TKI Tanpa Akses Informasi, Disengajakah?

Author

Suasana Konferensi Pers soal hak informasi buruh migran, tampak dari kiri Muhammad Irsyadul Ibad, dari Infest, Ahmad Alamsyah Saragih, Komisioner Subkomisi Informasi Pertahanan dan Keamanan, Abdul Rahim Sitorus, dari LBH Yogyakarta, dan Anwar Ma'arif, dari DPN SBMI
Suasana Konferensi Pers soal hak informasi buruh migran, tampak dari kiri Muhammad Irsyadul Ibad, dari Infest, Ahmad Alamsyah Saragih, Komisioner Subkomisi Informasi Pertahanan dan Keamanan, Abdul Rahim Sitorus, dari LBH Yogyakarta, dan Anwar Ma’arif, dari DPN SBMI

Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) didukung Media Link Jakarta dan jejaring organisasi Buruh Migran di Indonesia dan Hong Kong, menggelar konferensi pers soal hak informasi TKI (24/04/13). Kegiatan tersebut digelar di Warung Daun, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat tersebut juga dihadiri Ahmad Alamsyah Saragih, Komisioner Subkomisi Informasi Pertahanan dan Keamanan.

Selain mengabarkan perkembangan surat permintaan informasi publik, baik yang dikirim para pegiat buruh migran dari berbagai daerah, maupun buruh migran langsung dari Hong Kong. Hingga saat ini, dari 150 jenis informasi yang diminta, terdapat catatan khusus bagi beberapa badan publik yang tidak menanggapi permintaan tersebut. Badan publik seperti Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Luar Negeri, Konsulat Jenderal Republik Indonesia Hong Kong, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) belum menjawab seluruh permintaan informasi yang masuk.

Kebijakan penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) diakui Pemerintah atau tidak, terbukti sarat dengan pelbagai persoalan. Meskipun hingga April 2013 Pemerintah belum mencabut moratorium penempatan TKI ke Malaysia dan Arab Saudi, media massa baik nasional maupun daerah masih terus diwarnai berita-berita kasus TKI. Kekerasan, pelecehan, penipuan, pelanggaran hak-hak pekerja, hilang kontak, hingga penyalahgunaan wewenang oleh oknum pemerintah terus menempatkan TKI dan keluarga sebagai korban.

Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) mencatat salah satu akar persoalan migrasi adalah ketidakadilan pemerintah atas pemberian hak informasi bagi TKI dan keluarga. Keterlibatan pihak swasta seperti Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang tidak diatur dan diawasi secara ketat, membuat praktik komersialisasi dan pungutan liar terus mengancam TKI dan keluarganya. Pemerintah masih menempatkan calo-calo TKI dan PPTKIS sebagai rujukan atau sumber utama informasi seputar penempatan TKI. Padahal informasi dari calo-calo TKI dan PPKIS sangat rentan disampaikan tidak utuh, disesatkan, dan cenderung demi mengejar keuntungan semata.

Kecenderungan ini menyebabkan TKI dan keluarganya berada dalam situasi serba tidak tahu. Mereka tidak tahu apa hak-hak mereka dan bagaimana jika mereka mengalami masalah, baik sebelum bekerja, saat di penampungan, saat bekerja di luar negeri, ataupun ketika sudah kembali ke tanah air.

Terkait biaya penempatan misalnya, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi hanya merilis komponen biaya untuk beberapa negara penempatan saja, yakni Malaysia, Singapura, dan Hong Kong. Sementara banyak TKI tidak memiliki informasi berapa biaya penempatan di negara lain seperti Taiwan, Arab Saudi, Uni Emitat Arab, Yordania, Kuwait, Syiria, Belanda, Australia, New Zealand, dan beberapa negara penempatan TKI lainnya. Terkait keterbatasan akses atas informasi tersebut, bisa dibayangkan siapa pihak yang paling rentan menjadi korban pemerasan?, tidak lain adalah TKI dan keluarga.

“Fakta yang Saya temukan, TKI justru disesatkan secara informasi dan didiskriminasikan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), melalui banner Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta. Melalui informasi di sebuah banner, BNP2TKI sampaikan sanksi bagi TKI yang tidak memiliki KTKLN. Padahal secara hukum sanksi yang dikutip dari UU 39/2004 tersebut, bukan ditujukan kepada TKI, melainkan kepada lembaga penempatan atau PPTKI.” tutur Fathulloh, pegiat PSD-BM.

Kasus di atas cukup menunjukkan dalam hal kebijakan, siapa yang lebih dibela dan dilindungi oleh pemerintah, TKI atau pengusaha PPTKIS?. Kecenderungan menuntup akses informasi bagi TKI dan keluarganya juga melahirkan pertanyaan, apakah situasi ini disengaja?, agar TKI dan keluarganya tetap dalam situasi tidak berdaya dan serba tidak tahu atas hak-hak mereka sendiri?.

Tulisan ini ditandai dengan: KIP buruh migran 

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.