Sesuai dengan amanah UU nomor 39 tahun 2004 tetang perlindungan dan penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), dalam pasal 26 ayat 2 dan ayat 60,setiap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) diharuskan untuk memiliki Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). KTKLN adalah kartu pintar (smartcard) memuat identitas BMI dan data ketenagakerjaan yang terhubung dengan pusat data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). KTKLN juga dilengkapi dengan chip micro-prosessor contactless yang berfungsi untuk memantau keberadaan BMI di Luar Negeri sehingga bisa memaksimalkan perlindungan BMI. KTKLN ini bisa diperoleh di BNP2TKI dan BP3TKI terdekat tanpa dipungut biaya alias gratis.
Penerbitan KTKLN merupakan langkah awal pemerintah untuk menertibkan dan memaksimalkan perlindungan TKI dengan adanya monitoring dari BNP2TKI. Namun, apakah niat awal pemerintah melalui KTKLN untuk memaksimalkan perlindungan TKI ini sudah sesuai? Ternyata tidak, banyak masalah baru yang justru ditimbulkan dengan keberadaan KTKLN.
Pertama, banyak TKI lama yang mengeluhkan birokrasi yang berbelit-belit ketika mengurus KTKLN. Karena penerbitan KTKLN hanya dilayani didalam negeri. Jika KTKLN merupakan keharusan, mengapa pemerintah tidak membuka pelayanan di KBRI maupun KJRI? mengingat TKI yang diberangkatkan sebelum tahun 2010 belum ada kewajiban memiliki KTKLN.
Akhirnya, banyak TKI yang terpaksa membayar sejumlah uang kepada petugas atau calo yang menangani pembuatan KTKLN agar segera diterbitkan sehingga bisa pulang kembali ke tanah air. Fenomena tersebut menjadi lahan pendapatan baru (korupsi) di lembaga negara. Banyak TKI pula yang akhirnya menjadi korban pemerasan dibalik kedok pembuatan KTKLN. Agung misalnya, salah satu TKI di Qatar terpaksa merogoh kocek 2,5 juta untuk pembuatan KTKLN (http://w.blankon.in/Wj). Padahal tidak ada aturan yang mengharuskan TKI membayar untuk penerbitan KTKLN.
Masalah kedua, kesenjangan terjadi antara TKI dan PPTKIS, TKI yang tidak mempunyai KTKLN berarti melanggar ketentuan dalam pasal 51 akan dipidana dengan ancaman minimal hukuman 1 tahun penjara maksimal 5 tahun, dan atau denda minimal 1 milyar maksimas 5 milyar. Sedangkan sanksi untuk PPTKIS yang tidak mengindahkan kewajiban pembuatan KTKLN hanya dipidana kurungan minimal 1 bulan dan maksimal 1 tahun, dan atau denda minimal seratus juta dan maksimal 1 milyar. Kenyataannya, PPTKIS yang tidak mengindahkan hanya mendapat teguran dari pemerintah. Ironi memang, menegakkan peraturan tapi tidak meluruskan dahulu akar masalahnya.
Mempertanyakan Fungsi KTKLN
Kenyataannya, keberadaan KTKLN belum memberi nilai lebih untuk perlindungan TKI di luar negeri. Sejauh ini juga belum ada manfaat yang diterima oleh TKI kita dengan keberadaan KTKLN. Saat ini KTKLN hanya merupakan kartu yang berisi identitas TKI, jika KTKLN hanya difungsikan sebagai identitas TKI, lalu apa gunanya paspor dan KTP?
Fungsi perlindungan TKI akan maksimal jika tersedia pengaduan cepat dan mudah, serta komitmen pemerintah untuk melindungi warga negaranya. Solusi lainnya adalah merevisi Undang-undang no. 39 tahun 2004 yang merugikan TKI dan memberikan celah pemerasan terhadap TKI.
3 komentar untuk “Menyoal KTKLN”