Menjadi Mantan BMI, Fera Memproduksi Makanan Tradisonal

Author

Tiwul, Gatot dan Nasi Produksi Fera Nuraini, Mantan BMI Hong Kong
Tiwul, Gatot dan Nasi Produksi Fera Nuraini, Mantan BMI Hong Kong

Fera Nuraini berprofesi sebagai Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong sejak tahun 2005 hingga 2015. Buruh migran yang gemar menulis ini telah merasakan asam manis kehidupan menjadi buruh migran yang dijalaninya selama 10 tahun. Fera merasa Hong Kong merupakan tempat yang nyaman dan sempat merasa ketakutan ketika ia berpikir untuk penisun dari profesinya. Namun, ia akhirnya memutuskan untuk pulang ke tanah air dan membangun usaha untuk bekalnya di hari tua.

Pengalaman pernah jauh dari kampung halaman membuat Fera merindukan makanan-makanan tradisional seperti tiwul, gatot dan nasi jagung ketika berada di negeri beton. Belajar dari pengalaman rindu pada makanan tradisional, ia menggeluti produksi tiwul, gatot dan nasi jagung instan di rumahnya di Desa Kunti, Kecamatan Sampung, Ponorogo.

Ia memilih usaha produksi makanan tradisional tersebut karena prosesnya tidak terlalu ribet. Selain itu, ia melihat potensi di desanya yang melimpah dengan bahan baku pembuatan tiwul, gatot dan nasi jagung. Fera mengamati, bahan baku ketela sering dibeli murah para tengkulak, ia kemudian berpikir mengolah ketelah agar bernilai jual lebih tinggi. Dalam proses produksi ia menemui kendala ketika kondisi cuaca tidak menentu sehingga makanan produksinya kerap telat dikirimkan.

“Produksi tiwul, gatot dan nasi jagung instan harus dikeringkan dengan maksimal agar awet selama enam bulan hingga setahun. Sementara saya masih mengandalkan panas matahari untuk proses pengeringannya,” ucap Fera Nuraini.

Dari produk tiwul, gatot dan nasi jagung instan, proses pembuatan paling lama adalah nasi jagung. Dari jagung kering, Fera harus menggiling kasar dan merendam jagung semalaman. Setelah tiris, ia harus menggiling jagung menjadi tepung halus. Tepung yang telah halus, dicampur air sedikit demi sedikit, lalu dikukus dan dikeringkan. Proses pembuatan gatot berbeda lagi, dengan bahan dasar gaplek, ia harus merendamnya selama dua malam untuk kemudian dipotong-potong, dikukus dan dikeringkan selama 3-4 hari.

“Proses pembuatan tiwul lebih mudah lagi, dari gaplek yang telah dipuyoni, dikukus kurang lebih satu jam dan dikeringkan,” ujar Fera.

Awal memulai usaha, Fera menarget pasar bagi makanan yang diproduksinya adalah orang-orang yang jauh dari kampung halaman, khususnya para BMI di luar negeri. Ia aktif memasarkan produknya di media sosial Facebook dan Instagram untuk menjaring pembeli. Selain itu ia aktif berjualan di grup-grup WhatsApp buruh migran dan tak malu untuk memperkenalkan produknya pada teman-teman buruh migran. Fera bertekad untuk untuk membesarkan usahanya dengan mencari izin PIRT agar produknya bisa diterima pasar luas. Sebelum mencari PIRT ia akan berusaha untuk memperbanyak produksinya, karena selama ini permintaan pasar dengan stok yang dimiliki belumlah sebanding. Meski usaha yang digeluti Fera baru berjalan 6 bulan, tapi ia menikmati setiap proses yang dijalaninya.

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.