Lilik Ernawati, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Dusun Sambirejo RT.4 RW. 5 Desa Sambimulyo, Bangorejo, Banyuwangi adalah satu dari puluhan TKI yang masuk dalam daftar Warga Negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Lilik berangkat ke Arab Saudi 2004, pada tahun 2007 Ia ditangkap polisi Arab Saudi dengan tuduhan terlibat pembunuhan yang dilakukan warga negara Bangladesh terhadap WNI Jawa Barat atas nama Siti Aisah.
Pada kasus tersebut, tuduhan keterlibatan pembunuhan muncul karena dalam penggeledahan di tempat kejadian pembunuhan, Polisi Arab Saudi menemukan Foto Lilik bersama lelaki Bangladesh yang menjadi pelaku pembunuhan. Walau tuduhan tersebut lemah secara hukum, Lilik tetap diproses hingga 10 kali persidangan. Anehnya pada persidangan kesepuluh, tuntutan kepada Lilik berubah dari tuduhan pembunuhan menjadi perzinaan.
Pada rentang waktu sejak Lilik ditangkap oleh Kepolisian Arab Saudi (2007) hingga saat ini (2015) atau delapan tahun proses hukum berjalan, pihak keluarga Lilik hanya sekali memperoleh informasi dari pemerintah soal kasus tersebut. Informasi diterima keluarga pada 2009 melalui anggota Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan TKI yang dibentuk pemerintah saat itu.
“Pihak keluarga baru sekali mendapat informasi sewaktu ditelepon anggota Satgas Perlindungan TKI, beruntung Lilik masih memperoleh akses telekomunikasi dari pihak berwenang di Arab Saudi, jadi bisa memberikan info perkembangan pada keluarga,” papar Wawan Kuswanto, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia wilayah Banyuwangi saat koordinasi dengan Disnakertrans Banyuwangi untuk menyusun surat permohonan informasi perkembangan kasus kepada Kementerian Luar Negeri (17/4/15).
Sementara saat dihubungi Kepala Disnakertrans Banyuwangi melalui sambungan telepon, Lalu M Iqbal, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu, menyampaikan peluang Lilik untuk bebas sangat besar, jadi kasus tersebut tidak perlu dibesar-besarkan.
Menanggapi pernyataan Lalu M Iqbal, Wawan Kuswanto menyampaikan bahwa persoalan bukan pada besar kecilnya peluang bebas bagi Lilik, melainkan tidak adanya kejelasan bantuan hukum pada kasus Lilik. “Memang benar, peluang bebas bagi Lilik sangat besar, namun keluarga tetap butuh info perkembangan posisi kasus secara berkala, peluang bebas besar kok tetap dipenjara hingga 8 tahun?, lalu bantuan hukum apa yang sudah diberikan selama 8 tahun tersebut?. Jadi wajar kalau publik curiga bahwa pemerintah tidak memberikan bantuan hukum, karena selama 10 kali persidangan hanya sekali perwakilan pemerintah menghadiri persidangan.” tegas Wawan Kuswanto.
Alih-alih berharap pemerintah hadir untuk memberikan bantuan hukum dan menginformasikan proses kasus serta peluang hukum bagi Lilik, keluarga justru memperoleh informasi kebebasan Lilik bukan dari KBRI, KJRI, atau Kementerian Luar Negeri, melainkan telepon langsung dari Lilik pada Jum’at 17 April 2015.
“Alhamdulillah, kemarin Ibu telepon, katanya sudah bebas, tinggal menunggu pengurusan dokumen exit di Tarhil (Imigrasi Arab Saudi) dan menyiapkan uang untuk membayar pengurusan kepulangan tersebut. Mohon doa kawan-kawan semua ya,” ungkap salah satu anak Lilik kepada Wawan Kuswanto melalui sambungan telepon.
Lewat kasus Lilik, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) berharap Kementerian Luar Negeri serius untuk menata sistem pemenuhan hak bantuan hukum bagi WNI yang terjerat kasus di luar negeri. Reformasi tata kelola birokrasi di Perwakilan Republik Indonesia (KBRI/KJRI/KDEI) harus terus dilakukan, agar koordinasi pemberian bantuan hukum bisa dilakukan secara cepat dengan pemerintah di Indonesia.
“Tidak dipenuhinya hak keluarga untuk memperoleh informasi perkembangan dan posisi kasus TKI di luar negeri menunjukkan dua kemungkinan, birokrasi perwakilan RI di luar negeri masih buruk atau pemerintah memang tidak menjalankan mekanisme pemberian bantuan hukum bagi WNI di luar negeri.” ungkap Hariyanto Ketua Umum SBMI.