Audit BPK RI, KBRI Kuala Lumpur Diberondong Pertanyaan oleh Komunitas BMI

Author

IMG-20151122-WA0003
Peserta Audit Partisipatif oleh BPK RI di KBRI Kuala Lumpur

Kuala Lumpur-Dalam setiap penyelenggaraan pelayanan atas pembangunan, fungsi pengawasan atas pelayanan adalah perkara yang prinsip. Metode audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) melalui proses partisipatif dengan melibatkan berbagai pihak dan komponen masyarakat untuk memberikan masukan sehingga menghasilkan rekomendasi yang berimbang kepada pemerintah terkait dengan pelayanan dan perlindungan WNI di luar negeri. Inilah maksud dan tujuan BPK RI mendatangi KBRI Kuala Lumpur pada hari Jumat, (20/11/2015).

Selain memeriksa keuangan, BPK RI mengaudit kinerja dan performa KBRI Kuala Lumpur dalam mengemban tugas pokok dan fungsinya untuk melayani dan melindungi warga negara Indonesia di luar negeri, yaitu Malaysia. Selain Malaysia, BPK juga mengaudit organisasi perwakilan pemerintah di negara-negara penempatan BMI lainnya, seperti Arab Saudi, Hong Kong Special Adminstrative Region, Singapore, dan lain-lain.

Beberapa elemen peguyuban masyarakat Indonesia di Malaysia diundang hadir untuk memberikan komentar atas pelayanan KBRI Kuala Lumpur, yang selanjutnya informasi itu akan diklarifikasi kepada KBRI Kuala Lumpur. Mereka yang diundang adalah Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara-JP), Forum Komunikasi Muslimah Malaysia (Fokma), Ikatan Keluarga Madura (IKMA), Ikatan Pekerja Muslim Indonesia (IPMI), Komunitas Photographer Indonesia, Migrant Care, Persatuan Masyarakat Indonesia-Malaysia (Permay), Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) dan Serantau (media komunitas BMI di Malaysia).

Alex Ong dari Migrant Care menyoroti tentang kebijakan KBRI Kuala Lumpur yang menyetujui monopoli pemulangan BMI overstayers dengan biaya yang sangat besar bagi mereka. Seharusnya hal itu tidak sepatutnya Iman resources memonopoli dan menerapkan biaya seenaknya. ( Baca selengkapnya, Pemulangan Buruh Migran (PATI) di Malaysia Dikelola Perusahaan Swasta)

Hal tersebut ditanggapi oleh Dino Nuwahyudin, selaku koordinator konsuler KBRI Kuala Lumpur bahwa program pemulangan adalah kebijakan pemerintah Malaysia (Baca selengkapnya, Dubes Malaysia: UU-nya Mengatakan Diswastakan, Semua ini Bisnis). Maka, entah itu mereka ingin memonopoli atau menunjuk satu perusahaan adalah urusan Malaysia. Tugas kita adalah menekan biaya pemulangan bagi WNI overstayers serendah mungkin.

Sementara itu, Abdurahman dari Bara JP, mengatakan bahwa KBRI Kuala Lumpur harus memiliki perspektif kepada korban dalam pelayanannya. Para BMI yang bermasalah itu sebenarnya mereka kurang mengetahui informasi bagaimana bermigrasi yang benar, akan tetapi ketika mereka mengadu dan meminta pelayanan kepada pemerintahnya sendiri malah dibentak-bentak. Ini terjadi juga pada saat BMI mengurus perpanjangan paspor di KBRI.

IKMA menyayangkan tentang pengurangan anggaran oleh pemerintah pusat ke KBRI Kuala Lumpur. Sehingga ketika terjadi masalah BMI yang sakit atau pemulangan jenazah, KBRI kurang bisa membantu dalam situasi ini. Lain halnya dengan IPMI dan komunitas photographer Indonesia yang mengeluhkan tentang KTKLN yang selama ini menimbulkan permasalahan bagi BMI yang ingin berangkat atau pulang dan pergi antara Indonesia dan Malaysia.

Terkait dengan hal tersebut, Mustafa Kamal, Atase Ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur menjawabnya dengan enteng bahwa KTKLN adalah dokumen identitas BMI yang merupakan amanah undang-undang dan itu penting untuk pendataan, maka dia meminta kepada BMI agar berangkat secara prosedural ketika bermigrasi ke luar negeri.

Seketika jawaban itu langsung ditimpali oleh Ridwan Wahyudi dari PSD-BM bahwa KTKLN sebenarnya tidak ada gunanya. Karenanya, selain bukan dokumen keimigrasian, pihak imigrasi tak memiliki dasar hukum untuk melakukan pencekalan kepada BMI yang tidak memiliki KTKLN. Selain itu ketika BMI bermasalah, petugas pemerintah juga tidak menanyakan KTKLN jika itu memang penting, tapi menanyakan tentang paspor BMI. Seharusnya KBRI Kuala Lumpur memberikan sosialisasi KTKLN dan melayani penerbitan KTKLN di sini jika itu memang penting.

Masih menurut Ridwan Wahyudi, bahwa peraturan seharusnya mengakui sejarah migrasi kawasan antara Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi peraturan yang sekarang bahkan dalam draft revisi tidak mengakomodir migrasi mandiri, malah diserahkan kepada swasta untuk mengurusnya. Bahkan tidak ada naskah akademik dalam proses pembuatan UU BMI pada waktu itu (Baca selengkapnya, UU 39 tahun 2004 tentang PPTKILN Tidak Memiliki Naskah Akademis). Peraturan dibuat seharusnya untuk menertibkan dan mengakui sejarah serta mengakui peran organisasi BMI di negara penempatan, bukan malah menyulitkannya. Ini yang akhirnya menimbulkan permasalahan dikemudian hari.

IMG-20151120-WA0006
Situasi Audit Partisipatif oleh BPK RI di Aula KBRI Kuala Lumpur

Sementara Nasrikah dari media komunitas Serantau mengkritik peran Atase Ketenagakerjaan yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan juga kepada agensi yang melakukan overcharging (penerapan biaya berlebih) kepada BMI. Banyak kasus telah terjadi beberapa hari yang lalu (Baca selengkapnya, Menuntut Hak Dasar, Beberapa BMI Malaysia Dipulangkan). Selain itu, kita juga melakukan survei kecil di daerah Sunway, di mana hampir semua PPTKIS menerapkan overcharging kepada BMI yang ditempatkan pada Western Digital.

Nasrikah juga menambahkan mengenai pelayanan WNI di Malaysia yang masih menanyakan status BMI di sini, antara berdokumen dan tidak berdokumen. Padahal mereka menjadi tidak berdokumen adalah bukan keinginan BMI sendiri, akan tetapi lebih disebabkan oleh permasalahan rantai birokrasi dan peran agensi di sini serta penipuan oleh oknum. Oleh sebab itu, Nasrikah menyarankan agar setiap permasalahan BMI dilayani semua, karena mereka sebenarnya WNI dan pekerja yang semestinya memperoleh haknya. Sesal lagi, setiap permasalahan BMI yang diadukan oleh komunitas kepada KBRI Kuala Lumpur, komunitas tidak mendapatkan tembusan atas kemajuan kasus tersebut. Dari sini tidak ada monitoring atas kasus tersebut. Sudah bukan jamannya lagi pemerintah bertindak fasis dalam hal ini.

Selain itu, Nasrikah merinci lagi mengenai peran KBRI Kuala Lumpur yang sudah semestinya melayani anak-anak BMI di sini. Karenanya banyak dari mereka yang akhirnya menjadi buta huruf. Pendidikan adalah hak bagi anak-anak Indonesia, tidak semestinya mereka mengalami masalah dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya hanya karena orang tua mereka bermigrasi ke negara orang. Hal ini merupakan pekerjaan rumah KBRI Kuala Lumpur yang harus dijalankan untuk memenuhi hak warrga negara.

Selanjutnya semua komentar dan pertanyaan akan diklarifikasi kepada KBRI Kuala Lumpur dan diolah untuk menghasilkan rekomendasi untuk dilaporkan kepada pemerintah atas temuan-temuan BPK RI tersebut demi pelayanan dan perlindungan WNI yang lebih baik di masa mendatang.

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.