Banyak pihak temasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beranggapan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan bakal menjadi skema perlindungan yang lebih baik bagi TKI. Pada konteks negara mengambil alih pengelolaan Asuransi TKI dari konsorsrium perusahaan asuransi (swasta), kebijakan ini memang sangat tepat. Namun harus dilihat secara kritis apakah payung hukum yang tersedia mengakomodir keragaman karakter migrasi dan negara tujuan TKI?, apakah cakupan (coverage) pertanggungan atas risiko yang dialami TKI lebih baik atau minimal sama dengan program Asuransi TKI?, lebih mendasar apakah sudah ada kajian mendalam untuk menghiindari risiko atau peluang munculnya kebijakan koruptif dalam pengelolaan iuran di masa mendatang dan pelbagai deret pertanyaan terkait mekanisme dan pelayanan klaim.
Informasi tentang program Jaminan sosial TKI belum tuntas disosialisasikan karena itu masih banyak yang perlu ditanyakan, dikritisi dan dievaluasi agar jadi lebih baik. Namun pada dasarnya peralihan dari Konsorsium Asuransi TKI komersial kepada penyelenggara badan publik, seperti BPJS Ketenagakerjaan, perlu didukung karena merupakan tuntutan kita dan juga rekomendasi KPK.
Perubahan konsep hukum asuransi TKI sebagaimana norma Pasal 68 UU No. 39 Tahun 2004 menjadi konsep hukum jaminan sosial dan atau asuransi sosial yang diselenggarakan oleh badan publik seperti BPJS adalah mutlak diatur dalam Undang-Undang yang baru.
Melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 7 tahun 2017 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang sekaligus mencabut dua Permenakertrans tentang Asuransi TKI (Permenaker no.07/MEN/V/2010 dan no.1 tahun 2012), Menteri Hanif Dhakiri masih memberi celah adanya potensi munculnya persoalan di lapangan saat kebijakan ini diimplementasikan. Hal ini tampak dari ketidakjelasan siapa subyek yang wajib membayar iuran Jaminan Sosial TKI.
Secara mendasar Permenaker 7/2017 pada pasal 2 ayat 2 menyebutkan bahwa jenis Jaminan Sosial TKI ada 4 macam, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Hari Tua (JHT). Secara rinci pada pasal-pasal berikutnya menyebutkan kepersertaan TKI pada JKK dan JKM bersifat wajib, sementara JHT bersifat sukarela. Namun Permenaker 7/2017 tampak “abu-abu” alias tidak jelas mengatur siapa yang memiliki kewajiban membayar Iuran Jaminan Sosial TKI, apakah TKI?, Pelaksana Penempatan?, atau Pengguna Jasa (Majikan/Perusahaan)?. Permenaker 7/2017 pada bagian ketentuan umum tidak menjelaskan definisi kata “Iuran” dalam Jaminan Sosial TKI. Pada Pasal 12 hanya menyebut bahwa “Pelaksana Penempatan wajib membayarkan iuran program JKK, JKM, dan JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai program yang diikuti”.
Kata “membayarkan” jelas berbeda dengan “membayar”, kata “membayarkan” pada implementasi lapangan dapat dijalankan dengan memungut uang dari TKI dan pelaksana penempatan yang menyerahkan uang kepada BPJS Ketenagakerjaan. Perlu diingat, sebelumnya dalam kebijakan Program Asuransi TKI yang sudah jelas mewajibkan PPTKIS membayar asuransi TKI (pasal 15 dan 17 Pemenakertrans no. 07 tahun 2010), kenyataan di lapangan terjadi penyelewengan, TKI tetap menjadi subjek yang wajib membayar asuransi TKI. Bahkan secara sistematis terindikasi adanya kebijakan koruptif, dengan sewenang-wenang pemerintah membuat sistem yang mengontrol dan memaksa TKI membayar Asuransi yang secara hukum menjadi kewajiban PPTKIS.
“Sistem atau alat kontrol pemerintah untuk memaksa TKI membayar asuransi dilakukan melalui KTKLN, TKI wajib memiliki KTKLN, untuk memiliki KTKLN wajib membayar Asuransi TKI, jika tidak memiliki KTKLN maka akan semena-mena dicekal atau ditolak keberangkatannya ke luar negeri oleh petugas Imigrasi di Bandara Keberangkatan, sehingga muncul pelbagai aksi penolakan terhadap kebijakan KTKLN. Oleh karena itu, ketidakjelasan siapa subjek yang wajib membayar iuran dalam Jaminan Sosial TKI akan berpotensi melahirkan persoalan dimasa mendatang. Saya melihat payung hukum Jaminan Sosial TKI tidak cukup memadai, mengingat kebutuhan akan cakupan jaminan pertanggungan atas risiko yang lebih luas dari pada jaminan sosial yang biasa dan faktor kekhususan harus diberlakukan bagi BMI sebagai pekerja migran yang berada di negara tujuan, maka idealnya aturan jaminan sosial /asuransi sosial bagi pekerja migran perlu dibentuk dan dirumuskan dalam nomenklatur secara terperinci Undang-Undang tersendiri, di luar muatan materi RUU PPMI, sehingga ciri khas dan keragaman risiko yang dialami TKI bisa terakomodir dan memberi keleluasaan BPJS Ketenagakerjaan untuk meng-cover risiko migrasi TKI secara utuh,” tegas Abdul Rahim Sitorus, Koordinator Advokasi Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM).
Alih-alih menjadi skema baru perlindungan TKI, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) melalui ketuanya Hariyanto menegaskan bahwa cakupan (coverage) pertanggungan atas risiko yang dialami TKI dalam Program Jaminan Sosial TKI tidak lebih baik dari program Asuransi TKI. SBMI mencatat dalam rentang tahun 2015-2016 ada sebanyak 970 lebih kasus gaji tidak dibayar, PHK sepihak, TKI sakit, pulang bermasalah yang melapor dan didampingi mengurus klaim asuransi baik oleh DPN maupun DPC SBMI di pelbagai daerah di Indonesia. Sementara tantangan skema perlindungan TKI kedepan tampak jelas, bahwa Jaminan Sosial TKI tidak mengakomodir pelbagai risiko seperti sakit, gagal ditempatkan bukan karena kesalahan TKI, gaji tidak dibayar, PHK, kekerasan fisik, pemerkosaan, bantuan hukum, hilang akal budi (depresi), hingga dipindahkan ke tempat kerja/tempat lain yang tidak sesuai perjanjian penempatan.
“Skema pertanggungan atas risiko PHK sepihak dalam Jaminan Sosial TKI hanya masuk dalam skema program Jaminan Hari Tua yang kepesertaannya bersifat sukarela dengan pertanggungan hanya senilai iuran yang dibayarkan ditambah hasil pengembangan atau bagi hasil pengelolaan dana JHT oleh BPJS ketenagakerjaan di berbagai jenis investasi yang nilainya tidak sebesar pertanggungan PHK dalam skema Asuransi TKI.” papar Hariyanto, Ketua DPN SBMI.
Iuran JKK dan JKM sebesar Rp.333.000,- pada masa penempatan berpotensi tidak akan berjalan efektif, karena sudah banyak negara penempatan seperti Malaysia, Hong Kong, Taiwan, Singapura, Korea Selatan, Jepang yang telah mewajibkan majikan atau perusahaan mendaftarkan pekerja migran dalam program asuransi kecelakaan kerja dan kematian, sehingga asuransi di dalam negeri jarang digunakan. Mengaca pada implementasi Program Asuransi TKI, data Direktorat Mediasi dan Advokasi BNP2TKI di tahun 2013 mencatat dari 268.293 pengajuan klaim, hanya 3.776 permohonan klaim yang dibayar Konsorsium Asuransi TKI, padahal di tahun yang sama (2013) ada sebanyak 512.168 TKI yang ditempatkan dan membayar Asuransi TKI sebesar Rp.400.000/orang atau jika diakumulasikan akan terkumpul dana Asuransi TKI sebesar Rp.204.867.200.000 sementara di tahun 2013 nilai klaim yang dikeluarkan hanya 14.296.896.353, atau hanya sebesar 6.98%.
“Dengan pengalaman yang ada, artinya tidak berlebihan jika mengatakan bahwa Iuran Jaminan Sosial TKI kedepan akan berpotensi hanya menjadi “kantong semar” sekadar menampung uang atas nama perlindungan TKI, apabila kajian atas indikasi kebijakan koruptif program asuransi TKI di masa lalu tidak menjadi bahan evaluasi dalam penyusunan mekanisme pelayanan dan cakupan pertanggungan di kebijakan baru Jaminan Sosial TKI.” pungkas Hariyanto.
Satu komentar untuk “Dilema Jaminan Sosial TKI, Berisiko Mengulang Kebijakan Koruptif Asuransi TKI”