Pekerja migran di sektor rumah tangga rentan terhadap praktik diskriminasi, seperti penyiksaan dan penipuan. Faktor penyebabnya adalah tidak adanya jaminan hari libur, minimnya pemahaman mengenai hak-hak pekerja migran, serta hak berserikat di negara penempatan yang belum dijamin undang-undang. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ridwan Wahyudi, Program Manager Infest Yogyakarta, yang menjabarkan berbagai masalah yang dihadapi pekerja migran sektor rumah tangga dalam pertemuan Consultation Meeting-Organizing Indonesian Domestic Workers yang diselenggarakan oleh International Domestic Workers Federation (IDWF), Minggu, 13/01/2019.
“Beberapa permasalahan yang dihadapi pekerja migran sektor rumah tangga adalah jam kerja yang sangat panjang, kerja lebih dari satu rumah, belum ada regulasi tepat untuk gaji minimum, pekerja tidak memiliki akses komunikasi, terisolasi, serta tidak memperoleh perlindungan sosial,” ujar Ridwan Wahyudi.
Pertemuan yang melibatkan pekerja migran sektor rumah tangga dari Indonesia dan Filipina, serta beberapa NGO dan Serikat Buruh Malaysia tersebut merupakan ajang untuk saling bertukar informasi isu-isu terkini mengenai pekerja migran beserta permasalahan yang dihadapi. Glorene, dari Tenaganita (NGO di Malaysia) memaparkan bahwa undang-undang untuk mengubah istilah pelayan menjadi pekerja masih belum cukup untuk memberikan jaminan perlindungan hukum kepada pekerja.
“Undang-undang tidak menjamin perlindungan karena situasi pekerja masih terisolir sehingga pemerintah tidak bisa mengawasi secara penuh,” ungkap Glorene.
Sementara Alex Ong dari Migrant Care menuturkan beberapa usulannya kepada pemerintah Malaysia, diantaranya; rekomendasi memindahkan keputusan dari Kementerian Dalam Negeri ke Kementerian Tenaga Kerja, ratifikasi konvensi internasional khususnya Konvensi ILO 189, rekomendasi sistem perekrutan kerja secara online untuk mengurangi unsur korupsi dalam proses perekrutan dan bayaran tinggi di agensi, majikan memohon melalui Kementerian Tenaga Kerja sehingga ada filter terhadap majikan, rekomendasi pekerja rumah tangga, Pekerja Rumah Tangga layak mendapatkan pensiun dan PRT mendapat perlakuan yang sama seperti pekerja lokal di tempat pekerja.
AMMPO, serikat pekerja rumah tangga Filipina yang diwakili oleh Jeena menuturkan bahwa tidak mudah membangun sebuah organisasi di negara penempatan. AMMPO, organisasi yang mulai berdiri pada tahun 2015 tersebut bermula dari tiga orang pekerja saja. Kendala yang dialami untuk berorganisasi tidak jauh beda seperti yang dialami pekerja migran dari Indonesia. Sumber daya manusia, alokasi dana dan kurangnya akses informasi menjadi tantangan terbesar mereka. Perjuangan yang AMMPO lakukan tidak sia-sia, selain semakin banyak anggota (saat ini 200 orang), AMMPO juga turut memberikan pelatihan pra dan pasca pemberangkatan ( Post and Pre Arrival) bagi pekerja Filipina. Nuning, pekerja migran yang turut hadir dari Komunitas Ngapak mengungkapkan bahwa sesi berbagi informasi dan isu terkini yang dihadapi pekerja migran sangat bermanfaat.
“Selain bisa menambah pengetahuan, kita juga bisa memberi masukan kepada pihak-pihak yang memiliki kemampuan untuk membuat perubahan, baik itu dalam perlindungan maupun pemenuhan hak-hak pekerja, khususnya dalam bagi pekerja rumah tangga,” kata Nuning.