Tanggal 12 April 2012 Pemerintah Indonesia akhirnya meratifikasi Konvensi PBB yang dibuat ditahun 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya setelah mendapat desakan dari para buruh migran, serikat dan organisasi yang peduli terhadap isu buruh migran. Para buruh migran Indonesia (BMI) berharap dengan diratifikasinya konvensi ini maka kebijakan pemerintah yang ada benar-benar diimplementasi dan dilaksanakan agar memberikan per¬lindungan kepada BMI. Namun pada kenyataannya, sudah tiga setengah tahun konvensi ini dira¬tifikasi, upaya perlindungan bagi BMI belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Penurunan jumlah pengiriman sebagai dampak moratorium tidaklah ser¬ta merta menurunkan jumlah kasus pelanggaran karena kebijakan mora¬to¬rium nyatanya sama se¬kali belum atau malah menghindar dari kewajiban pemerintah mena¬ngani secara langsung akar masalah pelanggaran hak bu¬ruh migran, yaitu ma¬salah perekrutan non-prosedural yang terus merajalela. Justru sebaliknya, data Kementerian Luar Negeri menunjukkan dari tahun 2011 hingga Oktober 2015, terjadi kenaikan kasus perdagangan manusia, deportasi dan kasus ABK (prosedural maupun non-prosedural). Dalam tiga tahun terakhir rata-rata kenaikan kasus sebanyak 52,5%. Data dari Serikat Buruh Migran (SBMI) juga mencatat dari 321 ka¬sus yang ditangani, rata-rata BMI mengalami lebih dari satu pelanggaran kasus. Sementara itu, pengalaman Solidaritas Perempuan dalam melakukan pengorgan¬isasian dan penanganan kasus kekerasan terhadap buruh migran juga menunjukkan kerentanan perempuan buruh migran terhadap trafficking. Indikasi trafficking terlihat jelas dari proses perekrutan dan penempatan —baik tidak melalui maupun melalui PPTKIS— berupa pemalsuan dokumen, penggunaan visa turis (bukan visa kerja), dan modus dipindah-pindah majikan.
Langkah ratifikasi, seharusnya langsung diikuti dengan harmonisasi kebijakan baik di tingkat nasional maupun lokal. Hal ini juga jelas tercantum di dalam visi misi Jokowi JK ketika kampanye. Namun hingga tiga tahun Konvensi ini diratifikasi, belum terlihat langkah-langkah signifikan dari pemerintah terkait harmonisasi kebijakan maupun langkah implementasi lainnya. Proses revisi UU No. 39 Tahun 2004 belum menghasilkan sebuah perubahan yang signifikan dan mencakup perlindungan komprehensif bagi Buruh Migran sebagaimana yang diatur di dalam Konvensi Migran 90.
Sementara, program-program pemerintah terkait buruh migran terkesan sebagai program yang parsial dan bukan solusi dari akar permasalahan yang terjadi. Bahkan, beberapa kebijakan yang dikeluarkan, seperti Roadmap Zero Domestic Workers dan Moratorium cenderung diskriminatif terhadap buruh migran, terutama kelompok yang paling rentan yaitu perempuan buruh migran yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Dimana dalam roadmap ini hakekatnya hanya pembagian sub- sub pekerjaan rumah tangga, seperti pengurus rumah tangga, penajaga bayi, tukang masak, pengurus lansia, supir keluarga, tukang kebun dan penjaga anak.
Dari jumlah BMI yang mayoritas adalah pekerja rumah tangga seharusnya pemerintah, membuat peraturan perundangan untuk melindngi pekerja rumah tangga migran dan dosmetik. Pemerintah harus segera meratifikasi konvensi ILO 189 tentang kerja rumah tangga layak, dan segera mengimplementasikan kedalam UU Perlindungan PRT dan UU Perlindungan Bagi Buruh Migran dan Keluarganya.
Upaya pemerintah untuk mendorong kebijakan di tingkat regional (ASEAN) terkait perlindungan Buruh Migran pun belum membuahkan hasil. pembahasan ASEAN Framework Instrument for The Protection and Promotion of the rights of migrant workers, yang dilakukan sejak lahirnya Deklarasi Cebu pada 2007 masih mengalami kebuntuan (dead lock) hingga saat ini.
Karena itu, pada rangkaian peringatan hari Buruh Migran Internasional yang akan jatuh pada 18 Desember 2015, Jaringan Buruh Migran (JBM), yang beranggotakan 28 serikat buruh migran di dalam dan luar negeri, organisasi perempuan dan organisasi yang peduli terhadap isu buruh migran, menuntut negara untuk:
-
Mengakui dan menghormati migrasi sebagai hak asasi manusia serta melindungi setiap warga negara tanpa diskriminasi dalam melaksanakannya.
-
Revisi kembali RUU PPILN karena isi nya yang belum memuat perlindungan bagi buruh migran secara holistik sebagaimana yang termuat dalam Konvensi Migran 90.
-
Membuka ruang partisipasi publik dalam proses pembahasan Revisi UU PPILN
-
Ratifikasi Konvensi ILO No 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga
-
Ratifikasi Konvensi ILO No 188 tentang Perlindungan Anak Buah Kapal
-
Mencabut Kebijakan diskriminatif terhadap Pekerja Rumah Tangga dalam hal ini Moratorium dan Roadmap Zero Domestic Workers
-
Membahas dan sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
-
Wujudkan Instrumen Perlindungan Buruh Migran di ASEAN yangbersifat mengikat secara hukum (legally binding)
-
Membangun sistem perlindungan buruh migran melalui mekanisme pelayanan migrasi satu atap yang bernafaskan otonomi daerah