Kuala Lumpur—Buruh Migran Indonesia (BMI) di Malaysia sangat beragam kelas sosialnya. Mereka terdiri dari pelbagai kelas pekerja, seperti pekerja tidak mahir, setengah mahir dan pekerja mahir. Bagi pekerja yang telah menduduki tingkat pada kategori mahir, biasanya mereka mengorganisasi kelas pekerja di bawahnya untuk bekerja mengikuti arahan dan manajemen pekerja mahir tersebut. Oleh karena itu, bagi BMI di Malaysia, sudah tidak asing lagi istilah-istilah, seperti penge-sub, sub-kon, labour outsource dan lain-lain. Istilah-istilah tersebut seringkali kita jumpai pada sektor pekerjaan konstruksi dan perkebunan.
Biasanya kontraktor utama memberikan kontrak atau pekerjaan borongan kepada sub-kontraktor. Sementara sub-kontraktor biasanya mengupah para pekerjanya dengan cara harian. Tergantung jenis dan tanggungjawab yang dikerjakan oleh pekerja. Mereka bisa terdiri dari pembantu tukang, tukang atau mandor/ketua kerja. Pada jenis perusahaan sub-kontraktor inilah biasanya banyak BMI kita bekerja. Kontraktor utama juga tidak mungkin merekrut dan mempekerjakan buruh migran. Biasanya pekerja kontraktor utama terdiri dari arsitek, insinyur sipil, surveyor, akuntan, pakar hukum dan jenis pekerjaan mahir lainnya.
Profil perusahaan sub-kontraktor biasanya dimiliki oleh orang lokal. Namun, managemen dan keuangan dikerjakan oleh BMI. Pemilik perusahaan yang merupakan orang lokal mengambil keuntungan dari persentase tuntutan kerja setiap bulannya. Tergantung dari kesepakatan antara BMI mahir dan orang lokal tersebut. Biasanya antara 10 – 20 % setiap tuntutan kerja dalam satu bulan. Tanpa memperhitungkan resiko yang akan terjadi pada masa mendatang.
Perusahaan sub-kontraktor bukan berarti tidak memiliki persoalan. Persolan tersebut mulai dari tuntutan upah borong yang selalu terlambat pembayarannya, terkadang tidak dibayar sesuai tuntutan dan bahkan wanprestasi atas kontrak kerjasama tersebut. Padahal dalam sebuah perusahaan sub-kontraktor bisa mencapai ratusan buruh migran di dalamnya yang terdiri dari pelbagai negara asal buruh migran. Jika terjadi persoalan, wanprestasi misalnya, ratusan buruh migran itu akan sulit menerima gajinya. Meskipun terdapat beberapa kasus, majikan sub-kontraktor yang merupakan BMI itu akan pasang badan untuk membayar gaji kepada para BMI.
Ketika persoalan ini disampaikan pada audiensi dengan KBRI Kuala Lumpur oleh Komunitas Serantau, pemerintah menyebutnya sebagai sebuah aktivitas pekerjaan illegal. Pemerintah tidak bisa berbuat banyak dalam konteks ini.
“Sub-kontrak, itu illegal, dalam konteks hukum Malaysia,” kata Judha Nugraha kepada Serantau pada Minggu, (4/092016).
Judha menambahkan bahwa perjanjian antara kontraktor utama dan sub-kontraktor merupakan perjanjian bisnis yang tidak disahkan oleh pemerintah Malaysia. Banyak kasus seperti ini. Dengan demikian tindakan yang biasanya dilakukan oleh KBRI Kuala Lumpur adalah meminta kerjasama dengan kontraktor utama agar membayarkan gaji tersebut. Jika tidak menemui permufakatan, pemerintah menyarankan kepada BMI/WNI untuk membawa perkara tersebut ke pengadilan. Namun sangat jarang kasus seperti ini dilaporkan kepada pemerintah.
Strategi yang paling tepat dalam menyikapi permasalahan ini adalah dengan penegakkan hukum. Artinya menghukum para majikan yang mempekerjakan BMI tidak berdokumen. Sampai sekarang tidak ada majikan yang diproses secara hukum karena telah mempekerjakan BMI tidak berdokumen. Padahal hal itu melanggar Akta Imigrasi 1959/63, yang mana ancaman hukumannya adalah didenda tidak lebih dari RM50,000, dipenjara kurang dari 6 bulan dan dicambuk 6 kali sebatan.
Dari beberapa kasus yang dijumpai, juga sangat kecil kemungkinan untuk menang bagi buruh migran di Malaysia sebagai pemilik sub-kontraktor. Meskipun secara pembuktian telah berpihak kepada sub-kontraktor, legal standing (status hukum BMI/WNI di Malaysia) merupakan persoalan yang mengantarkan kepada kekalahan BMI. Hal itu ditambah lagi dengan status pekerja di dalam sub-kontraktor yang banyak tidak memiliki dokumen, sehingga akan meningkatkan permasalahan yang dihadapi oleh sub-kontraktor. Faktor ini juga yang menyebabkan sub-kontraktor tidak bersedia untuk melapor.
Menyikapi hal tersebut, Hariyanto, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebut harus ada kebijakan yang semestinya segara dibuat oleh pemerintah. Tidak harus menggunakan UU PPTKILN yang saat ini sedang dilakukan pembahasan untuk revisi oleh DPR dan pemerintah, namun pemerintah perwakilan bisa menggunakan aturan perlindungan WNI di luar negeri (Permenlu nomor 4 tahun 2008/citizen services).
“Pada intinya, BMI kita mesti dilayani dan dilindungi oleh pemerintah,” ungkap Hariyanto di Jakarta (6/9/2016).
Dengan demikian, lanjut Hariyanto, tantangan ke depan adalah membuat mekanisme bagi kemudahan atas pekerjaan BMI tersebut. Oleh yang seperti inilah perlu pelibatan masyarakat sipil. Pemerintah jangan diam saja dan jangan sungkan untuk melibatkan masyarakat sipil. Justru kita melihat fenomena tersebut sebagai bentuk kreatifitas dan keuletan BMI. Ketika mereka bisa berbuat maju seperti itu, tidak harus dipersalahkan sementara pemerintah tidak membuat langkah solutif. Padahal akar permasalahannya telah diketahui oleh pemerintah.