Ketika kita mendengar frase perdagangan orang, imajinasi kita langsung dibawa pada kondisi yang sangat buruk dalam konteks kemanusiaan. Gambaran akan rangkaian potret kejahatan yang berlipat ganda nampak pada bayangan kita terhadap korbannya. Penindasan dan perbudakan. Ungkapan yang tepat untuk mengasosiasikan mengenai perdagangan orang.
Begitu dahsyat dan buruknya gambaran itu, membuat kita terlena mengenai substansi kausalitas praktik perdagangan itu sendiri. Faktanya, ribuan orang telah dan masih menjadi korbannya sehingga sekarang. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM/OIM) mencatat bahwa dalam kurung waktu 2005-2013, telah terjadi 6082 tindak kejahatan perdagangan orang. Walkfree, sebuah organisasi kampanye anti perbudakan modern, bahkan memperkirankan jumlahnya lebih besar dari itu. IOM dan Walkfree sepakat bahwa banyak korban perdagangan orang tidak menyadari bahwa diri mereka merupakan bagian dari korban perdangangan orang.
Bahkan, saat ini, perdagangan orang tidak hanya terjadi di darat saja, akan tetapi juga di lautan. Sebanyak 201 Anak Buah Kapal (ABK) telah menjadi korban perdagangan orang dipulangkan dari Trinidad and Tobago dan Pantai Gading pada tahun 2012 lalu. Selanjutnya, menyusul 74 ABK dari Afrika Selatan pada tahun 2014 yang juga menjadi korban kejahatan terorganisir ini. Serta masih banyak lagi korban di lauatan dan di daratan yang belum melaporkan dan tidak teridentifikasi sebagai korban. Namun begitu banyak jumlah korban dan laporan mengenai perdagangan orang, tidak banyak pelaku kejahatan yang dihukum dan ditindak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Padahal Indonesia telah meratifikasi konvensi Palermo dan mengejawantahkannya ke dalam UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Melalui artikel pendek ini, penulis bermaksud menguraikan pelbagai hubungan terjadinya perdagangan orang, baik itu di tingkat individu, jaringan, antara negara dan ruang. Kedua, artikel ini bertujuan menguraikan refleksi dan ramalan sebagai respon praktik perdagangan orang pada masa mendatang.
Dunia yang Eksploitatif
Kebanyakan orang tidak begitu memahami secara menyuluruh mengenai perdagangan orang. Sebagiannya malah melokalisasi pengertian perdagangan orang dalam konteks pelacuran dan penjualan anak di bawah umur semata. Celakanya, banyak pejabat negeri ini yang menganggapnya sebagai salah satu terminologi dalam lalu lintas, jika diistilahkan ke dalam bahasa inggris, trafficking. Padahal perdagangan orang merupakan akumulasi materi kejahatan pada proses, cara dan tujuan untuk eksploitasi korban. Dalam UU kita sudah cukup rinci dan rigid definisi eksploitasi, yang meliputi pemanfaatan organ manusia, tenaga kerja, anak di bawah umur, jual beli organ manusia dan perbudakan atau penghambaan.
Pada tataran individu, perdagangan orang selalu terjadi tanpa disadari oleh individu tersebut bahwa ia adalah korban. Praktik yang biasa terjadi adalah penganiaan dalam bentuk pemukulan yang dianggapnya sebagai kejahatan biasa. Bentuk lainnya seperti upah/gaji yang tidak dibayar oleh majikan sehingga dianggapnya hanya sebatas pelanggaran ke atas ketenagakerjaan. Padahal jika individu tersebut merupakan buruh migran, maka yang bersangkutan adalah korban perdagangan orang. Buruh migran yang telah mengalami tindakan eksploitatif seperti pemukulan, penganiaan, pemalsuan, gaji tidak dibayar, pemerkosaan dan tujuan eksploitatif lainnya, sudah tentu ia merupakan korban perdagangan orang. Karenanya, ketika seseorang berstatus sebagai buruh migran yang mengalami eksploitasi, maka dia telah melalui proses, cara dan tujuan. Konskuensi dari itu adalah pelaku perdagangan orang akan dihukum lebih berat dan berkewajiban membayar restitusi kepada korban.
Pertanyaannya, mengapa tidak banyak yang melaporkan kasusnya bahwa dirinya adalah korban? Motif ekonomi membuat seseorang mengabaikan akan tindakan yang merugikan dirinya sendiri. Apalagi telah terpatri cita-cita atau visi besar ketika sebelum atau pada masa migrasi atau sedang bekerja itu. Motif ekonomi membuat seseorang hanya fokus kepada tujuannya dan menganggap perkara terburuk yang terjadi di luar dari tujuan itu merupakan cobaan atau bagian dari nasib yang harus dilaluinya. Prinsip itu tanpa harus menuntut atas rintangan itu jika merugikan dirinya. Korban tetap yakin dan optimis bahwa akan mendapatkan keberhasilan atas proses migrasi berdasarkan tujuannya. Sehingga praktiknya, seseorang akan enggan melaporkan kasusnya. Apalagi kita tahu bahwa sistem peradilan pidana memerlukan proses dan waktu yang panjang untuk menempuhnya. Oleh karenanya, buruh migran beranggapan bahwa sebuah proses yang tidak menghasilkan dalam artian ekonomi bagi dirinya sendiri berarti sebuah kerugian. Karena itu, migrasi selalu berimplikasi kepada antara keuntungan dan kerugian.
Sementara itujaringan para pelaku kejahatan terorganisasi selalu mengembangkan tipu muslihat dan kekuatannya melalui kecukupan modal dan memposisikan letak/akses yang strategis. Ketika aktor di dalam jaringan di situ memiliki modal dan pengetahuan akan akses, ia akan dianggap sebagai orang yang berjasa bagi buruh migran. Itulah sebabnya aktor ini dianggap sebagai orang yang telah memberikan peluang dalam konteks ekonomi. Bahkan korban sangat takut untuk melaporkannya jika telah terjadi pelanggaran atas apa yang diperjanjikannya oleh sang aktor. Selain kekuatan modal, aktor pelaku perdagangan orang juga memiliki komunikasi yang ampuh untuk memengaruhi para calon korban. Apalagi ditambah dengan cerita kesuksesan orang-orang yang telah direkrut dan diberangkatkannya. Peranan aktor perekrut dan pemanipulasi data ini sangat berkontribusi besar terhadap ancaman seseorang menjadi korban. Apalagi perdagangan orang merupakan bisnis haram yang kedua terbesar di dunia setelah narkoba.
Sebenarnya praktik perbudakan telah menghiasi sejarah kemanusiaan. Namun pola dan praktiknya telah bergeser seiring dengan perbudakan atau penghambaan telah dihapuskan pada tahun 1948. Pergeseran praktik itu mewujud dan menyesuaikan dengan pemahaman dalam merespon perbudakan, yang pada dasarnya masih melekat pada kalangan borjuis dan teknokrat pada masyarakat paska modern. Walau bagaimanapun, dua kalangan ini yang memicu tindakan eksploitatif dalam konteks ketengakerjaan di dunia. Meski sangat halus dan tak begitu nampak bentuk-bentuk dan materi kejahatannya.
Sebuah langkah maju dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam upaya memberantas perdagangan orang. Departemen Dalam Negeri AS membuat sebuah daftar peringkat negara-negara di dunia untuk berkomitmen dalam pemberantasan perdagangan orang. Konsikuensinya, negara-negara dalam peringkat tiga dilarang melakukan ekspor ke AS. Selain itu, AS juga akan mengkampanyekan ke seluruh dunia akan tindakannya tersebut. Hal ini membuat negara-negara lain juga mempertimbangkan aspek pemberantasan perdagangan orang di dalam negerinya. Ini merupakan gengsi dalam interaksi hubungan internasional di antara negara-negara di dunia. Sementara kita tahu ketika menjalin perdagangan ke AS memiliki nilai sangat tinggi karena akan ditukar menjadi devisa bagi negara di dunia. Selain AS juga mengklaim diri mereka sebagai regulator dunia.
Meskipun definisi dan aturan mengenai perdagangan orang begitu lumrah dipahami sekarang. Akan tetapi, perdagangan orang akan selalu mengada sehingga kapan pun juga. Praktik perdagangan orang begitu samar dan hampir tidak terlihat di atas tindakan dan materi kejahatannya. Fleksibilisasi peraturan ketenagakerjaan-lah yang menjadi pemicunya. Rezim prekariat telah menciptakan kondisi ketenagakerjaan yang sangat rapuh, buruk, abstrak dan menindas bagi kalangan pekerja. Sebuah bentuk lain dari proses akumulasi modal dari nilai lebih yang dihasilkan pekerja melalui eksploitasi dan penindasan kepada pekerja tanpa disadari oleh pekerja itu bahwa mereka sedang tertindas dan tereksploitasi. Inilah praktik prekariatisasi yang sedang melanda negara-negara berkembang saat ini.
Ketika ruang atas rezim prekariat ini terjadi dan membudaya pada kalangan masyarakat paska modern, kondisi buruk yang dialami oleh pekerja itupun dianggapnya sebagai bukan perkara yang anomali. Ruang akan senantiasa memproduksi dan memamerkan barangan kepemilikan pribadi. Sementara seseorang itu melihat ke atas ruang. Ketika ruang memamerkan barangan pribadi, muncul hasrat ekonomi untuk memiliki barangan tersebut. Dari proses ini berlaku prinsip identitas seseorang dalam interaksi sosial. Barangan pribadi itu akan melekat pada identitas seseorang pada masyarakat paska modern. Sementara barangan pribadi itu bisa berarti modal, kode, aset, tanda, nilai dan lain-lain. Bersamanya akan menandakan status sosial pada masyarakat. Alhasil, seseorang akan berkompetisi untuk menunjukkan akan apa yang dimilikinya sebagai sebuah identitas untuk sebuah status pada ruang. Kondisi ini yang ditangkap dan dimanfaatkan sepunuhnya oleh para kalangan pelaku perdagangan orang. Para pelaku akan selalu menciptakan hiasan ke atas ruang kepada calon korbannya dengan pelbagai kepalsuan dan penindasan dalam ruang materialistis kapitasitik.