(Bahasa Indonesia) Serikat PRT di Jogja Lanjutkan Aksi Mogok Makan

Author

Sorry, this entry is only available in Indonesian.

Aksi Reli Mogok Makan Jaringan Advokasi Perlindungan Pekerja Informal DIY
Aksi Reli Mogok Makan Jaringan Advokasi Perlindungan Pekerja Informal DIY

Puluhan anggota Serikat Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan buruh gendong di Yogyakarta melanjutkan aksi reli mogok makan (24/3/15). Aksi yang digelar di gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut digelar mendesak wakil rakyat di Senayan (DPR-RI) segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PPRT). Desakan ini dilakukan mengingat Pemerintah dan DPR-RI tidak memasukkan RUU PPRT dalam program legislasi nasional (Prolegnas).

Ibarat gayung bersambut, kesan wakil rakyat yang tidak serius membahas RUU PPRT diikuti Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sebagai wakil pemerintah yang tidak menyetujui RUU tersebut. Kemenaker di era pemerintahan Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri tidak berkenan menginisiasi agar RUU tersebut masuk dalam prolegnas di DPR-RI.

Pekerja informal merupakan pilihan paling mudah bagi masyarakat yang tingkat pendidikan maksimal sampai SD-SMP, di tengah maraknya PHK sepihak oleh perusahaan akibat krisis global. Tanpa adanya perlindungan dari pemerintah karena belum meratifikasi sejumlah Konvensi ILO tentang Kerja Layak bagi pekerja informal, seperti KILO 189 Kerja Layak PRT dan KILO 177 Kerja Layak bagi Pekerja Rumahan, sehingga sampai hari ini belum ada kebijakan yang melindungi hak-hak pekerja informal.

Padahal saat ini PRT berjumlah 10,7 juta dan tanpa ada kejelasan perlindungan. Hal ini menyebabkan PRT mengalami pelbagai tindak kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual, sosial, jaminan sosial. Tahun 2011-2012 ada sekitar 273 kasus, yaitu kekerasan fisik 177 orang/65 persen biasanya kasus pemukulan, dibenturkan, penyiraman air cucian, dikenai benda panas, dan lain-lain. Selain itu, juga terjadi kekerasan ekonomi 85% upah tidak dibayar, 23% pembayaran tidak tepat waktu/ditunda hingga 2-3 bulan. Jumlah kasus yang dialami PRT semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan RUU PPRT yang diajukan ke DPR sejak 2004, hingga saat ini belum disahkan.

Di Yogyakarta sendiri diperkirakan jumlah PRT mencapai 37 ribu. Upah PRT sangat kecil, rata-rata 300 ribu–500 ribu perbulan. Jam kerja tidak jelas, beban kerja melebihi kemampuan PRT, tidak ada istirahat karena beban kerja terlalu banyak, tidak punya hari libur mingguan, tidak mendapat jaminan sosial (jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaa) dll. Sementara Pekerja Rumahan, saat ini menjadi tenaga kerja yang disukai oleh pemilik usaha/perusahaan karena lebih menguntungkan pemilik usaha/perusahaan dibanding mempekerjakan pekerjanya di pabrik/perusahaan.

Situasi ini kemudian mengakibatkan pekerja rumahan banyak mendapatkan persoalan, seperti: tidak adanya kesepakatan perjanjian kerja secara tertulis antara pemilik usaha/perusahaan dan pekerja rumahan sendiri sehingga pekerja rumahan tidak memiliki posisi tawar, upah rendah dan masih jauh di bawah UMK/UMP, tidak ada jaminan K3, tidak ada jaminan sosial dan perlindungan melahirkan, tidak ada pembatasan usia minimum pekerja rumahan, biaya produksi masih ditanggung oleh pekerja rumahan, tidak diberikan hak untuk berorganisasi dan berunding bersama, dan masih dibatasinya akses atas informasi.

Buruh Gendong pun juga mengalami berbagai persoalan yang sama. Belum diakuinya buruh gendong sebagai pekerja maupun sebagai warga pasar baik secara formal maupun tertulis oleh pemerintah. Sehingga untuk mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja susah. Penghasilan yang minim tiap harinya, upah tidak pasti dan rendah. Struktur pasar yang tidak ramah dengan pekerjaan buruh gendong seperti lokasi jalan yang sempit dan semrawut, atap pasar bocor sehingga lantai kadang licin dan membahayakan ketika menggendong, naik turun dengan tangga yang terkadang curam, sehingga rentan terhadap keselamatan, kesehatan dan keamanan kerja buruh gendong.

Sementara biaya pengobatan harus ditanggung oleh buruh gendong. Melihat kondisi di atas, maka kami Jaringan Advokasi Perlindungan Pekerja Informal meminta Pemerintah DIY untuk mendukung dan memberikan perlindungan kepada pekerja informal (PRT, Pekerja Rumahan, Buruh Gendong) dengan, yaitu:

  1. Sahkan UU Perlindungan PRT dan Ratifikasi Konvensi ILO NO. 189 Kerja Layak PRT;
  2. Berikan perlindungan terhadap pekerja rumahan dan ratifikasi Konvensi ILO No. 177 Tahun 1996;
  3. Pemerintah mengakui buruh gendong sebagai pekerja dan segera menerbitkan kebijakan perlindungan hak kerja layak, termasuk upah layak;
  4. Pengakuan buruh gendong sebagai warga pasar yang memiliki hak untuk mendapatkan akses dana kontrol atas pengambilan keputusan dan fasilitas pelayanan publik di pasar;
  5. Pemerintah, pengguna jasa dan perusahaan memberikan jaminan sosial/BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, serta jaminan atas K3 bagi pekerja informal;
  6. Pemerintah menjamin hak atas akses informasi dan anggaran bagi pekerja informal;
  7. Pemerintah dapat menjamin pengguna jasa dan perusahaan untuk memberikan kebebasan berorganisasi dan berserikat bagi pekerja informal;
  8. Pekerja informal dapat mengakses program-program Pemerintah terkait pelatihan pengembangan;
  9. Pemerintah dan perusahaan menjamin hak atas fasilitas pendukung kerja (alat-alat kerja) untuk pekerja rumahan.

===========

Jaringan Advokasi Perlindungan Pekerja Informal Serikat PRT DIY, Paguyuban Saayuk Rukun Buruh Gendong DIY, Kelompok Pekerja Rumahan DIY, AJI Yogya, Aksara, ABY, CIQAL, Forum LSM DIY, ICM, IHAP, IDEA, LBH Yogya, Mitra Wacana, PLU, PSB, PKBI, Perempuan Mahardika, RTND, Rifka Annisa, SP Kinasih, Samin, SAPDA, YASANTI

Alamat : JL. Puntodewa DK VII No. 1. JomegatanRt.11, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55182, phone 0274-375908 Email: yasanti_yogya@yahoo.com.

Tulisan ini ditandai dengan: Demo PRT JALA PRT PRT TKI PRT 

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.