Waspadai Perdagangan Manusia!

Author

Perdagangan Perempuan dan Anak

Perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak, patut diwaspadi dalam kegiatan perjalanan antarnegara. Terlebih, perdagangan manusia atau latah disebut dengan trafficking acapkali maujud lewat praktik-praktik yang diterima masyarakat sehingga ia tidak dianggap sebagai tindakan eksploitatif, apalagi dipandang sebagai tindak perdagangan.

Di masa lalu, perdagangan manusia merupakan pemindahan perempuan secara paksa ke luar negeri, biasanya untuk tujuan pelacuran. Kini, tindakan perpindahan manusia–khususnya perempuan dan anak–dengan atau tanpa persetujuan orang bersangkutan, di dalam negara atau luar negara, untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif–tidak hanya pelacuran dan perbudakan yang berkedok pernikahan siri–dapat dimaknai sebagai perdagangan manusia (Rosenberg, 2003:11).

Pengertian kekinian di atas memperluas ruang gerak pencegahan atas praktik perdagangan manusia di Indonesia. Untuk memahami permasalahan perdagangan manusia ada dua konsep yang bisa menjadi dasar pijakan (Wijers dan Lap-Chew dalam Rosenberg, 2003:14). Pertama, perdagangan manusia meliputi seluruh tindakan yang dilakukan dalam rangka perekrutan dan atau pengiriman seseorang di dalam atau luar negeri untuk pekerjaan jasa, dengan ancaman kekerasan atau kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi dominan, penjeratan utang atau bentuk-bentuk pemaksaan lain.

Kedua, perdagangan manusia meliputi kerja paksa dan praktik-praktik serupa perbudakan. Pemaksaan terhadap seseorang untuk melakukan pekerjaan atau jasa atau pengambilan identitas hukum dan atau tubuh perempuan itu tanpa seizin dirinya dengan menggunakan kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi dominan, penjeratan utang atau bentuk-bentuk pemaksaan lain.

Berdasarkan dua konsep di atas, perdagangan manusia dapat didekat dengan tiga kata kunci, yaitu perpindahan manusia, kekerasan, dan kerja paksa (perbudakan). Namun, para pembela buruh migran di Indonesia kikuk dengan penerapan konsep ini, terutama saat menyikapi masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Pemerintah Indonesia sendiri tidak beranggapan pekerjaan PRT sebagai tindakan eksploitatif meskipun kenyataannya sebagian besar TKI yang menjadi PRT cenderung mengalami perlakuan eksploitatif dan kerja paksa.

Kenyataan lainnya, tindakan eksloitatif baru diketahui setelah TKI tiba di negara tujuan. Sebagian besar TKI direkrut tanpa mengetahui kondisi kerja yang menunggu mereka. Oleh karena itu, kemungkinan mereka dipaksa bekerja dengan gaji yang kecil atau tanpa bayaran sama sekali karena menanggung utang yang menumpuk sangat besar. TKI juga sering bekerja di luar pekerjaan yang dijanjikan sebelumnya.

Tulisan ini ditandai dengan: buruh migran PTK Mahnettik Pusat Sumber Daya Buruh Migran 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.