Kian hari, kian beragam masalah yang dihadapi Buruh Migran Indonesia (BMI). Sejak proses pemberangkatan, penempatan, hingga kepulangan, diwarnai berbagai persoalan yang memposisikan BMI sebagai pihak yang dirugikan. Sudah bertahun-tahun, kasus demi kasus terjadi, peraturan demi peraturan dibuat oleh pemerintah, namun sampai saat ini proses revisi Undang-Undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) tidak kunjung serius dibahas baik oleh pemerintah maupun wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pada 12-15 Desember 2014, Yayasan Tifa bekerja sama dengan Yayasan Dunia Viva Wanita dan Jejaring Diaspora Indonesia mengadakan lokakarya (workshop) untuk membahas revisi Undang-Undang No.39 Tahun 2004. Kegiatan ini turut mengundang perwakilan BMI dari berbagai negara penempatan seperti Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, hingga Belanda.
Pertemuan juga dilakukan untuk merespon berbagai rencana kebijakan pemerintahan yang baru serta memperkuat usulan jejaring BMI dalam proses perubahan UU 39 Tahun 2004. Pernyataan Presiden Jokowi untuk menghapus Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) juga menjadi diskusi hangat dalam pertemuan ini.
KTKLN selama ini dianggap sebagai alat pemerasan kepada BMI. Melalui KTKLN BMI dipaksa membeli premi asuransi, membayar pemeriksaan medis, dan membuat BMI berhadapan dengan para calo. KTKLN juga menjadi teror bagi BMI di bandara keberangkatan, jika mereka tidak membuat kartu tersebut, maka diancam tidak bisa bekerja di luar negeri dan tiket pesawat akan hangus.
“Gagasan menghapus KTKLN memang layak untuk didukung, namun jejaring BMI butuh mengawal kebijakan penggantinya, agar tidak melahirkan pungli baru.” papar Andik, perwakilan dari BMI Malaysia.
Pertemuan tersebut turut dihadiri Nusron Wahid selaku Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Pada kesempatan tersebut BMI mengutarakan segala permasalahan yang mereka hadapi kepada Nusron Wahid, dari persoalan biaya penempatan yang terlalu mahal, calo-calo yang memeras uang BMI, kinerja buruk perwakilan pemerintah di berbagai negara, jaminan sosial, keselamatan kerja BMI serta proses pemulangan BMI tanpa dokumen yang sampai saat ini masih sangat sulit.
Kepada peserta pertemuan diaspora, Nusron Wahid berjanji akan memperbaiki sistem pemberangkatan calon buruh migran ke luar negeri meliputi biaya penempatan yang lebih murah, potongan gaji lebih sedikit, pemberantasan calo, mengontrol PPTKIS dengan lebih baik melalui pendataan yang melibatkan pengurusan hingga tingkat desa, serta rencana perbaikan sistem pengaduan di Crisis Center BNP2TKI.
Indonesia sebagai negara dimana TKI memberikan sumbangan besar bagi devisa Negara sudah saatnya mendapatkan perlindungan dan payung hukum yang tegas. Seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah Filipina dalam melindungi warganya yang bekerja di luar negeri.
Apa yang diungkapkan Nusron Wahid hanya akan menjadi wacana jika tidak ada koordinasi yang baik antar lembaga-lembaga terkait, baik Kemterian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Luar Negeri, dan kementerian lain yang terkait, serta komitmen dari presiden. Selain itu, BMI juga perlu mengawasi proses-proses penyusunan kebijakan, sehingga apa yang mereka perjuangkan bisa diwujudkan dalam undang-undang baru yang lebih melindungi hak-hak perlindungan bagi BMI.