Kebanyakan orang mungkin belum familiar dengan profesi buruh migran yang satu ini. Selain tidak banyak diceritakan, kasusnya juga menarik perhatian di dalam negeri. Itulah mungkin yang bisa menggambarkan pengetahuan kebanyakan orang terkait buruh migran nelayan (dalam bahasa Inggris disebut: “Seaman”). Konsolidasi serikat buruh migran yang difasilitasi INDIES di Jakarta pada tanggal 29 November hingga 1 Desember lalu, menjadi kesempatan bagi Redaksi Pusat Sumber Daya Buruh Migran untuk menggali informasi lebih jauh terkait asam garam profesi ini dari mantan pekerja di sebuah kapal nelayan Korea yang berlayar di perairan New Zealand.
Sugito (28) dan Trismanto, dua pria asal Tegal Jawa Tengah, telah menjadi saksi atas kerasnya menjalani kehidupan sebagai buruh migran nelayan. Saat ditanya mengenai waktu kerja yang diberlakukan di atas kapal, keduanya kompak mengatakan bahwa jam kerja awak kapal tidak jelas dan cenderung berlebihan. “Kami minimal bekerja selama 18 jam sehari, bahkan bisa dipaksa untuk bekerja 2 hari terus menerus. Untuk minta jatah tidur saja 3 jam saja kami harus demo dulu ke wakil kapten kapal padahal waktu itu keadaan sedang turun salju,” ungkap Sugito yang mulai bekerja di kapal tersebut pada bulan Januari 2011 silam.
Selain jam kerja yang melebihi batas wajar, para awak kapal yang kebanyakan berasal dari Indonesia ini juga mengalami kekerasan fisik dan pelecehan seksual. Panggilan ‘binatang’ kerap kali dilontarkan oleh kepala kapal yang berkebangsaan Korea. Makanan yang diberikan juga sering tidak manusiawi. “Pernah suatu kali kami diminta mencari 1 basket (keranjang) udang untuk diserahkan ke juru masak. Kami senang sekali karena malam itu akan makan udang. Ternyata kami hanya kebagian jatah kepalanya saja, sedang badan udangnya dimakan habis oleh orang Korea itu,” tutur Trismanto yang dikirim bekerja oleh PT. Nurindo ini.
Karena tidak tahan, bulan Juni 2011 akhirnya 33 awak kapal asal Indonesia berontak dan keluar dari kapal. Dalam insiden itu, banyak dari mereka yang mengalami pemukulan. “Salah seorang teman saya, Slamet Raharjo, dipukul hingga hidungnya bengkok. Yang lebih parah lagi, saya sempat melihat di kapal seberang ada yang jarinya dipotong,” ungkap Sugito. Para awak kapal kemudian menuju daratan dan ditolong oleh pemerintah New Zealand. Kasus kekerasan yang terjadi di atas kapal nelayan Korea yang beroperasi di perairan New Zealand ini sempat menjadi perhatian masyarakat New Zealand dan bahkan dunia. 17 Januari 2012 mendatang juga akan menjadi agenda sidang kasus ini yang menjerat para kapten kapal dari Korea yang akan menghadirkan saksi Slamet Raharjo sebagai korban kekerasan.
“Saat ini saya menuntut pelunasan gaji saya yang selama 5 bulan belum lunas dibayarkan karena pihak agen Indonesia dan Korea sama-sama saling lempar kewajiban membayar gaji. Saya tidak pernah merasa dihargai. Padahal di dalam kontrak, kami diancam denda 10 ribu dollar jika ketahuan melarikan diri, tapi jika kami meninggal di tempat kerja, nyawa kami hanya dihargai 45 juta.” lanjut Sugito.
Ya Allah, ada juga kekerasan TKI di perkapalan..hikz, semoga hak nya bisa di perjuangkan.