Beginilah Pelayanan Perlindungan PMI oleh KJRI Johor Bahru

Author

Zulfi Zulkarnean (baju orange) saat ditemui ditemui oleh redaksi di tempat kerjanya
Zulfi Zulkarnean (baju orange) saat ditemui oleh redaksi buruh migran di tempat kerjanya

Johor Bahru--Permasalahan Pekerja Migran Indonesia (PMI) memang tidak mengenal siapapun dia dan bekerja pada sektorpun itu. Pengalaman ini dirasakan oleh Zulfi Zulkarnaen (23 tahun), pemuda asal Jatibarang, Indramayu. Zulfi mengaku menerima tawaran untuk bekerja di bidang jasa hotel di Malaysia dari salah seorang sponsor di kampungnya yang bernama Udin.

Dari perjumpaannya dengan Udin, tidak banyak persyaratan yang disampaikan, yakni Zulfi diminta menyediakan biaya penempatan sebesar Rp 4 juta. Proses tersebut terjadi sekitar bulan Agustus 2017. Zulfi mencicil biaya penempatan tersebut sebanyak dua kali. Pembayaran pertama dilakukan ketika mendaftar sebagai PMI. Setelah pembayaran, Zulfi langsung diantar ke Bekasi untuk proses pembuatan paspor. Di sana, sudah ada perekrut lainnya yang bernama ibu Rose. Zulfi tinggal di rumah biasa yang dikepalai oleh ibu Rose di bilangan Tangerang. Bahkan rumah tersebut juga layaknya penampungan calon PMI. Padahal tidak terlihat papan informasi yang menyebutkan bahwa rumah tersebut merupakan Perusahaan Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Selama dua minggu di rumah tersebut, Zulfi juga berinteraksi dengan calon PMI lainnya yang datang silih berganti. Umumnya mereka adalah perempuan yang akan diberangkatkan ke luar negeri sebagai pekerja rumah tangga.

Ibu Rose mengatakan bahwa Zulfi segera diberangkatkan ke Malaysia. Sebelumnya, selama di penampungan, Zulfi mengaku tidak pernah mengikuti Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) dan melakukan pemeriksaan kesehatan (Medical Check up). Zulfi melakukan pembayaran sisa kekurangan biaya penempatan. Setelah membayarnya, Zulfi ternyata tidak langsung diberangkatkan ke Malaysia, melainkan singgah di Batam terlebih dahulu. Di sana sudah ada penerima lainnya bernama Rizal yang merupakan jaringan sponsor di kampung. Setelah beberapa hari di panampungan Batam, Zulfi diberangkatkan ke Johor Bahru melalui pelabuhan Batam Center. Zulfi dijemput oleh agen dan selanjutnya dijemput oleh majikannya yang bernama Jun.

Zulfi bekerja pada hotel budget (melati.red) di daerah Sri Alam pada bulan September 2017. Dua bulan di daerah Sri Alam, Zukfi dipindahkan di daerah Eco Botani, Iskandar Putri, Johor Bahru. Majikannya yang bernama Jun mengatakan bahwa Zulfi harus menjalani training selama tiga hari. Tapi Zulfi tidak mengetahui kapan batas waktu training dan kapan Zulfi harus memulai pekerjaannya. Lantaran, Zulfi tidak pernah menandatangai kontrak kerja dengan majikan dan kontrak penempatan dengan agensi di Indonesia. Akibatnya Zulfi tidak mengetahui mengenai ketentuan hak dan kewajibannya. Bahkan, yang lebih mengejutkan lagi adalah permit kerja Zulfi tertuliskan sebagai pekerja di kawasan Serawak, bukan Johor Bahru.

Zulfi hanya diberitahu bahwa gajinya sebesar RM 1,000 dan dari gaji tersebut harus dipotong tiap bulan untuk mencicil biaya pembuatan permit kerja sebesar RM 2,500 dalam waktu setahun. Dengan demikian, Zulfi hanya menerima bayarannya sebesar RM 700 tiap bulan. Di sisi lain, Zulfi harus mengerjakan beban ganda, yakni sebagai receptionist dan house keeping sekaligus. Zulfi juga tidak diberikan tempat tinggal yang layak karena ia harus tidur di bawah tangga hotel yang sempit dan tidak nyaman untuk beristirahat.

Pernah suatu hari Zulfi mengalami kecelakaan kerja ketika mengepel tangga hotel yang mengakibatkan tulang belakangnya merasakan sakit untuk bergerak. Majikan membawanya ke dokter dan Zukfi diberikan obat. Kondisi tersebut tidak membuat Zulfi diberikan hari libur untuk beristirahat. Malahan majikannya menyuruhnya untuk bekerja seperti biasa. Zulfi pernah meminta agar dipulangkan ke Indonesia saja, tapi majikan mengancam Zulfi untuk membayar denda sebesar RM 2,500. Padahal Zulfi sudah 7 bulan bekerja, yakni bulan Maret 2018 dan telah mengangsur cicilan permit sebesar RM 2,300.

Loket antrian pengaduan Zulfi di KJRI Johor Bahru
Loket antrian pengaduan Zulfi di KJRI Johor Bahru

Tak tahan dengan kondisi tersebut, Zulfi mengadu kepada KJRI Johor Bahru pada hari Minggu, 6 Mei 2018. Mengingat KJRI Johor Bahru tetap beroperasi pada hari minggu karena menyesuaikan dengan hari libur pemerintah setempat, yakni setiap hari Jumat dan Sabtu. Tapi bukan penerimaan pengaduan yang selayaknya diterima Zulfi, melainkan petugas pada loket 12 tidak menerima pengaduan Zulfi dan ia malah diminta untuk datang lagi keesokan harinya. Padahal Zulfi datang pukul 7.50 pagi. Sementara jarak antara tempat tinggal Zulfi dan KJRI Johor Bahru cukup jauh. Jika Zulfi meninggalkan tempat kerjanya, Zulfi dianggap kabur dan terancam denda oleh majikan. Di sisi lain, Zulfi juga merasakan sakit tulang belakang tiap hari-hari bekerja.

Zulfi berusaha menghubungi beberapa organisasi masyarakat sipil yang konsen terhadap hak-hak pekerja migran, seperti Serantau dan Infest. Mereka menyarankan agar meminta sponsornya memulangkannya ke Indonesia. Setelah menjalani negosiasi yang cukup alot dengan sponsor di kampung, akhirnya Zulfi dipulangkan ke Indonesia 3 Juni 2018. Dari pengalamannya, Zulfi merasa trauma atas kejadian yang menimpanya. “Saya trauma jika mendengar orang berangkat ke luar negeri untuk bekerja, apalagi ke Malaysia,” katanya kepada redaksi buruh migran.

Zulfi menambahkan agar calon PMI yang akan berangkat ke luar negeri untuk berhati-hati dengan tawaran sponsor di kampung. Lebih baik informasi yang disampaikan oleh sponsor diperiksa dulu kebenarannya, jangan lantas percaya begitu saja agar tidak menjadi korban penipuan. Di sisi lain, Zulfi merasa kecewa dengan KJRI Johor Bahru. Padahal bukan hanya masalah keinganannya untuk pulang saja yang diadukan, tapi gaji bulan pertama Zulfi bekerja juga tidak dibayarkan oleh majikan.

Menanggapi pengalaman Zulfi, Yoga Pramono, Koordinator Komunikasi untuk Organisasi Migran Indonesia (KOMI) di Johor Bahru, sangat menyayangkan sikap KJRI Johor Bahru yang terkesan abai terhadap pengaduan PMI. “KJRI seakan kurang sigap dan tanggap terhadap penderitaan PMI,” tegas Yoga saat dihubungi oleh redaksi buruh migran pada Rabu (13/6).

KJRI Johor Bahru sebaiknya memperbaiki pelayanannya kepada pekerja migran. Terlebih lagi, menurut Yoga, bahwa jaman sudah canggih di era dijital ini. “Jika tidak bersedia mencatat, kan bisa direkam, lalu ditindaklanjuti. Bukan malah menolak, lalu disuruh datang lagi. KJRI harus lebih aktif dalam menerima dan merespon pengaduan.” Kritiknya.

Padahal jika diidentifikasi lebih lanjut, terdapat beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh majikan, seperti tidak mengadakan kontrak kerja, tidak membayar gaji selama satu bulan, permit kerja untuk daerah Serawak dan majikan tidak mengasuransikan Zulfi. Jangankan masalah ketenagakerjaan, lanjut Yoga, masalah genting yang dialami oleh PMI saja, KJRI sangat lambat dan bahkan tidak bersedia membantu. “Orang (PMI.red) sekarat di hospital contohnya, KJRI juga tidak mau bantu,” tambah Yoga yang juga pernah mengalami ketidakpuasan pelayanan KJRI Johor bahru atas kasusnya yang dialaminya beberapa bulan yang lalu (Baca: Sulitnya Akses Keadilan bagi Pekerja Migran Alih Daya di Malaysia).

Yoga menegaskan bahwa fungsi perwakilan pemerintah yang dalam hal ini adalah KJRI/KBRI adalah melindungi warga negara, baik itu yang berdokumen maupun yang tak berdokumen. Jadi bukan alasan ketika tak mau membantu dengan asalan dokumen atau karena tidak tersedianya anggaran. “Apakah kurang anggaran yang dikelolannya? atau apakah perlu kita sampaikan bahwa KJRI kurang anggaran dari pemerintah pusat?” tutupnya.

Tulisan ini ditandai dengan: kasus pmi johor bahru komi komunitas pmi johor bahru 

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.