PONDOK pesantren itu masih terlihat baru. Cat temboknya yang berwarna hijau muda dan tua belum banyak yang mengelupas. Halamannya juga terlihat bersih. Belum banyak tanaman rimbun yang daunnya berguguran atau sampah-sampah berserakan.
Ya, pondok pesantren yang diberi nama Mutiara Bangsa itu baru beroperasi pada 2008. Bangunan di atas lahan lima hektare itu terdiri atas ruang-ruang untuk kelas, ruang kantor yayasan, dan asrama untuk para santri. Semua masih terlihat gres dan belum banyak dimanfaatkan.
Ponpes tersebut berada di bawah binaan Yayasan Islam Indonesia Pulau Sebatik (YIIPS). Yayasan itulah yang mendapat mandat dari pemerintah untuk mengembangkan pondok pesantren yang pada awalnya memang ditujukan untuk fasilitas bagi anak-anak TKI yang bekerja di Kota Tawau, Sabah, Malaysia. Seperti diketahui, Tawau dan Sebatik merupakan dua wilayah yang berada di tapal perbatasan Malaysia-Indonesia. Tepatnya di wilayah Kalimantan Timur.
Menurut Wakil Ketua YIIPS Suniman Latasi, Ponpes Mutiara Bangsa sebenarnya dirintis sejak 2007. Saat itu pejabat pusat mengunjungi Pulau Sebatik. Mereka prihatin melihat banyak anak TKI yang tidak bersekolah dan telantar. Tak lama kemudian, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) membangun pondok pesantren untuk keperluan pendidikan anak-anak TKI tersebut.
Begitu bangunan fisik selesai, pondok diserahkan kepada pengurus YIIPS untuk dikelola. “Dulu namanya Pesantren Darul Fikri YIIPS. Tapi, karena ada kebijakan dari pemerintah, namanya lalu diganti Pondok Pesantren Mutiara Bangsa,” terangnya.
Menurut Suniman, nama Mutiara Bangsa cocok untuk pesantren yang dipimpinnya. Sebab, keberadaan pesantren tersebut dimaksudkan untuk mencari dan membimbing anak-anak TKI yang diibaratkan mutiara bangsa Indonesia itu.
Sejak berdiri pesantren itu menampung sekitar 70 santri setingkat SMP. Namun, lantaran masih baru, dari jumlah itu baru 40 santri yang benar-benar sesuai sasaran, yakni anak TKI di Tawau. Selebihnya anak-anak warga setempat. “Kami memang mengajak anak-anak sini untuk masuk pesantren ini. Biar cepat ramai,” tutur Suniman.
Sebenarnya Ponpes Mutiara Bangsa sanggup menampung 120 santri. Karena itu, para pengurus pesantren maupun yayasan terus mencari anak-anak TKI Tawau untuk bersedia masuk pesantren. Selain itu, pihak yayasan melakukan pembenahan di sana-sini untuk melengkapi kompleks pesantren tersebut. Misalnya, mengadakan masjid.
“Masjid akan kami bangun di lahan yang masih kosong. Selama ini, untuk keperluan ibadah bersama, kami menggunakan ruang-ruang kosong,” ujarnya.
Muhammad Zainal Abidin, salah seorang santri, mengaku sangat senang bisa menempuh pendidikan di pondok itu. Dia menceritakan, sebenarnya dirinya sudah menempuh pendidikan setingkat SD di Tawau. Saat itu Abidin masih mengikuti orang tuanya yang bekerja di negeri jiran sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit.
“Tapi, di sana saya tidak mendapat ijazah dari pemerintah Malaysia ketika lulus SD,” paparnya.
Itu sebabnya, ketika ada saudaranya mengajak sekolah lagi di Sebatik, Abidin langsung mau. Apalagi, dia tidak perlu mengikuti pendidikan SD lagi. Di Pondok Mutiara Bangsa dia langsung bisa menempuh pendidikan di kelas I SMP. “Saya sekarang sudah kelas II SMP. Saya senang karena ijazahnya nanti resmi,” kata remaja 15 tahun tersebut.
Meski begitu, sampai kini orang tua Abidin masih tinggal di Tawau. Karena itu, kesempatan bertemu orang tuanya hanya bisa dilakukan bila ada libur. “Kalau libur, saya nyeberang ke Tawau. Ketemu bapak-ibu,” tandas Abidin.
Tidak hanya Abidin yang pergi ke Tawau setiap libur. Hampir seluruh santri yang anak TKI memanfaatkan hari libur untuk “mudik” ke rumah orang tuanya di tanah jiran. Saat Jawa Pos mengunjungi pesantren itu pada liburan Lebaran lalu pun mendapati pesantren dalam kondisi sepi. Separo lebih santrinya menyeberang ke Malaysia untuk berkumpul orang tuanya. Yang lain mudik ke rumah mereka yang tersebar di Pulau Sebatik.
Menurut Suniman, mayoritas santri anak TKI secara sadar datang ke Sebatik karena ingin bersekolah dengan layak. Itu karena di Tawau anak-anak TKI yang orang tuanya tidak memiliki identity card (IC) tidak bisa mendapat pendidikan yang layak. Mereka juga tidak bisa mendapatkan ijazah. “Makanya, mereka datang ke sini. Mereka kan juga punya keluarga di sini,” imbuhnya.
Suniman menceritakan, santrinya yang bernama Sumarni hampir sembilan tahun bersekolah di Tawau. Tapi, karena orang tuanya tidak memiliki IC, dia tak kunjung mendapatkan ijazah. Nah, setelah datang ke Sebatik, Suniman mengusahakan Sumarni mendapatkan ijazah. Dengan perjuangan, akhirnya Sumarni mendapat ijazah ibtidaiyah (setingkat SD). Jadi, dia pun tidak perlu mengulang untuk menempuh pendidikan SD di Sebatik. Dia langsung menjalani pendidikan setingkat SMP di Ponpes Mutiara Bangsa.
Suniman menambahkan, sebenarnya masih banyak anak TKI yang telantar pendidikannya di Sabah. Diperkirakan jumlahnya mencapai 40 ribu anak berusia wajib sekolah yang ikut orang tuanya tinggal di negara bagian Malaysia itu. “Berdasar data di konsulat kita di Sabah, sebagian besar anak-anak TKI itu tidak mendapatkan pendidikan yang layak di Sabah.”
Suniman menerangkan, Konsulat Jenderal RI di Sabah sangat sulit menemukan dan memproses kepulangan anak-anak TKI di sana. Sebab, anak-anak itu lebih banyak bersembunyi di kantong-kantong TKI yang berada di hutan-hutan, mengikuti pekerjaan orang tuanya di perkebunan. “Mereka juga tidak berani menampakkan diri karena takut ditangkap polisi dan diusir karena ilegal,” jelasnya.
Namun, bukan berarti tidak ada usaha pemerintah Indonesia untuk menjaring anak-anak TKI di Sabah agar mau masuk pesantren. Sebab, Selasa (19/10) mendatang, konsulat akan mengirim sekitar 40 anak TKI ke Ponpes Mutiara Bangsa untuk menjadi santri baru.
Suniman mengaku susah-susah gampang mengurus anak-anak TKI. Salah satu yang sulit adalah mengajarkan hal-hal yang berbau Indonesia kepada mereka. Misalnya, para ustad di ponpes memerlukan waktu berhari-hari untuk mengajarkan lagu Indonesia Raya. “Mereka sangat kesulitan melafalkan lagu itu. Yang mereka hafal justru lagu kebangsaan Malaysia,” ucapnya lantas tertawa.
Namun, para santri TKI sangat senang mempelajarinya dan mulai bisa menyanyikan lagu-lagu tentang Indonesia. “Kami memang perlu terus menanamkan rasa bangga kepada mereka menjadi anak Indonesia,” tegasnya. (*/c2/ari)