Ketika bekerja pada majikan pertama, saya pernah bersengketa hukum karena istri majikan melakukan kekerasan dengan memukul tangan saya hingga lebam. Saya tak paham dengan motif istri majikan yang memicu ia berbuat demikian. Bagaimanapun dan di negara manapun tindakan kekerasan tidak diperbolehkan. Selang dua hari usai pemukulan, saya memutuskan untuk melapor kepada otoritas polisi Dubai.
Pelaporan tersebut lantaran majikan tidak menepati janji, bahwa saya akan dipekerjakan di kantor bukan di rumah. Majikan juga mengungkapkan jika saya ingin pulang ke Indonesia, biaya kepulangan harus ditanggung diri saya sendiri. Tentu hal tersebut tak sesuai kontrak kerja. Di dalam kontrak kerja dijelaskan bahwa jika pemutusan hubungan kerja dilakukan pihak pertama, maka majikan harus menanggung tiket kepulangan dan gaji penuh pada bulan itu.
Di kantor polisi saya dipertemukan dengan superintendent, beliau bersedia menerima laporan tetapi untuk membuat laporan saya diharuskan untuk pergi visum di Dubai Hospital. Dua jam menunggu, petugas rumah sakit memberi tahu bahwa saya harus visum di Albaraha Hospital yang letaknya berhadapan karena hanya ada satu polisi di dua rumah sakit tersebut. Di Albahara Hospital saya melakukan visum tanpa dipungut biaya dan selang satu jam kemudian hasil visum keluar.
Saya kembali ke kantor polisi Muraqqabat, namun sayangnya petugas telah ganti dan saya harus kembali esok harinya. Petugas sempat mengecek paspor saya dan ternyata ada laporan dari majikan jika saya melarikan diri atau tamim. Polisi sebenarnya akan menahan buruh migran yang dilaporkan melarikan diri. Tetapi dalam kasus ini berbeda, saya melapor terlebih dahulu sebelum majikan melapor. Jadi saya bebas meninggalkan kantor polisi tanpa ditahan.
Esoknya saya kembali ke kantor polisi dan petugas polisi yang sedang berjaga menyuruh saya untuk kembali ke rumah sakit Albaraha guna menerjemahkan hasil visum dalam bahasa Arab. Ketika saya kembali ke kantor polisi sore hari, petugas sempat kaget melihat kedatangan saya lagi. Dengan agak marah polisi bertanya apa yang saya mau, apakah dipulangkan ke Indonesia, atau mendaftarkan kasus saya. Polisi kemudian berinisiatif untuk memanggil majikan memberitahukan bahwa saya berada di kantor polisi dan hendak melaporkan istri majikan.
Majikan tentu saja menghindar dan mengaku sedang pergi ke luar kota. Namun polisi tetap menyuruh majikan untuk datang paling lambat dalam kurun waktu satu jam. Maka satu jam kemudian majikan datang bersama istri dan dua anaknya, mereka memutar balikkan fakta dan kejadian sebenarnya di depan polisi.
Polisi Dubai sempat memihak mereka dan menawarkan pada saya, jika ingin pulang tiket pesawat akan dibayar tetapi gaji hanya dibayar setengahnya. Tetapi saya menolaknya. Saya lantas menunjukkan kontrak kerja dan menyebutkan bahwa kewajiban majikan adalah membayar gaji penuh dan tiket pesawat. Polisi sempat tak mau melihat kontrak kerja dan malah menanyakan kesiapan saya menerima majikan baru.
Setengah jam kemudian polisi bertanya apakah saya tetap ingin mendaftarkan kasus istri majikan. Saya tetap bersikukuh untuk mendaftarkan. Polisi menghubungi majikan dan mengatakan membutuhkan kehadiran istri dan paspornya untuk melengkapi laporan. Majikan dan istrinya datang dengan wajah marah, polisi menahan paspornya, dengan demikian ia tak bisa meninggalkan Uni Emirat Arab. Laporan baru selesai dibuat polisi pada pukul 02.30 dini hari dan polisi memberikan sepucuk surat untuk kemudian saya bawa ke markas Criminal Investigation Department (CID) Dubai membuat visum yang dikeluarkan CID. Butuh dua hari yang melelahkan untuk meyakinkan kepolisian Dubai bahwa saya mendapat kekerasan dari majikan!