Balai Latihan Kerja (BLK) merupakan tempat penampungan calon buruh migran yang dikelola oleh Perusahaan Penyalur Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Keberadaan BLK seharusnya memenuhi standar prosedur sesuai dengan peraturan pemerintah. Selama berada di BLK calon buruh migran berhak mendapat pelbagai bekal pendidikan dan keterampilan.
Memperbincangkan BLK sering kali kita akan menemukan kondisi dimana masih sangat banyak BLK yang beroperasi tanpa mengikuti peraturan. Masih banyak penampungan yang memperlakukan calon buruh migran seperti barang dagangan, hal ini disebabkan jumlah calon buruh migran yang terus didatangkan setiap saat tanpa mempedulikan kapasitas BLK.
Berikut catatan Saya, Narsidah, mantan buruh migran asal Banyumas selama berada di penampungan, sebelum berangkat ke Hongkong dan saat gagal berangkat ke Taiwan.
Perjalanan menuju penampungan dimulai setelah calon buruh migran yang direkrut calo atau sponsor asal Purwokerto terkumpul, kemudian mereka diantar menuju penampungan PPTKIS di Jakarta. Pertama kali Saya masuk penampungan, Saya sangat kaget melihat banyak sekali orang didalam dan melihat kondisi ruangan yang serba semrawut.
Kegiatan pertama yang dilakukan setelah tiba di penampungan adalah memotong rambut. Semua calon buruh migran harus berambut pendek tanpa terkecuali, sehingga ketika tiba di Hongkong, majikan saya sempat bertanya “Mengapa buruh migran yang baru datang dari Indonesia rata-rata berambut pendek?, apa tidak boleh memanjangkan rambut?”.
Setelah itu, dilakukan test kesehatan (medical check up), bagi calon buruh migran yang tidak lulus tes kesehatan akan dipulangkan oleh sponsor, namun yang dinyatakan lulus tes, akan dilanjutkan dengan pengisian formulir kesiapan bekerja di Singapura, Hongkong, Taiwan, dll (sesuai dengan negara yang dituju). Formulir kesiapan kerja berisi daftar pertanyaan, misal mampu melakukan kerja apa saja? (merawat bayi atau orang tua jompo?), mampukah mengerjakan pekerjaan rumah tangga, memasak, tidak takut dengan anjing, bersedia memegang daging babi, dll.
Semua calon buruh migran wajib mentaati peraturan yang ditentukan oleh PPTKIS, mengikuti belajar bahasa Inggris dan praktek kerja, melaksanakan piket, tidak boleh keluar dari dalam penampungan, tidak boleh menerima telepon kecuali hari Sabtu dan Minggu, menerima tamu hanya diperbolehkan setiap hari Sabtu dan Minggu, bagi yang membawa HP harus dititipkan pada penjaga asrama dan akan diberikan pada hari Sabtu dan Minggu.
Bagi calon buruh, melakukan kesalahan baik saat belajar maupun menjalankan tugas-tugas di penampungan akan dikenai sanksi seperti hukuman berdiri di depan murid-murid yang lain, mengangkat ember yang berisi pasir dan dibawa naik turun tangga hingga berulang kali.
Calon buruh migran tidak bisa menolak dan harus menerima kondisi penampungan yang sangat memprihatinkan. Mereka hanya tidur beralas tikar dan berdesak-desakan, bantal yang tersedia sangat terbatas, hampir setiap malam ada yang berkelahi karena berebut bantal. Selain bantal, air juga menjadi masalah karena penampungan yang dihuni ratusan orang, airnya tidak mencukupi, sehingga setiap pukul tiga pagi, calon buruh migran sudah harus berjuang berebut air untuk mandi dan mencuci pakaian. Makanan yang disediakan oleh penampungan juga sangat tidak cukup dan tidak memenuhi standar gizi.
Pagi hari, menu sarapan kami hanya sepotong singkong, siang hari sepiring nasi dengan lauk ikan asin dan sayur yang sangat terbatas. Kami harus menambah makanan dengan membeli dari luar melalui lubang kecil yang hanya bisa dimasuki tangan untuk bertransaksi.
Proses selanjutnya adalah pembuatan paspor bagi calon buruh migran secara kolektif. Ketika sudah dipastikan mendapat majikan, seorang calon buruh migran kemudian diminta menandatangani kontrak kerja. Saat pengurusan dokumen tersebut, oleh petugas PPTKIS, calon buruh migran hanya ditunjukan bagian-bagian mana saja yang harus dibubuhi tandatangan, tanpa dijelaskan apa isi dari kontrak kerja tersebut.
Selama empat bulan di penampungan, akhirnya saya terbang ke Singapura bersama tiga orang calon buruh migran dari penampungan yang sama. Sesampainya di bandara Singapura saya dijemput oleh pegawai agen tenaga kerja disana dan diajak ke kantornya. Saya sempat menginap satu malam di rumah agen dan paginya di antar ke rumah majikan di daerah Tanjung Katong. Sampai di rumah majikan, ternyata sudah ada satu orang Indonesia yang bekerja khusus merawat bayi (cucu majikan saya).
Saya bekerja di rumah bungalow tiga lantai dengan jumlah anggota keluarga sepuluh orang (delapan perempuan dan dua laki-laki), saya memulai pekerjaan dari pukul 05.00 sampai jam 02.00 dini hari, diawali dengan membangunkan anak majikan, kemudian menyiapkan sarapan, mencuci 4 mobil, membersihkan rumah, memasak, mencuci serta menyetrika pakaian, merawat kebun, merawat tiga ekor anjing, pergi ke pasar belanja sayuran, merekam acara TV kesukaan anak majikan yang sedang sekolah di Australia, dll.
Di rumah majikan, saya mendapat makan yang cukup dan gizi penuh, fasilitas kamar tidur dengan kamar mandi sendiri. Penerimaan gaji setiap bulan melalui bank atas nama saya sendiri. Setiap enam bulan sekali saya diwajibkan melakukan tes kesehatan, biaya di tanggung oleh majikan. Komunikasi dengan anggota keluarga majikan terjalin dengan baik (akrab), jika ada masalah dengan pekerjaan bisa diselesaikan dengan baik. Setiap saat saya juga diperbolehkan mengakses berita melalui televisi saat siaran berita dan membaca koran, kususnya berita tentang Indonesia.
Namun pekerjaan yang begitu banyak dan jarak yang jauh, membuat saya tidak kuat dan tidak betah. Saya tidak mendapatkan libur sama sekali, sering ketika mencuci mobil saya menyambung tidur sebentar di dalam mobil. Pernah suatu ketika majikan mencari-cari saya, melihat ada sepasang sandal di samping mobil, akhirnya majikan menemukan saya sedang tidur di dalam mobil, beruntung majikan memaklumi dan saya langsung meminta maaf.
Sebulan sekali, saya mengirim surat pada orang tua atau menelpon dari telepon umum. Setiap menelpon atau menerima surat dari keluarga di rumah, saya pasti menangis ingin sekali pulang. Selama bekerja saya selalu berfikir ingin pulang terus, namun tidak mengerti bagaimana caranya.
Setelah masa kerja saya mendekati satu tahun, saya memberanikan diri berbicara dengan majikan, agar mau mengembalikan saya ke Indonesia. Majikan berjanji akan mengembalikan saya setelah ada penggantinya, setelah menunggu satu bulan pengganti saya tidak datang juga. Saya kembali minta dipulangkan, akan tetapi jawaban yang saya terima berbeda, majikan mengingatkan saya, kondisi di Indonesia sedang rusuh, banyak kejahatan.
Majikan memberi tawaran kalau sekadar ingin pulang melepas rindu dengan orang tua, majikan akan mengijinkan saya. Dia bersedia membelikan tiket pesawat pulang pergi tanpa memotong gaji. Namun saya tetap menolak, saya hanya ingin pulang. Akhirnya majikan bertanya pesawatnya mau lewat Jawa Tengah atau Jakarta? saya memilih lewat Jakarta, karena belum tahu bandara di Jawa Tenah. Selang beberapa hari majikan memesankan tiket, saya sangat gembira sekali akhirnya bisa pulang ke Indonesia.
***
Setelah pulang dari Singapura, saya kembali berkumpul dengan orang tua dan saudara, namun tidak lama kemudian calo atau sponsor kembali datang ke rumah dan menawarkan bekerja ke Taiwan. Sponsor yang datang ke rumah terus merayu saya, “kalau ke Taiwan gajinya lebih besar beberapa kali lipat dari Singapura, namun ada biaya sebesar lima juta, biaya bisa dibayar setengah dulu, sisanya di bayar setelah menerima gaji di Taiwan, itu sudah termasuk pengurusan dokumen” begitu rayunya.
Hanya tiga bulan di rumah, Febuari 2000, saya kembali ditampung di penampungan, kali ini di PPTKIS Pademangan Semesta Lestari, seperti pengalaman berangkat ke Hongkong, segala persyaratan di urus oleh sponsor. Sehingga tidak tahu persis apa saja yang di perlukan. Di penampungan tersebut, PPTKIS tidak hanya mengurus calon buruh migran yang akan bekerja ke Taiwan saja, tetapi calon buruh migran yang akan ke Singapura dan Malaysia juga diproses di penampungan tersebut.
Calon buruh migran yang diprioritaskan untuk diberangkatkan ke Taiwan adalah orang-orang yang memiliki pengalaman bekerja di luar negeri. Apabila ada calon buruh migran yang akan bekerja di Taiwan namun tidak memenuhi standar PPTKI, maka dipindah ke Singapura atau ujung-ujungnya diberangkatkan ke Malaysia. Pertimbagan PPTKIS adalah apabila ada calon buruh migran yang sudah sampai di Jakarta mengapa harus dipulangkan lagi ke kampung.
Jumlah calon buruh migran di penampungan kali ini lebih banyak, hampir empat ratus orang, rata-rata pegawainya juga bersikap kejam. Khususnya pegawai perempuan kepada calon buruh migran yang dianggap melakukan kesalahan. Misalnya tidak bisa mengerjakan tugas saat belajar bahasa atau praktek kerja lainnya, langsung di beri hukuman berlari naik turun tangga sampai sepuluh kali atau di suruh berdiri di depan teman-temanya.
Proses di BLK ini sangat lamban, tidak diketahui apa penyebabnya, banyak calon buruh migran yang sudah tiga bulan ditampung, belum sampai ke proses pembuatan paspor, ada juga yang sudah setahun lebih tidak diupayakan untuk mendapatkan majikan, justru dipekerjakan di rumah orang lain dengan alasan praktek kerja atau mencari uang saku karena sudah kehabisan.
Terkait fasilitas, air untuk mandi dan mencuci baju juga sangat terbatas, harus berebut karena tidak mencukupi, juga sangat kotor dan banyak cacing, apalagi air untuk minum, sama sekali tidak mencukupi, sehingga saya harus membeli air untuk minum sendiri. Dengan jumlah orang yang banyak sementara bantal untuk tidur sangat sedikit, bantal satu harus digunakan dua orang. Seperti pengalaman di penampungan sebelumnya, persoalan bantal juga sering menimbulkan keributan, menjelang tidur selalu ada beberapa orang yang ribut karena berebut bantal. Selain itu di penampungan juga tidak disediakan kasur, begitu juga dengan makanan, jatah makan yang diberikan sangat sedikit.
Dengan kondisi yang sudah sangat memprihatinkan, PPTKIS masih saja melakukan perekrutan, akhirnya jumlah penghuni BLK semakin bertambah dan terus bertambah, sedangkan jumlah orang yang diberangkatkan ke luar negeri sangat sedikit. Orang-orang yang ada hanya dijadikan persediaan, tanpa kepastian berangkat atau tidak.
Semakin lama ditunggu semakin tidak ada kepastian, khusunya bagi calon buruh migran yang akan ke Taiwan, mereka merasa semakin dirugikan, banyak waktu yang terbuang. Melihat kondisi tersebut kami berlima (Saya, Wahyuni, Puji, Leni dan Atun) mulai merancang sebuah rencana, setelah satpam tertidur, kami mengumpulkan teman-teman yang lain untuk diajak diskusi, dengan menggunakan penerangan lilin. Rencana dimulai dengan mendata kondisi penampungan yang tidak layak, proses yang tidak jelas, mendata orang-orang yang sudah lebih dari satu tahun di penampungan agar segera di proses.
Pada malam kedua diskusi diketahui oleh satpam yang sedang tugas berkeliling, akhirnya rencana mendekati pegawai PPTKIS dan mogok mengikuti kegiatan belajar pun gagal. Saat bangun tidur semua pintu sudah di kunci gembok, kondisi tersekap, suasana menjadi panik, banyak yang menangis histeris, setelah salah satu pintu berhasil dibobol, karena kunci gembok dibakar menggunakan korek sehingga bisa terbuka. Semua orang yang ada di dalam lari keluar halaman sambil menangis. Dengan akal yang ada kita membuang tulisan-tulisan ke luar pagar yang isinya meminta bantuan supaya diteleponkan ke polisi atau lembaga yang bisa membantu.
Kebetulan ada seorang warga disekitar penampungan yang mengetahui salah satu Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) di Jakarta yang bekerja untuk perlindungan buruh migran, lembaga tersebut adalah Center for Indonesian Migrant Workers (CIMW), tidak lama kemudian datang tim dari CIMW mengevakuasi kami dan membantu menghubungkan dengan pihak PPTKIS berkaitan dengan tuntutan yang kami ajukan. Khususnya calon buruh migran yang dijanjikan akan diberangkatkan ke Taiwan, tim CIMW meminta agar uang yang sudah dibayarkan dikembalikan seluruhnya, semua dokumen dikembalikan, calon buruh migran yang berada di penampungan selama setahun lebih, harus dipulangkan tanpa dipungut biaya.
Diskusi kemudian menjadi alot, PPTKIS tidak mau memenuhi semua tuntutan kami, khususnya tentang pengembalian uang, mereka beralasan uang tersebut dibawa oleh sponsor. Kesepakatan soal pengembalian uang akhirnya kami terima setelah dua minggu. Sponsor kemudian mengembalikan uang calon buruh migran yang akan ke Taiwan. Selama satu minggu sebelumnya, kami melakukan perundingan dengan PPTKIS, selama itu pula kami selalu berpindah-pindah tempat tidur, setiap hari pegiat CIMW harus mencari dermawan-dermawan yang mau membantu untuk makan dan menginap. (Narsidah)
salut untuk mbak Nar. terus semangat…
Semoga saat dipenampungan para TKI diperlakukan dengan baik.