Dari 565 pelaksana penempatan tenaga kerja swasta (PPTKIS), baru 37,3 prosen berkinerja baik. Karena itu, warga yang berminat bekerja di luar negeri, terutama sektor informal, harus mampu memilih agen penempatan yang bisa dipercaya dan bermutu.
Demikian laporan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Muhaimin Iskandar, dalam rapat kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (29/11/2010). Selanjutnya, Muhaimin menjelaskan ada 114 perusahaan atau 19,06 prosen dalam kondisi buruk, 242 perusahaan atau 43 prosen dalam kondisi sedang. Kini, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) telah mewajibkan 114 perusahaan yang berkinerja buruk untuk melaporkan penempatan dan penanganan kasus setiap bulan.
“Saya sudah mencabut izin usaha 24 PPTKIS yang melanggar aturan berkait penempatan dan perlindungan TKI. Kini ada 38 perusahaan tengah dibekukan izin usahanya,” jelas Muhaimin.
Meskipun lambat, tindakan tegas Menakerstran disambut baik oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran, Yossy Suparyo (32). Menurutnya, banyaknya perusahaan yang berkinerja buruk menunjukkan buruknya kinerja pengawasan Depnakerstran. Selain itu, Yossy meminta langkah nyata dari departemen itu untuk membuat pengumuman secara terbuka PPTKIS yang kinerjanya baik, sedang, atau buruk.
“Bagaimana warga bisa tahu mana PPTKIS yang baik dan buruk bila Depnakertrans tidak membuat pengumuman terbuka. Mereka bisa mengumumkannya lewat internet, surat kabar, atau pamflet yang ditempel di dinas-dinas tenaga kerja di kabupaten. Bila perlu buat surat edaran yang dikirim hingga ke desa-desa basis buruh migran,” ungkap Yossy.
Hentikan Pengiriman Buruh Migran Tak Berketrampilan
Yossy menyarankan pemerintah untuk menghentikan kebijakan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) di bidang informal, seperti pekerja rumah tangga, terutama di negara-negara yang tidak mengatur kerja ini dalam undang-undang tenaga kerja mereka. Karena tidak diatur dalam undang-undang, negera tujuan tidak memberikan perlindungan pada pekerja di wilayah itu.
“Ini terbesar kesalahan negara Indonesia. Mereka mengirim warga negaranya bekerja di negara yang tidak melindungi sektor pekerjaan itu, seperti Malaysia dan Arab Saudi,” jelasnya.
“Depnakertrans kan punya banyak Balai Latihan Kerja (BLK). Ironisnya, di satu sisi tenaga kerja berketramilan kita rendah, tapi sebagian besar BLK justri tidak beroperasi,” tambah Yossy.
Kebijakan pemerintah tentang buruh migran sebenarnya banyak yang rancu. Selama bertahun-tahun pemerintah menerapkan kebijakan pembuatan paspor dan visa untuk tujuan Arab saudi hanya di Kantor Imigrasi Tangerang, Banten. Tindakan itu menyalahi kebijakan yang mengizinkan setiap warga negara dapat membuat paspor di kantor imigrasi mana saja.