Konvensi internasional untuk perlindungan hak buruh migran dan anggota keluarganya, merupakan kodifikasi dari undang-undang yang mengatur tentang hak asasi manusia. Perjuangan panjang dan melelahkan dari konvensi tersebut, akhirnya membuahkan hasil berupa UU Nomor 6 Tahun 2012. “Indonesia meratifikasi konvensi ini pada 21 Mei 2012,” ungkap Jumi Rahayu, Program Officer International Catholic Migration Commission (ICMC), saat memulai diskusi di Hotel Ibis Tamarin (31/1).
Jumi menjelaskan, bahwa pemerintah berkewajiban untuk melaporkan status perlindungan buruh migran, menjelang perayaan tahun pertama dari UU Nomor 6 Tahun 2012. Laporan tersebut, nantinya ditujukan kepada Komisi Buruh Migran PBB. Isi dari laporan itu sendiri, terkait dengan hambatan dan faktor apa saja yang memengaruhi implementasi konvensi. Negara juga harus melaporkan segala hal yang telah terjadi, guna memastikan pemenuhan hak-hak dalam konvensi, termasuk bagaimana harmonisasi kebijakan tersebut berjalan.
ICMC merupakan organisasi internasional yang fokus terhadap isu migrasi, untuk melindungi hak-hak pengungsi dan buruh migran tanpa memandang keyakinan, ras, etnisitas dan kebangsaan. Di Indonesia, ICMC sudah beraktivitas sejak tahun 1999 berdasarkan MOU dengan Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Lebih lanjut, Jumi menuturkan bahwa dialog publik yang telah terlaksana memiliki beberapa tujuan, diantaranya:
- Mengembangkan kapasitas masyarakat sipil untuk mendukung pemenuhan hak buruh migran dan anggota keluarganya.
- Mensosialisasikan hasil pemantauan dan pandangan-pandangan masyarakat sipil mengenai implementasi Konvensi Migran.
- Mengkonsolidasikan masyarakat sipil dalam pemantauan implementasi Konvensi Migran 1990 di Indonesia.
ICMC mendatangkan 5 narasumber dan beberapa penanggap, untuk mengisi dialog publik tersebut. Mereka adalah Nurharsono dari Migrant Care, Dinda Nuranisaa Yura dari Solidaritas Perempuan (SP), Dhandy Laksono dari AJI Indonesia, Nurus S. Mufidah dari JARI PPTKILN, dan Ari Sunarijati dari FSPSI Reformasi.