Usaha tahunan yang dilakukan oleh gerakan Buruh Migran Indonesia (BMI) untuk mendorong ratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 Tentang Perlindungan Hak Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya atau yang popular disebut sebagai Konvensi Buruh Migran, pada akhirnya membuahkan hasil. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan langkah ratifikasi ini pada awal bulan ini (12/4) dalam sidang paripurnanya. Hampir mayoritas Fraksi di dalam DPR mendukung langkah adopsi ini, artinya ini dapat dipandang sebagai adanya kehendak politik dari DPR terkait perlindungan BMI, jika tak dapat dikatakan sebagai sebuah usaha menjelang pemilu 2014.
Buruknya praktek penempatan, perlindungan dan pelayanan terhadap BMI seharusnya dapat diakhiri dengan langkah ratifikasi ini, Ratifikasi konvensi memang bukan obat yang dapat menyembuhkan segala penyakit dalam sistem dan praktek buruk penempatan, perlindungan dan pelayanan terhadap BMI, namun setidaknya prinsip-prinsip dan standar-standar internasional dapat dipakai dalam rencana tindak lanjut pemerintah menuju perbaikan.
Konvensi Buruh Migran
Ratifikasi konvensi buruh migran ini menjadi tuntutan umum bagi gerakan BMI karena aturan internasional telah menetapkan beberapa prinsip dan penetapan-penetapan internasional terkait hak buruh migran dan anggota keluarganya. Beberapa prinsip yang terdapat dalam konvensi ini adalah hak untuk berserikat dan beroganisasi, hak untuk bebas bergerak, hak atas pekerjaan yang layak, hak atas hidup, hak untuk bebas dari perbudakan, hak kebebasan berpikir, hak untuk beragama dan berkeyakinan, hak untuk tidak diskriminasi dan serangkaian hak-hak dasar lainnya.
Sementara itu cakupan dari konvensi ini adalah bagi BMI, anggota keluarga BMI, BMI tidak berdokumen, calon BMI dan mantan BMI, tanpa memandang agama, kebangsaan ataupun status.
Dalam konvensi ini yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan isi konvensi ini adalah negara atau pemerintahan disuatu negeri yang telah meratifikasi konvensi ini. Negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi dan mempromosikan isi dari konvensi ini.
Konsekuensi
Langkah ratifikasi ini memiliki arti bahwa pemerintah berkewajiban untuk mengikuti prinsip-prinsip dan standar-standar konvensi dalam seluruh kebijakan dan aturan yang dimiliki, termasuk membuat aturan perlindungan yang mengikuti isi konvensi, jika sebuah negara belum mempunyai aturan yang dimaksud.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa konsekuensi dari melakukan ratifikasi adalah untuk melakukan penyesuaian peraturan dan undang-undang di tingkat nasional, aturan dan undang-undang harus disesuai dengan apa yang termaktub dalam kovensi. Hal yang paling mendesak bagi pemerintah adalah untuk segera melakukan evaluasi kebijakan terkait penempatan dan perlindungan BMI, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, dan yang paling mendesak adalah meninjau ulang seluruh Memorandum Of Understanding (MoU-Nota Kesepahaman) antara pemerintahan Indonesia dan negeri-negeri penempatan, setidaknya inilah hal paling mendesak yang harus disegera dilakukan.
Ditingkat undang-undang, pemerintah harus segera meyeleraskan rencana revisi UU No 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (PPTKILN). UU PPTKILN harus dirubah agar spirit dan inti dari UU tersebut tidak lagi memberikan kewenangan yang besar terhadap sektor swasta (dalam hal ini adalah PJTKI dan Agen Penempatan), peran pihak swasta harus ditempatkan dalam kerangka penegakan hak asasi manusia. Penting, untuk memastikan pengakuan terhadap organisasi BMI dalam pembutan kebijakan dan penyelesaian perselisihan kerja antara BMI dengan majikan dan antara BMI dengan PJTKI/Agen Penempatan. Dengan demikian proses revisi UU PPTKILN yang sedang berlangsung saat ini di DPR, juga berkewajiban untuk berkonsultasi langsung dengan organisasi massa BMI itu sendiri terutama mereka yang di negeri penempatan. Begitu pula dengan aturan ditingkat kementerian, terutama Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementrian Luar Negeri dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI).
Sementara di tingkat bilateral yaitu antara Indonesia dengan negeri penempatan adalah meninjau ulang seluruh nota kesepahaman diantara kedua pihak. Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menyodorkan nota kesepahaman yang sesuai dengan prinsip dan standar internasional yang termakhtub dalam konvensi. Dalam ukuran yang paling minimum, setidaknya, jika kedua kewajiban ini dilakukan maka ruang bagi terwujud perlindungan guna meringankan beban buruh migrant semakin terbuka.
Dengan langkah ratifikasi ini, pemerintah juga berkewajiban untuk memberikan laporan tertulis kepada Komite Buruh Migran PBB secara regular terkait pelaksanaan isi konvensi buruh migrant ditingkat nasional. Fungsi control dari organisasi buruh migrant juga penting dalam rangka memastikan isi konvensi dilaksanakan oleh negera. Organisasi buruh migrant dapat juga memberikan laporan kepada Komite Buruh Migran PBB perihal pelaksanaan konvensi. Akhir kata selamat bagi organisasi buruh migran, ratifikasi bukanlah kemenangan besar, melainkan langkah kecil dalam perjuangan penegakan hak-hak dasar buruh migran.
Oleh:Ario Adityo/ Direktur Indies Jakarta