Peristiwa penangkapan seorang PMI di Korea Selatan telah membuka mata pemerintah bahwa ada PMI yang sudah terpapar kelompok ekstrimis. Hal ini terbukti dari hasil temuan hasil penelitian Kementerian Luar Negeri (Kemlu) melalui Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) tahun 2016. Menurut Hernawan Baskoro Abdi (33), Head Section of Public Awareness Campaign PWNI BHI Kemlu, Pemerintah RI (Republik Indonesia, red) baru menyadari bahwa kelompok ekstrimis sudah memengaruhi PMI, tepatnya setelah berita penangkapan Carsim di Korea Selatan pada 2015.
“Namanya Carsim alias Abdul Hasyim, Ia awalnya masuk pakai nama Abdul Hasyim kemudian mengubah namanya menjadi Carsim di tahun 2015 bulan November. Pada akun facebooknya juga banyak mengupload atribut-atribut Front Al Musa itu, kemudian otoritas setempat menangkapnya,” ungkap Hernawan pada Redaksi Buruh Migran, Jumat (7/9/18).
Sejak peristiwa tertangkapnya Carsim, Kemlu juga mulai melakukan penelitian pada 2016 untuk menelusuri keberadaan kelompok-kelompok ekstrimis di beberapa negara tujuan PMI. Penelitian tersebut juga dilakukan untuk mengetahui penyebab mengapa PMI terpapar ekstrimisme. Penelitian pertama dilakukan di Korea Selatan dan di beberapa negara tujuan PMI lainnya termasuk di Hong Kong pada 2016.
Pada 2016, Wakabaintelkam Polri, Irjen Lutfi Lubihanto, menyebutkan bahwa ada 70 PMI dideportasi karena dugaan terlibat kelompok ekstrimis. Sementara pada 2017, Polri mengungkap ada sekitar 1.242 WNI yang menjadi simpatisan ISIS. Sebanyak 383 WNI terlibat ISIS, 75 WNI berencana akan pergi, 54 WNI meninggal, dan 47 WNI sudah kembali dari Suriah. (Prasetia & Anzari, 2016)
Berdasarkan hasil penelitian Institute for Policy Analysis Conflict (IPAC) yang berjudul “Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists” kecanggihan teknologi semakin mempermudah PMI terpengaruh kelompok ekstrimis melalui konten berupa artikel, gambar, maupun video melalui media sosial. PMI perempuan yang bekerja di sektor rumah tangga merupakan yang paling banyak terpengaruh (Amidoni, 2018).
Penelitian IPAC juga mengungkap bahwa perempuan Indonesia mulai mengambil peran dalam tindak ekstrimisme dan radikalisme, bahkan beberapa dari mereka ingin menjadi pembom bunuh diri Akhir 2017. Detasemen khusus antiteror (Densus 88) menangkap Dian Yulia Novi (Dian) atas keterlibatannya dalam plot bom bunuh diri di Istana Presiden di Jakarta. Dia pernah bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Singapura dan Taiwan. Selain Dian, Densus 88 juga menangkap Ika Puspita Sari (Ika) lantaran keterlibatannya dalam bom bunuh diri di Bali. Ika pernah bekerja sebagai PRT di Malaysia. Keduanya terpengaruh ekstrimisme lantaran kerap membaca artikel berbau ekstrimisme yang disebar di media sosial (Amidoni, 2018).
Guna mengetahui lebih jelas tentang makna “Radikalisme”, “Ekstrimisme” dan “Terorisme”, sobat bisa membaca penjelasannya di istilah-istilah tersebut di laman ini tentang “Apa Itu Radikalisme, Ekstrimisme, dan Terorisme”
Penyebab PMI Terpengaruh Kelompok Ekstrimis
Berdasarkan hasil penelitian Kementrian Luar Negeri (Kemlu) melalui Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) Bantuan Hukum Indonesia (BHI) (Abid, 2016), faktor-faktor yang menyebabkan Pekerja Migran Indonesia (PMI) terpengaruh kelompok ekstrimis sebagai berikut:
Anti Sosial (Eksklusif)
Menurut hasil penelitian PWNI BHI Kemlu, PMI yang terpengaruh oleh kelompok ekstrimis biasanya cenderung memisahkan diri dari kelompok masyarakat pada umumnya.
Kesepian (loneliness)
Berdasarkan hasil temuan IPAC (Abid, 2016), sebagian PMI yang terpapar paham ekstrimisme saat bekerja di Hong Kong, 99% PMI yang terpapar adalah perempuan. PMI yang merasa tidak memiliki teman, komunitas, dan tidak memiliki teman spesial (pacar), suami dan hanya sendirian cenderung akan merasakan kesepian dan rentan terhadap paham ekstrimisme.
Berita-berita Palsu (Fake news)
Berita palsu memberikan peran signifikan dalam penyebaran paham ekstrimisme. Konten-konten negatif dan palsu yang belum jelas kebenarannya diproduksi dan banyak disebar dari gawai (smartphone).
Uang yang Banyak
Posisi PMI yang memiliki pendapatan menjadi daya tarik tersendiri bagi kelompok ekstrimis untuk memengaruhi mereka. Pendapatan PMI dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan kelompok ekstrimis.
Upaya Mencegah Tersebarnya Ekstrimisme di Kalangan PMI
Perbanyak Kegiatan Positif bagi Pekerja Migran
Di tengah fenomena menyebarnya ekstrimisme di kalangan pekerja migran Indonesia (PMI), pemerintah Indonesia dan organisasi masyarakat sipil terus berupaya melakukan pencegahan ekstrimisme. Pencegahan bukan hanya dilakukan di tingkat nasional dan internasional, namun juga di tingkat daerah. Seperti yang dilakukan oleh Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) dan Bantuan Hukum Indonesia (BHI) Kementrian Luar Negeri (Kemlu), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), dan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT). Sementara di tingkat daerah, upaya pencegahan dilakukan oleh Institute for Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (infest) Yogyakarta dan The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia.
Di luar negeri, Pemerintah RI telah melakukan serangkaian kegiatan pencegahan ekstrimisme di kalangan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Menurut Hernawan Bagaskoro Abid (Hernawan, red), Head Section of Public Awareness Campaign, PWNI BHI Kemlu mengemukakan bahwa kegiatan-kegiatan positif dan pertemuan langsung atau kopi darat dapat dilakukan untuk mencegah PMI dari paham ekstrimisme. Kegiatan positif bagi PMI seperti olahraga, kuliner, bisnis, hobi, dan lain-lain. Harapannya, bagi PMI yang sudah terpapar, setidaknya pikiran tentang paham radikalisme yang sudah memengaruhi perlahan berkurang.
“Jadi basis sosial harus kuat, sering-sering kopi darat, kemudian aktivitas positifnya diperbanyak. Caranya bisa banyak, misalnya mengadakan acara yang bakal disukai banyak orang, mampu merangkul semua orang baik yang belum terpapar radikalisme atau sudah terpapar,” jelas Hernawan.
Hernawan juga menegaskan bahwa beragam kegiatan yang telah dilakukan Kemlu untuk memperkuat strategi agar PMI mau datang dan berkumpul. Meskipun tema kegiatannya tidak secara jelas menyebutkan pencegahan ekstrimisme, namun dalam pelaksanaannya tetap disuguhkan materi yang berhubungan dengan pencegahan ekstrimisme.
“Kegiatan-kegiatan yang tidak langsung mengena pada perbincangan radikalisme, justru banyak diminati PMI untuk datang. Seperti yang sudah dilakukan KBRI di Hongkong, PMI berkumpul dan membicarakan mengenai kuliner, bisnis dan cara start up bisnis kuliner. PMI juga diajarkan tentang bijak dan cerdas bermedia sosial,” ungkap Hernawan.
Di luar kegiatan pemberdayaan, Kemlu juga melakukan agenda setting ke pemerintah setempat melalui media. Namun dalam agenda setting media, target KBRI bukanlah PMI, namun pemerintah sebagai pengambil kebijakan (decision maker).
Perkuat Narasi Tandingan Cegah Radikalisme
Di luar negeri, Pemerintah Republik Indonesia (RI) melalui Kementrian Luar Negeri (Kemlu) telah berupaya melakukan kegiatan pencegahan tersebarnya ekstrimisme di kalangan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di negara penempatan. Sementara di dalam negeri, Pemerintah RI melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melakukan pencegahan penyebaran radikalisme bagi calon PMI. Salah satu upaya pencegahan yang dilakukan oleh BNPT adalah memperbanyak narasi kontra radikalisme atau narasi tandingan untuk mencegah ekstrimisme.
Menurut Direktur Deradikalisasi BNPT, Prof. Irfan Idris (Irfan-red), saat ini BNPT telah menyiapkan strategi dan kebijakan penanggulangan terorisme melalui kedeputian pencegahan (deradikalisasi), penindakan, dan persoalan internasional.
“Kita (BNPT-red) sebenarnya sudah kaya dari segi konsep, tinggal pelaksanaannya. Nah, jangan ada arogansi setiap kementerian dan lembaga masing-masing jalan. Kita juga telah mengumpulkan semua pelatih-pelatih di setiap provinsi. Ada 34 di semua provinsi yang dikumpulkan, pelatih-pelatih ini yang akan menyebarkan dan memviralkan materi-materi dan strategi yang harus diberikan kepada calon-calon TKW (Tenaga Kerja Wanita-red), agar nanti mereka bekerja dengan benar dan sesuai harapan keluarga,” jelas Irfan.
Irfan juga menegaskan bahwa masyarakat harus peduli dan waspada bahwa ekstrimisme itu adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan lintas negara. Ekstrimisme, menurutnya sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum benar-benar memahami makna dan keberadaan kelompok ekstrim ini, khususnya calon pekerja migran Indonesia (PMI) yang akan berangkat ke negara tujuan.
“Ya mungkin bukan niatan PMI untuk masuk ke kelompok ekstrimis, niat awal mereka murni untuk bekerja. Tetapi ketika dia dalam kondisi terpuruk, tidak menerima haknya, disiksa oleh majikan, kemudian rindu dengan keluarga, gaji tidak dibayar, seperti yang sudah menjadi persoalan TKI kita di Indonesia, akhirnya dia berselancar di dunia maya. Ketemu dengan kelompok-kelompok ekstrimis. Jadi saran saya, Kemkominfo (Kementrian Komunikasi dan Informatika, reds) juga perlu kita libatkan dalam memperkuat imunitas. Imunitas dan memperkokoh kesiapsiagaan bangsa dan masyarakat Indonesia,” tegas Irfan.
Pemberdayaan dan Advokasi di Tingkat Komunitas
Di tingkat komunitas di sejumlah daerah, upaya pencegahan radikalisme juga dilakukan oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia. Menurut Maskur Hasan, Divisi Kampanye AMAN Indonesia, AMAN bukan hanya melakukan pencegahan, namun juga perlindungan, partisipasi dan rehabilitasi. Melalui komunitas jaringan kelompok kerja perempuan di sejumlah daerah, strategi pencegahan ekstrimisme melalui pendidikan damai, kampanye damai, pemberdayaan dan advokasi.
Selain AMAN Indonesia, Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) Jakarta, juga telah melakukan kajian di sejumlah daerah terkait isu terorisme di dalam negeri, khususnya tentang perempuan dan ekstrimisme. Menurut Lies Marcoes, Direktur Eksekutif Yayasan Rumah KitaB, upaya untuk mencegah ekstrimisme perlu melibatkan perempuan, cara pandang, persepsi dan rasa yang dialami perempuan juga harus menjadi pertimbangan di dalam upaya-upaya deradikalisasi. Hal ini mengingat perempuan merupakan penerima, penafsir sekaligus yang mengimplementasikan dan mereproduksi nilai-nilai fundamentalisme.
Lies Marcoes juga menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukannya menggunakan pendekatan feminis. Pendekatan tersebut mencoba memahami peran dan posisi perempuan dalam gerakan keagamaan Islam fundamentalis. Penelitian dilatarbelakangi oleh fakta bahwa selama ini studi-studi tentang kelompok radikal absen melihat peran perempuan.
Pencegahan Ekstrimisme oleh Komunitas PMI di Desa
Pekerja Migran Indonesia (BMI) pada umumnya berasal dari desa. Idealnya, desa sudah mulai belajar bagaimana memberikan layanan migrasi aman, serta sekian upaya upaya melindungi warganya yang bekerja ke luar negeri. Sayangnya sampai saat ini masih banyak desa dengan kantong PMI belum memiliki regulasi perlindungan pekerja migran. Salah satu lembaga yang selama ini peduli pemberdayaan pekerja migran adalah Infest Yogyakarta.
Menurut Direktur Eksekutif Infest Yogyakarta, Irsyadul Ibad, Infest telah mengembangkan sebuah program yang menyasar pekerja migran untuk mencegah penyebaran ekstrimisme di kalangan pekerja migran. Sejak 2018, Infest juga memperkuat kapasitas komunitas organisasi pekerja migran Indonesia (KOPI) di Kabupaten Ponorogo dan Blitar dalam penanganan kasus. Selain di dalam negeri, Infest juga memperkuat komunitas PMI di negara penempatan seperti Komunikasi Organisasi Pekerja Migran Indonesia (KOMI) di Johor Bahru dan Serantau di Kuala Lumpur, Malaysia.
Selain memperkuat kapasitas komunitas PMI dalam penanganan kasus, Infest juga menginisiasi kampanye untuk mencegah tersebarnya ekstrimisme di kalangan PMI. Dalam rangkaian kampanye ini, Infest juga melibatkan lembaga lain baik dari lembaga pemerintahan maupun organisasi masyarakat sipil, termasuk dalam merumuskan konten kampanye yang dilakukan dalam Workshop Kick Off Program “Penyusunan Strategi Pencegahan Ekstremisme di Kalangan Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri pada periode Pra- Penempatan dan Penempatan” pada Jumat-Minggu (7-9 September 2018).
Satu komentar untuk “Benarkah Pekerja Migran Indonesia Rentan Terpapar Ekstrimisme?”