga kali pidana denda.
5. Korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukumnya.
Satu komentar untuk “Asfinawati : Bantuan Hukum untuk TKI Sebaiknya Dimulai Sejak Pra Penempatan”