Tradisi Migrasi Swadaya Orang Lewohedo (1)

Author

Sedikit Pemuda Lewohedo yang tersisa di kampung halaman
Sedikit Pemuda Lewohedo yang tersisa di kampung halaman

Secara administratif Desa Lewohedo berada di wilayah Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Berjarak kurang lebih 4 mil laut dari Ibu Kota Kabupaten, Lewohedo sejak dahulu terkenal sebagai salah kantong buruh migran. Masyarakat Lowehendo hingga kini masih setia dengan tradisi bermigrasi secara swadaya (informal). Menurut Kepala Desa Lowehedo, Andreas Dosi Kaha, orang Lewohedo sudah mulai bermigrasi sejak awal 60an. Data lima tahun terakhir menunjukkan angka buruh migran desa ini mencapai 143 jiwa dan  tersebar di sejumlah wilayah di Malaysia. Namun, kebanyakan buruh migran tersebut berada di Malaysia Timur.

Ada sejumlah alasan mendasar yang menyebabkan masyarakat Lewohedo lebih memilih untuk bermigrasi ke luar negeri tinimbang menetap dan tinggal di kampung sendiri. Persoalan utamanya adalah ekonomi. Sempitnya lapangan pekerjaan menyebabkan keluarga tidak memiliki pendapata yang mencukupi. Di Pulau Solor yang terkenal gersang, bertani bukanlah pekerjaan yang bisa diandalkan. Minimnya kapasitas sumber daya manusia (SDM), membuat sebagian anak Lewohedo melirik tanah rantau sebagai sandaran hidup yang bisa diandalkan.

Beban adat yang terkadang terlampau berat turut menjadi pemicu meledaknya angka migrasi di desa pesisir utara pulau Solor ini. Konteks pernikahan adalah contohnya. Pemuda Lewohedo yang hendak menikahi gadis harus memberikan mahar minimal satu batang gading gajah. Harga sebatang gading gajah kini berkisar di atas angka sepuluh juta rupiah. Beban tersebut menjaid lebih berat apabila gadis yang dilamar terlanjur berbadan dua sebelum menikah. Harga diri sebagai pria Lamaholot –sebutan untuk suku-suku yang mendiami wilayah Flores Timur dan Lembata– akhirnya menuntun langkah kaum lelaki menuju Malaysia untuk mengumpulkan sekadar untuk membeli sebatang gading.

Anggapan warga Lewohedo bahwa migrasi ke luar negeri sebagai tradisi turun-temurun adalah alasan lainya. Langkah orangtua yang pernah merantau bisa dipastikan diikuti oleh anak.  Banyak pemuda sekarang yang pergi merantau ke luar negeri karena cerita-cerita yang terlampau dramatik dan dibesar-besarkan tentang tanah rantau yang didengar dari orang lain yang pernah merantau.

Di desa berpenduduk 434 jiwa ini, untuk bisa bermigrasi ke luar negeri, seorang calon buruh migran harus mengurus kelengkapan administrasi seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP),  surat nikah, akta kelahiran, serta Kartu Keluarga (KK) untuk bisa memperoleh surat keterangan meniggalkan desa dari Pemerintah Desa Lewohedo. Namun pada kenyataannya, ada juga warga yang secara diam-diam berangkat ke tanah rantau tanpa mengurus dokumen pada Pemerintah Desa. Mereka beralasan dokumen yang diurus di desa sama sekali tidak berguna ketika mengurus paspor di Nunukan.  (Bersambung)

6 komentar untuk “Tradisi Migrasi Swadaya Orang Lewohedo (1)

    1. Ini adalah tulisan bersambung, tulisan berikutnya akan diunggah oleh mas Dudy Lewar dari Delsos Larantuka, Flores Timur. Terima kasih telah membaca tulisan ini.

  1. iya mas…….mari kita sm2 berjuang demi kaum migran dan keluarganya yg slama ini kurang mendpt perhatian dr banyak pihak….

  2. Tulisan ini mantab. Menunjukkan kalau tradisi migrasi itu semata tidak tunggal ala versi pemerintah. Terima kasih sudah berbagi. Kami jadi tahu motif dan pola menjadi TKI di NTT.

  3. Tidak seharusnya jg beban ini di limpahkan kepada pemerintah desa saja tetapi Justru peran pemerintah Daerahlah yang harus bekerja keras, paling tidak memberikan perlindungan bagi mreka kaum buruh migrant kalo memang belum bisa memberikan lapangan pekerjaan yang layak bagi mereka. Nah disinilah diharapkan para wakil rakyat/ DPRD memperhatikan nasib msyarakatnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.