Peluang Pengembangan Usaha Ekonomi bagi Pekerja Migran Indonesia

Author

Oleh: Ayu Kartika Putri, Pendamping Usaha Komunitas & Penulis Modul “Berani Berwirausaha”

Kemampuan berwirausaha pada dasarnya bisa dimiliki oleh semua orang, termasuk pekerja migran Indonesia (PMI). Mempunyai usaha ekonomi bisa menjadi solusi bagi pekerja migran untuk meningkatkan kesejahteraan. Sebab, tak bisa dipungkiri, pekerja migran seringkali masih mengalami kesulitan keuangan meskipun telah mendapatkan pemasukan dari hasil bekerja di luar negeri. Kesalahan pengelolaan keuangan dan masalah keluarga masih mendominasi penyebab kesulitan keuangan yang dialami PMI. Terlebih, dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini turut memperburuk keadaan PMI mulai dari penurunan pemasukan karena pengurangan jam kerja hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Untuk itulah, kemampuan berwirausaha dapat menjadi solusi atas permasalahan tersebut.

Usaha seperti toko kelontong, kios pulsa atau warung makan masih dipandang sebagai usaha kecil yang pelakunya tidak disebut sebagai pengusaha. Padahal, sekecil apapun usahanya, mereka tetap bisa disebut sebagai pengusaha dan memiliki peluang yang sama untuk mengembangkan usahanya. Sekali lagi, siapapun bisa menjadi pengusaha, termasuk PMI. Kendati usaha kecil jika dikelola dengan sungguh-sungguh akan mampu membantu peningkatan perekonomian PMI dan keluarganya. Usaha produktif bisa menjadi penopang utama perekonomian purna PMI dan keluarganya tanpa harus kembali bekerja ke luar negeri. Hanya saja, belum banyak PMI aktif maupun purna PMI yang mengalokasikan gajinya untuk merintis usaha.

Pada Juni-Desember 2021, penulis berkesempatan mendampingi dan memandu proses pelatihan manajemen usaha bagi Komunitas Pekerja Migran Indonesia (KOPI) di Kabupaten Blitar dan Ponorogo bersama Yayasan INFEST Yogyakarta. Pelatihan dan pendampingan kewirausahaan ini menjadi pijakan awal bagi komunitas pekerja migran untuk mandiri dan meningkatkan kesejahteraan. Sebanyak enam komunitas dari enam desa terlibat dalam proses perencanaan usaha kolektif. Termasuk berbagi pengetahuan mengenai langkah-langkah menjalankan usaha secara sederhana yang dikelola dengan baik dan partisipatif.

Pengalaman pengelolaan usaha bisa berdampak pada berbagai aspek kehidupan, khususnya pembentukan karakter. Dalam menjalankan usaha, mental yang tangguh dibutuhkan dalam menghadapi berbagai tantangan. Karakter tersebut sebenarnya sudah ada dalam diri seorang pekerja migran. Sebab, bekerja di luar negeri juga membutuhkan keberanian dan kesiapan mental yang matang. Secara karakter, pekerja migran tidak kalah dengan pelaku usaha yang menghadapi berbagai dinamika dalam usahanya. Sehingga, penguatan kapasitas pengetahuan menjadi penting untuk dilakukan.

Model Pendekatan Kewirausahaan

Model pelatihan dan pendampingan yang tepat dan inklusif menjadi ujung tombak keberhasilan program pengembangan kewirausahaan bagi PMI. Dalam mengembangkan model pendampingan yang tepat dan inklusif tersebut perlu dilakukan beberapa langkah aktif dan partisipatif oleh fasilitator maupun penerima manfaat itu sendiri.

Tahap awal pengembangan model pelatihan dan pendampingan kewirausahaan yang inklusif bisa dilakukan dengan peneraan kebutuhan (training need assesment) kepada 25% penerima program. Proses tersebut untuk memperoleh data mengenai kondisi pemahaman penerima program sebelum pelatihan dan pendampingan. Harapan penerima program perlu dipetakan untuk menambah kemanfaatan dari kegiatan.

Tahap berikutnya penyusunan materi, konsep pelatihan serta pendampingan sesuai hasil peneraan kebutuhan. Tantangan pada proses ini adalah memastikan konsep yang dirancang mampu menjawab kebutuhan penerima program dan disampaikan melalui metode yang sesuai dengan ketertarikan mereka. Dokumen akhir materi dan konsep yang telah dirancang harus diujicobakan terlebih dahulu kepada penerima program untuk memastikan rancangan pelatihan dan pendampingan telah sesuai dengan harapan mereka. Tim fasilitator selanjutnya dapat melakukan kegiatan pelatihan dan pendampingan yang telah dirancang kepada seluruh target penerima program yang dilanjutkan dengan proses pengawasan dan evaluasi program.

Seluruh tahap di atas telah dilaksanakan oleh Yayasan INFEST Yogyakarta. Berdasarkan hasil peneraan kebutuhan yang dilakukan pada 3-4 Mei 2021, anggota komunitas merasa bahwa masalah yang mereka hadapi dalam berwirausaha ialah sulitnya memasarkan produk agar laku di pasar. Tak hanya PMI, masalah tersebut sebenarnya menjadi tantangan bagi sebagian besar pelaku usaha kecil menengah (UKM). Isu kesulitan pemasaran mendasari penyusunan konsep pelatihan dan pendampingan bagi komunitas untuk menggunakan pendekatan pasar. Materi yang disusun dalam modul kewirausahaan lebih menitikberatkan pada survei pasar untuk memastikan produk yang akan dijual benar-benar dibutuhkan oleh target pasar.

Pelatihan dilaksanakan pada tanggal 16-17 Oktober 2021 untuk kabupaten Blitar dan 19-20 Oktober 2021 untuk kabupaten Ponorogo. Penyesuaian seringkali terjadi di lapangan. Berdasarkan pengamatan, fasilitator menentukan kegiatan pelatihan lebih fokus pada pengembangan kelompok dan penyusunan proposal konsep usaha. Hanya dengan satu materi penyusunan proposal usaha saja telah mampu mencakup seluruh aspek penting dalam menjalankan kegiatan usaha. Penyiapan proposal konsep usaha bisa bermanfaat bagi komunitas untuk menjalin kerjasama dengan pihak tertentu dalam upaya pengembangan bisnisnya.

“Sangat membantu. Kami benar-benar belajar. Seneng banget mendapatkan ilmu yang baru yang sangat kami butuhkan untuk merintis usaha dan mengembangkannya,” ujar Cindy Dwi Lestari dari KOPI Desa Jatinom, Blitar. Hal serupa juga disampaikan oleh Tohari anggota KOPI Gelanglor, Ponorogo, “Sangat membantu kami dan memberikan solusi-solusi dalam hal pemasaran produk ke depan.”

Pendekatan kewirausahaan bagi KOPI ini diharapkan mampu meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan anggota KOPI di masing-masing desa. Secara kolektif, anggota KOPI dapat menjalankan usaha dan memecahkan berbagai permasalahan usaha yang ada. Dampak dari usaha kolektif  ini juga akan lebih luas dan potensi pengembangannya akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan usaha individu. Semangat kolektif, komunikasi dan transparansi perlu menjadi nilai yang harus terus dirawat untuk meminimalisir potensi konflik antar anggota.

Usaha ekonomi kolektif bisa menjadi inovasi alternatif bagi PMI dan keluarganya untuk tetap produktif. Sehingga, harapannya kondisi ekonomi mereka menjadi lebih baik di kampung halaman.

Tulisan ini ditandai dengan: Ekonomi ekonomi BMI Ekonomi PMI 

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.