Berita

DPD: Segera Susun Grand Design Penempatan TKI

Author

JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah diminta secepatnya menyusun grand desain penataan penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Dalam hal ini, diperlukan adanya regulasi yang mampu mengatur lebih spesifik antara hak maupun wewenang TKI dari sektor formal dan informal. Demikian pendapat anggota DPD dari daerah pemilihan Sumatera Utara Parlindungan Purba dalam Dialog Kenegaraan bertema Kemiskinan Daerah dan Problematika TKI di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (1/12). Hadir pula dalam acara tersebut, anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka, dan Kepala Lembaga Demografi FEUI Sonny Harry B Harmadi.

 

“Perlu ada grand desain penataan kerja yang lebih teknis karena terdapat perbedaan antara sektor formal dan informal, tidak bisa disamakan. Penataan itu harus dimulai dari saat penerimaan calon TKI lalu ketika berada di luar negeri hingga tiba kembali ke Tanah Air,” katanya.

 

Menurut dia, berdasarkan pengalaman yang terjadi dilapangan, pemisahan aturan dalam mengatur tenaga kerja informal dan formal yang bekerja di luar negeri dianggap perlu.

 

Sebab, ada sejumlah negara yang telah memberlakukan aturan yang berbeda antara pekerja informal dengan formal. Hal inilah, tutur dia, hingga kini luput dari perhatian pemerintah.

 

Tak Serius

“Sampai saat ini pemerintah tidak serius dalam menangani persoalan TKI. Padahal, masalah TKI ini seperti bom waktu yang baru terlihat ketika telah terjadi kasus,” katanya.

 

Sebenarnya, Parlindungan menilai, ada sejumlah faktor penting yang perlu diawai terkait penempatan dan perlindungan terhadap TKI di luar negeri.

 

Yakni, dari TKI yang bersangkutan, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), peraturan pemerintah, serta negara yang menjadi tujuan. “Faktor yang paling penting itu adalah pengawasan terhadap PJTKI. Di sinilah seringkali terjadi pencaloan, terutama saat merekrut calon TKI,” ujarnya.

 

Dia menyayangkan, sikap dari pemerintah yang terlihat hanya setengah hati dalam menangani persoalan tenaga kerja tersebut. Padahal, menurut Parlindugan, TKI dapat menjadi aset yang penting dalam rangka mempromosikan Indonesia di tingkat internasional jika dibina dengan baik.

 

Sementara itu, Rieke Dyah Pitaloka menilai, hingga saat ini TKI hanya dipandang sebagai produk dagang oleh pemerintah.

 

“Yang dipikirkan hanyalah bagaimana mendapatkan devisa yang sebanyak-banyaknya dari para TKI ini tetapi tidak mengesampingkan masalah perlindungannya,” katanya.

 

Dia menambahkan, TKI tidak pernah dianggap sebagai warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak-hak konstitusional.

 

Kondisi ini, menurut Rieka, sangat berbeda dengan yang berhasil dilakukan negera Filipina dalam memberikan perlindungan kepada tenaga kerjanya yang bekerja di luar negeri, terutama untuk sektor informal.

 

“Mulai dari penempatan maupun perlindungannya, Filipina lebih baik dari pada Indonesia karena mereka telah memiliki sistem koordinasi yang bekerja dengan baik, termasuk diplomatnya,” katanya. (Tri Handayani)

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.