Setelah dua tahun ditinggal suaminya yang meninggal dunia, Nuraini harus bertanggung jawab menghidupi dua orang anaknya yang masih kecil. Hal itu membuat ia ingin mengadu nasib menjadi Buruh Migran Perempuan (BMP) ke luar negeri setelah melihat keberhasilan beberapa tetangganya yang menjadi BMP.
Dengan tekad untuk membesarkan kedua anaknya, pada tahun 2009 Nuraini mendatar menjadi BMP dengan tujuan Malaysia melalui seorang tekong bernama Hasan asal Desa Geruntung Kecamatan Praya Lombok Tengah. Oleh Hasan, Nurani didaftarkan di PT Cahaya Surya, sebuah Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKIS) yang beralamat di Mataram.
Di dalam surat perjanjian kerja yang yang ditandatangani oleh Nurani sesaat sebelum berangkat disebutkan bahwa Nuraini akan bekerja di seorang majikan bernama A Hong yang mempunyai perusahaan peternakan ayam potong. Di dalam perjanjian juga disebutkan besaran gaji yang akan diterima oleh Nuraini, yaitu RM 1000 atau Rp 2.500.000 perbulan.
Akan tetapi, sesampai di Malaysia, Nuraini ternyata dipekerjakan sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) dengan gaji hanya RM 600 atau sekitar Rp. 1.500.000 perbulan. Itu pun harus dipotong jika Nuraini, misalnya, menelpon lebih dari 15 menit atau memecahkan perabotan yang ada di rumah majikan. Demikian juga kalau sakit, Nuraini harus membayar sendiri biaya pengobatan jika ingin berobat ke dokter. Peristiwa lain yang sering membuatnya tidak tahan adalah ia sering dipukul dan dimaki jika melakukan kesalahan kecil, misalnya tidak mendengar panggilan majikan.
Karena tidak tahan, Nuraini memilih kabur dari majikan dan ditangkap polisi. Setelah itu, polisi memulangkan Nuraini ke Lombok, meskipun dalam keadaan sakit.
saya sedih membaca cerita ini, sudah jatuh tertimpa tangga dan genteng pula. seperti inikah potret sesungguhnya rakyat negeri ini?