1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh International, pada hari tersebut para buruh mengadakan pelbagai aktivitas. Ada yang dengan mengadakan aksi untuk menyampaikan tuntutan kepada pemerintah, ada yang menghadiri seminar untuk meningkatkan kapasitas diri dan ada pula yang masih tetap bekerja. Sebagai komunitas buruh migran, di Hari Buruh Internasional, Komunitas Serantau memilih untuk mengadakan acara kumpul dan sharing bersama pekerja migran di Malaysia.
Bertempat di Taman Tasik Botanical Perdana, Kuala Lumpur, Senin (1/5/2017) acara kumpul dan sharing ini dihadiri oleh pekerja migran dari pelbagai sektor seperti konstruksi, pekerja rumah tangga, cleaning service, perkilangan, perkhidmatan dan WNI yang menikah dengan penduduk lokal. Dari hasil wawancara Tim Serantau dengan beberapa Pekerja Migran Indonesia mengenai peringatan Hari Buruh, jawaban yang didapat sangat bervariasi. Di hari buruh ini mereka ingin bisa cepat pulang ke tanah air dengan membuka usaha sendiri. Banyak juga yang mengharap hadirnya pemerintah untuk melindungi warganya di luar negeri dan tersedianya wadah untuk menyampaikan keluhan pekerja migran.
“Harapan saya, semoga hari buruh tahun depan sudah tidak di sini lagi, ingin pulang ke tanah air memulai usaha sendiri dan bisa membuka lapangan pekerjaan,” tutur Sucipto, pekerja konstruksi dari Lamongan yang sudah 22 tahun di Malaysia.
Dari hasil wawancara Tim Serantau, teridentifikasi bahwa masalah-masalah setiap sektor pekerjaan tidak sama. Aan, pekerja konstruksi, di Genting mengatakan di tempat kerjanya banyak pekerja yang tidak mendapatkan slip gaji. Ketika mereka mau melaporkan kasus tersebut, mereka malah dipotong gajinya secara tidak transparan. Tempat tinggal yang disediakan oleh majikan juga sangat tidak manusiawi, pekerja tinggal di dalam 1 kontainer yang dihuni 6 hingga 8 orang.
Desi, PRT migrant, mengatakan kebanyakan PRT di Malaysia bekerja melebihi 8 jam kerja, bahkan ada yang sampai 16 jam sehari, tidak ada hari libur dan dokumen disimpan majikan, penipuan oleh agen. Desi juga mengungkapkan bahwa pekerja migran sulit untuk menuntut hak-haknya karena tidak diwadahi.
“Sebagai pekerja rumah tangga, kami tidak mendapatkan akses informasi dan banyak hak-hak lain yang tidak kami dapatkan. Gaji minimum seharusnya RM1000.00, tapi pada praktiknya masih banyak teman-teman yang menerima di bawah itu,” tutur Desi.
Lain pula tanggapan Wati, seorang pekerja cleaning service dari Medan yang kebetulan sedang menyapu disekitar area acara. Ia tahu jika1 Mei merupakan hari buruh dan libur untuk umum, namun ia memilih untuk tetap bekerja. Ini merupakan kesempatan baginya untuk mendapatkan gaji lebih, ia sedikit beruntung karena majikan akan menggaji 3x lipat dari gaji di hari biasa di hari libur resmi.
Bagus, pekerja di sektor perkilangan di Shah Alam, mengungkapkan bahwa ditempat kerjanya pihak atasan dengan sewenang-wenang menukar daftar libur walaupun jadwal libur tersebut telah ditetapkan di awal tahun. Dengan alasan libur gantian, ada pekerja yang harus bekerja meskipun di hari libur umum dan tidak mendapatkan gaji 3x lipat dikarenakan liburnya diganti di hari yang lain. Dalam sharing tersebut Nasrikah, Koordinator Serantau, menyampaikan bahwa jika ada pekerja yang di PHK dengan sepihak bisa dilaporkan ke Jabatan Buruh terdekat. Majikan yang terbukti bersalah akan dikenakan sanksi dan pekerja bisa mendapatkan ganti rugi.