Mempertanyakan Regulasi yang Melindungi BMI

Author

ilustrasi
ilustrasi

Pada pertengahan September 2010 kita pernah dikejutkan oleh berita menyedihkan yang dialami Winfaidah (26), seorang buruh migran asal Lampung yang mencari penghidupan di Penang, Malaysia. Dengan berbalut luka fisik di sekujur tubuh, ia ditemukan di pinggiran jalanan Penang, setelah sebelumnya dibuang majikannya dan hanya diberi uang RM 30 atau setara dengan Rp.87.000. Dalam pengakuannya, ia kerap disiksa majikannya, disiram air panas, dipukul dengan sabuk, payudaranya disetrika hingga melepuh, dan kepalanya dipukul dengan benda tumpul. Dia juga mengaku diperkosa berkali-kali oleh majikannya, Welu.
Tidak terhitung berapa jumlah orang dan lembaga yang menyampaikan simpati dan menyuarakan pembelaannya. Bahkan, Presiden pun merasa perlu terlibat langsung, yaitu dengan menelepon Winfaidah yang sedang dirawat di Malaysia. Presiden menyampaikan pesan agar Winfaidah bersabar dan presiden berjanji semua bentuk pembiayaan rumah sakit akan ditanggung oleh pemerintah.

Apakah tugas pemerintah selesai sampai di situ?

Hingga detik ini (entah sampai kapan) masih banyak buruh migran yang mengalami nasib seperti Winfaidah. Namun, dari sekitar 3,5 juta buruh migran (menurut data resmi Disnakertrans), hanya segelintir orang saja yang mempunyai keberanian dan nyali untuk melawan ketika dirinya terancam atau menjadi korban. Di sini, pihak yang sering menjadi korban adalah para Tenaga Kerja Wanita (TKW). Menurut Human Right Wacht, diperkirakan 76% TKI adalah perempuan.

Persoalan lain yang  juga sangat mencengangkan adalah saat ini ada ratusan buruh migran yang sedang terlibat persoalan hukum di luar negeri. Terus berlarut-larutnya persoalan ini karena pemerintah dalam menyelesaikan masalah buruh migran hanya bersifat reaktif dan temporary. Sebenarnya, bagi para buruh migran dan keluarganya, hal ini justru lebih banyak menimbulkan ketidakpastian. Pemerintah tidak melihat lebih jauh latar munculnya peluang kejadian tersebut. Undang-udang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri yang seharusnya dapat dijadikan “pelindung”, ternyata tidak berfungsi dengan baik. Dengan kata lain, UU tersebut telah “gagal” memberikan jaminan perlindungan dan keamanan kepada para buruh migrant tersebut.

Jika dilihat lebih jauh, Undang-udang Nomor 39 Tahun 2004 mempunyai banyak kelemahan. Pertama, UU tersebut tidak mengatur secara khusus perlindungan terhadap TKI. Pada Pasal 95 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) disebutkan, badan ini mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi. Akan tetapi, dalam kenyataan pelaksanaannya, BNP2TKI tidak mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana yang diembankan oleh UU. Kedua, adanya tumpang tindih wewenang antara Kemnakertrans dan BNP2TKI (BNP2TKI).

Pasal 94 ayat 3 menyebutkan bahwa BNP2TKI merupakan lembaga pemerintah nondepartemen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Pada poin inilah muncul “benturan” wewenang antara Kemnakertrans dan BNP2TKI, di mana BNP2TKI seakan-akan menguasai seluruh kewenangan Kemnakertrans dan ia tidak perlu bertanggung jawab kepada Menteri Tenaga Kerja, tetapi langsung kepada presiden. Selama ini, tampak BNP2TKI bekerja tanpa kontrol, tidak koordinatif, tidak ada perencanaan yang jelas dan menyeluruh dengan institusi negara-negara lainnya yang terkait dengan buruh migran. Ketiga, UU tersebut seakan-akan memosisikan buruh migran sebagai “komoditas”. Mudahnya seorang calon TKI mendapatkan surat dokumen kerja di luar negeri, berkaitan erat dengan banyaknya pemalsuan yang seharusnya dipenuhi oleh seorang buruh migran dan PJTKI sebelum berangkat, misalnya ijazah, usia, dan paspor, ternyata tidak dipenuhi.

Munculnya pelanggaran-pelanggaran tersebut  dan tidak adanya jaminan perlindungan dari pemerintah telah menguatkan asumsi bahwa buruh migran menjadi korban “komoditas”. Terkait dengan tugas pelayanan, pengordinasian, dan pengawasan tugas BNP2TKI, setidaknya ada 9 tugas yang harus dijalankan, sebagaimana disebutkan oleh pasal 95 ayat 2: b, yaitu: dokumen; Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP); Penyelesaian masalah; Sumber-sumber pembiayaan; Pemberangkatan sampai pemulangan; Peningakata kualitas calon TKI; Informasi; Kualitas pelaksana penempatan TKI; dan Peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

Selama lima tahun kelahirannya, BNP2TKI tidak membuat terobosan program terkait perbaikan nasib buruh migran. Alih-alih perbaikan, BNP2TKI justru “mandul” dalam mengatasi persoalan-persoalan yang menjadi tugasnya, misalnya adanya ratusan ribu kasus yang membelit buruh migran, kasus penyiksaan, kematian, PHK sepihak, penahanan paspor, putus komunikasi, penyekapan, pemalsuan identitas, hingga pemerasan yang diindikasi dilakukan oleh aparatnya sendiri . Oleh karena itu, setelah melihat realitas ini, sudah saatnya pemerintah meninjau ulang keberadaan BNP2TKI. Selanjutnya, pemerintah dapat melakukan penguatan pada kemnakertrans yang didukung oleh pemda-pemda. Tentu saja pemberian wewenang itu juga harus dibarengi dengan tugas, tanggung jawab, dan sanksi yang jelas dan tegas, sehingga kegagalan BNP2TKI tidak akan terulang lagi.

3 komentar untuk “Mempertanyakan Regulasi yang Melindungi BMI

  1. Pemerintah hanya tutup mata,dn tutup telinga,skrng ada masalah pada sibuk..coba liat sejenak yang di arab saudi,di bawah jembatan kendara..sampai skrng blum jg di plangin,lalu sama siapa lagi mereka mngarap bantuan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.