4 Kiat Sukses Purna TKI Kembangkan Desa Wisata

Author

Para peserta lokakarya pengelolaan media informasi berpose bersama Tim PWNI dan BHI Kementerian Luar Negeri
Para peserta lokakarya pengelolaan media informasi berpose bersama Tim PWNI dan BHI Kementerian Luar Negeri

Pada hari kedua Pelatihan pengelolaan media buruh migran yang diselenggarakan Direktorat Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri (27/8/2016), peserta melakukan observasi di Desa Wisata Ngelanggeran, Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta. Di Desa Ngelanggeran, peserta bertemu dengan para TKI purna yang juga menjadi penggerak Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di desa tersebut.

“Saya senang, kawan-kawan pegiat buruh migran di pelatihan Kemlu ini dapat belajar dari apa yang dilakukan anggota paguyuban kami, khususnya dalam hal pengelolaan desa wisata. Sehingga sebagaimana dipaparkan Mas Triyana Purba, selaku koordinator TKI Purnajaya di Ngelanggeran, kunci sukses dari pengelolaan desa wisata adalah keterlibatan dan kelompakan dari segenap elemen masyarakat, komunitas TKI di desa harus bisa bersinergi dengan pemuda, ibu-ibu PKK, tokoh masyarakat, pemerintah desa, kelompok tani, kelompok seni, dan seluruh elemen lainnya yang ada di desa.” ungkap Heri Pralistio, Ketua Asosiasi TKI Purnajaya Se-DIY.

Proses panjang para mantan TKI bersama segenap elemen masyarakat guna mengembangkan potensi wisata Gunung Api Purba Ngelanggeran, kini mulai membuahkan hasil. Desa Ngelanggeran yang dulu menjadi kantong pengirim TKI, kini mayoritas warganya tidak lagi berminat menjadi TKI, karena mereka sudah merasa sejahtera di desa. Mayoritas penginapan (homestay) di Desa Ngelanggeran, merupakan rumah para mantan TKI, demikian pula beberapa pedagang warung di area wisata juga banyak yang berasal dari mantan TKI.

Saat ditanya mengenai pengelolaan desa wisata, Triyana menyampaikan beberapa hal penting berikut:

1. Berjuang Mengubah Pola Pikir Masyarakat Tentang Aset dan Potensi Desa

Jika selama ini kita mengenal peribahasa “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri”, maka peribahasa itu sejatinya tidak relevan dengan kekayaan aset dan potensi yang ada di desa sendiri. Mayoritas TKI berasal dari desa dan sejatinya desa memiliki banyak potensi yang dapat dikelola dan dikembangkan bersama-sama. Triyana bersama para pemuda Desa Ngelanggeran harus berjuang cukup lama untuk menyakinkan segenap elemen masyarakat bahwa desanya memiliki aset luar biasa berupa Gunung Api Purba yang berpotensi dikembangkan menjadi kawasan wisata.

“Kami membutuhkan waktu cukup lama untuk menyakinkan masyarakat yang selama ini melihat gunung api purba hanya sebagai batu, sehingga banyak diantara mereka yang masih memilih berangkat ke luar negeri untuk menjadi TKI. Namun kami tidak menyerah, hingga 2009 saat kunjungan mulai ramai, saya mendirikan paguyuban purna TKI, karena saya melihat masih banyak ibu-ibu yang sudah 2 hingga 3 kali ke luar negari yang tetap ingin berangkat lagi, padahal di desa mulai banyak tamu dan keahliah mereka memasak, berjualan, hingga rumah-rumah mereka berpotensi untuk dikembangkan menjadi bagian dari paket-paket wisata di Desa Ngelanggeran,” pungkas Triyana Purba.

2. Menjaga Tradisi Guyub Rukun dan Gotong Royong di Masyarakat.

Satu batang lidi mudah dipatahkan daripada seikat sapu lidi. Demikianlah prinsip yang menjadi pegangan para pegiat Pokdarwis Gunung Api Purba Desa Ngelanggeran. Pengelolaan kawasan wisata berbasis masyarakat, tidak lepas dari budaya gotong royong, saling terbuka, komunikasi (pertemuan rutin), hingga mekanisme penyelesaian masalah berbasis musyawarah yang masih tetap terjaga. Kuncinya adalah sinergi dari pelbagai kelompok masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan desa wisata.

“Kami mulai membuat sistem agar semua dikelola secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain sistem tiket yang sudah satu pintu (menggunakan aplikasi komputer), pendapatan wisata juga dibagi ke setiap kas kelompok, dari kelompok pemuda, kesenian, purna TKI, kelompok tani, kelompok ternak, kelompok homestay, dan lain-lain. Pertemuan rutin juga menjadi kunci menjaga kekompakan, para pengurus Pokdarwis hampir tiap minggu melakukan kordinasi 2 sampai 3 kali, sementara untuk keseluruhan kelompok masyarakat kami ada pertemuan setiap Selasa Kliwon (35 hari sekali).” tutur Sugeng Handoko Purba, tokoh Pemuda Desa Ngelanggeran.

3. Selektif Menerima Bantuan, Dana Hibah, dan Berani Menolak Investor

Para peserta lokakarya pengelolaan media informasi berpose bersama Tim PWNI dan BHI Kementerian Luar Negeri
Para peserta lokakarya pengelolaan media informasi berpose bersama Tim PWNI dan BHI Kementerian Luar Negeri

Pada prinsipnya pengelolaan desa wisata tidak membutuhkan modal besar, karena modal utamanya adalah sumber daya alam dan manusia yang ada di kawasan tersebut. Dalam hal pengembangan kawasan wisata, Pokdarwis Gunung Api Purba Ngrelanggeran sangat selektif menerima bantuan dari pihak luar. Tidak semua bantuan mereka terima, karena belum tentu bantuan yang diberikan itu sejalan dengan visi dan kebutuhan masyarakat.

“Ada banyak tawaran bantuan yang nilainya cukup besar, namun, jika tidak sesuai dengan kebutuhan dan rencana pengembangan yang sudah disusun masyarakat ya kita tolak. Termasuk investor, juga kami tolak, karena nanti masyarakat hanya jadi penonton.” ungkap Triyana Purba.

4. Pengelolaan Promosi Melalui Media Sosial.

Di era teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang bergerak begitu cepat, keberadaan sosial media menjadi peluang bagi kami untuk mempromosikan Wisata Gunung Api Purba Ngelanggeran.

“Teknik sederhana yang kami lakukan misal, akun facebook atau twitter para pemuda dan pegiat pokdarwis selalu ditambah nama belakang (marga) purba, kemudian kami rutin bersama-sama mengunggah (upload) berbagai hal tentang desa kami. Teknik ini kami lakukan hingga saat ini dan cukup efektif.” jelas Sugeng Handoko Purba.

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.