Perjuangan Ibu Menjadi Buruh Migran

Author

Namaku Hayati (21). Aku  berasal dari Dusun Ngelak, Desa Jangkaran, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Pada saat berumur 4 tahun,  ibuku mencoba mengadu nasib ke  luar negeri  untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga yang terbilang pas-pasan.

Masa-masa kecilku kulewati bersama ayah dan kakak perempuan. Segala urusan dan keperluan kami diurusi oleh ayah. Ia adalah seorang ayah, sekaligus ibu bagi kami.

Waktu menginjak kelas 3 Sekolah Dasar (SD), ibu pulang dari tempatnya merantau di Arab Saudi. Waktu itu ibu hanya sebentar saja di rumah. Aku juga sudah lupa kapan tepatnya ibu berangkat ke Taiwan untuk bekerja lagi. Yang jelas waktu itu aku sudah menginjak kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bukan hanya ibu yang pergi ke luar negeri. Pada tahun 2002 setelah kakakku lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), kakakku juga pergi bekerja ke Singapura.

Tahun 2002 adalah tahun yang cukup sulit bagiku. Aku harus membagi waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan juga waktu sekolah. Bermodalkan jam wekker kecil, setiap hari aku harus atur agar berdering tepat pukul 04.00 WIB. Aku harus memasak untuk ayah dan untukku sendiri. Di usiaku yang belum genap 13 tahun, aku  harus mandiri dan pandai-pandai membagi waktu. Aku harus selalu bangun pagi karena pukul 06.00 WIB sudah harus berangkat ke sekolah. Sepulang sekolah, pekerjaan rumah sudah menanti. Aku harus mengerjakan sisa pekerjaan yang belum terselesaikan pagi hari. Itulah rutinitasku selama hampir dua tahun. Aku menyadari hal itu memang sudah menjadi tugasku sebagai satu-satunya perempuan yang ada dalam keluarga. Tidak mungkin aku membiarkan ayahku memasak sendiri. Meski bagaimanapun aku harus membantunya.

Aku sangat bersyukur. Selama bekerja di Taiwan dan Singapura Ibu dan kakakku tidak pernah mengalami masalah berat. Setiap bulan ibu selalu mengirimkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku. Ayah juga sering memberiku uang yang lebih untuk membeli barang apa saja yang aku inginkan. Pada satu sisi aku merasa tercukupi, tetapi pada sisi lain aku juga merasa sedih ditinggal ibu.

Tahun 2004 ketika hampir lulus SMP, ibuku pulang dari Taiwan dan aku juga melanjutkan sekolah ke sebuah SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Walaupun aku sering ditinggal ibu dan harus belajar secara mandiri, nilai hasil belajarku ternyata juga tidak mengecewakan. Setelah lulus dari SMK aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di salah satu sekolah tinggi swasta.

Aku sempat mengira kepulangan ibu pada tahun 2004 adalah akhir dari petualangan panjangnya bekerja sebagai buruh migran. Dugaanku ternyata salah. Lima tahun kemudian, tepatnya pada bulan November 2009 ibuku memutuskan pergi ke Jeddah Arab Saudi. Sebenarnya aku tidak pernah setuju ibu pergi ke luar negeri lagi. Bahkan ketidaksetujuanku pada keinginan ibu ini aku ungkapkan dengan nada marah. Aku sudah mengikhlaskan kuliah di tempat yang dekat dengan rumah  agar tidak perlu tinggal di kos dan sepulang kuliah bisa membantu ayah dan ibuku bekerja di sawah ladang.

Akan tetapi, mengapa ibu tidak mau bekerja di rumah saja? Bertani, seperti warga desa yang lain. Bahkan aku pun siap membantu setiap hari. Aku tidak membutuhkan kemewahan. Bagiku, hidup sederhana dan berkumpul dengan kedua orang tua merupakan kebahagiaan terbesar.

Namun, itulah ibuku. Tekadnya untuk memberikan kehidupan yang lebih layak bagi anak-anaknya sangat besar. Ia sangat kuat menjaga kemauan. Sangat kokoh, seperti karang. Kata-kata ibu yang membuat hatiku luluh dan mengikhlaskan kepergiaannya adalah ketika ia bilang bahwa keberangkatannya kali ini adalah untuk membiayai kuliahku dan untuk yang terakhir kalinya.

Masa kontrak kerja ibuku di Jeddah 2 tahun, dan sekarang kurang 1 tahun lagi untuk menyelesaikan kontraknya. Itulah perjuangan keras seorang ibu. Ibu bekerja keras membanting tulang demi hidupku. Perjuangan ibu telah menginspirasiku untuk belajar giat dan menyelesaikan kuliahku sebaik-baiknya. Sangat berdosa jika aku menyia-nyiakan pengorbanan ibu. Dari kepergian ibulah aku belajar dan menghargai arti sebuah kebersamaan. Arti menghargai jerih payah orang tua.

Semoga dari pengalaman ini, buruh migran mampu menyadari jika seorang anak yang ditinggal bekerja di luar negeri tidak hanya membutuhkan perhatian materi, tetapi juga membutuhkan perhatian kasih sayang orang tuanya. Dan bagi mereka yang ditinggalkan orang tuanya bekerja agar bisa lebih memahami bahwa jerih payah orang tua juga untuk memenuhi kebutuhan mereka. Jadi, giatlah dalam belajar agar perjuangan orang tua tidak menjadi sia-sia.

Tulisan ini ditandai dengan: Anak TKI Desa Jangkaran hayati 

Satu komentar untuk “Perjuangan Ibu Menjadi Buruh Migran

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.