Dilahirkannya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) seharusnya semakin membuka keran informasi yang dimiliki pemerintah. Namun faktanya pemerintah seperti ogah-ogahan dalam berbagi informasi kepada warga.
Keterbukaan informasi hanya diartikan sebagai formalisme informasi yang ditunjukkan lewat berita-berita narsis. Konten-konten yang dibutuhkan masyarakat luput disajikan, bahkan dianggap sampingan. Pun sampai saat ini belum ada cara dari badan publik yang secara masif memperkenalkan UU KIP pada masyarakat.
Di sisi lain keterbukaan informasi belum banyak dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat, bahkan UU KIP ini pun masih awam bagi publik. Memang banjir informasi disajikan secara besar-besaran oleh berbagai media. Tapi kebanyakan media hanya menampilkan informasi secara parsial dan silih berganti.
Maka inilah tugas dan kewajiban yang harus dilakukan oleh badan publik, yakni rinci memberikan informasi yang dibutuhkan warga secara utuh. Dengan adanya UU KIP ini pun warga negara berhak memperoleh informasi sebanyak apapun selain informasi terkecualikan.
Lantas bagaimana kaitan UU KIP dengan buruh migran?
Tanti Budi Suryani, dari Yayasan Tifa, mengatakan bahwa buruh migran dan keluarganya, atau organisasi yang berhubungan dengan buruh migran dapat meminta informasi-informasi publik yang dibutuhkan kepada negara.
“Banyak informasi yang dibutuhkan oleh buruh migran dan keluarganya, agar mereka memahami hak-haknya sebagai warga negara dan tidak hilang begitu saja ketika di luar negeri,”ujarnya disela Lokakarya KIP buruh migran.
Menurut Tanti, buruh migran layak dilindungi agar tidak mendapat perlakuan diskriminatif. Salah satunya bisa dengan memaksimalkan penggunaan UU KIP untuk membuka informasi-informasi yang sebenarnya belum dibuka.
“Buruh migran tanpa informasi yang cukup akan mendatangkan masalah bagi buruh migran atau bagi pemerintah itu sendiri,”tutur Tanti.
Menurutnya UU KIP ini secara logis mengungkapkan bahwa masyarakat adalah majikan dan negara adalah pelayan. Jadi mengapa informasi harus dirahasiakan, kalau toh sebenarnya yang memberi mandat dan legitimasi pejabat publik adalah warga negara itu sendiri. Harusnya informasi dibuka untuk kepentingan publik, tidak usah ditutup-tutupi!